Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informasi saat ini tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai tata cara penyadapan bagi penegak hukum (atau disebut RPP tentang Tata Cara Intersepsi). Pemerintah beralasan bahwa Rancangan ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan menertibkan kewenangan penyadapan karena sekarang patut dicurigai antar instansi saling melakukan penyadapan.
Gagasan atau ide pengaturan penyadapan ini muncul ketika KPK sedang dilemahkan dan dikriminalisasi. Padahal KPK dinilai relatif lebih berhasil menuntaskan kasus korupsi yang melibatkan banyak aktor yang berasal dari kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif dan swasta. Prestasi ini tentu tidak bisa dilepaskan dari kewenangan luar biasa yang dimililikinya, khususnya melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan mulai dari tahapan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan (Pasal 12 ayat (1) huruf a). Dengan kewenangan penyadapan tersebut, terbukti sejumlah koruptor berhasil dijerat dan tertangkap tangan oleh KPK. Sebut saja kasus korupsi yang melibatkan Mulyana W Kusumah, Artalyta Suryani, Al Amin Nasution, dan masih banyak lainnnya. Bahkan dugaan adanya Mafia Peradilan dan rekayasa hukum pada kasus Bibit dan Candra juga terungkap dalam persidangan MK. Bayangkan jika kewenangan penyadapan ini dipangkas dan dikontrol oleh penguasa yang diragukan komitmen pemberantasan korupsinya.
Selain mengancam pemberantasan korupsi, substansi RPP tersebut juga dinilai menyalahi konsep hukum dan tata negara Indonesi. Bahkan, MK melalui salah satu putusannya menyatakan bahwa kewenangan penyadapan KPK sudah konstitusional. Atau kalaupun perlu diatur, harus dilakukan secara hati-hati, tidak berakibat melemahkan KPK dan diatur setingkat undang-undang. Sehingga, jika RPP ini dipaksakan, kita bisa katakan, ada upaya sadar melawan putusan Mahkamah Konstitusi. Ide RPP ini juga tidak populis, ketika publik menginginkan KPK diperkuat dan bukan justru membatasi. Pada sisi lain kami mempertanyakan komitmen Menkominfo Republik Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi dan dukungan terhadap KPK. Penyusunan regulasi ini juga harus dimaknai sebagai babak baru pelemahan KPK, setelah upaya melemahkan KPK melalui permohonan uji materiil (judicial review) di MK dan kriminalisasi pimpinan KPK mengalami kegagalan. Hanya koruptor dan pendukungnya yang terganggu dengan upaya penyadapan KPK dan tidak menginginkan KPK menjadi lebih kuat. Pemerintah juga tidak perlu menerbitkan PP tentang Penyadapan. UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengatur secara tegas larangan penyadapan yang dilakukan selain untuk kepentingan penegakan hukum. Dalam Pasal 31 ayat (1) UU 11 tahun 2008, lanjutnya, yang mengatur BAB VII tentang Perbuatan Yang Dilarang adalah termasuk setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain. Dan dalam ayat (2) menyebutkan, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik. Dalam UU tersebut, juga Pasal 47 juga mengatur mengenai sanksi dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Dengan demikian tata cara penyadapan diserahkan kembali pada UU yang berlaku.Ketentuan Penyadapan KPK diatur dalm UU KPK dan aturan turunan di internal KPK. Selain itu jika dicermati kembali secara subtansi RPP Penyadapan (intersepsi) yang disusun oleh Depkominfo memiliki sejumlah kelemahan atau persoalan. Beberapa diantaranya adalah adanya keharusan izin atau penetapan Ketua Pengadilan ketika melakukan penyadapan. Proses izin atau penetapan Ketua Pengadilan sebagai syarat dalam melakukan penyadapan menjadikan proses menjadi sangat birokratis dan berlarut-larut. Keberhasilan KPK (dibandingkan dengan Kejaksaan dan Kepolisian) selama ini karena tidak mengalami hambatan terkait dengan proses perizinan mulai dari pemeriksaan anggota dewan atau kepala daerah hingga membuka rekening perbankan seorang tersangka.
Untuk kondisi praktek mafia peradilan yang masih marak di pengadilan maka proses izin atau penetapan ini berpotensi menjadi dagangan oknum Ketua Pengadilan. Pertanyaan mendasar lainnya adalah ketika KPK ingin menyadap Hakim atau Ketua Pengadilan atau pejabat pengadilan bahkan pimpinan MA apakah izinnya akan keluar? Pada intinya RPP yang ada justru mempersempit ruang KPK, memperpanjang birokrasi sehingga proses menjadi berlarut-larut, potensial terjadi kebocoran mulai dari tahap permintaan hingga hasil penyadapan, membuka peluang praktek korupsi diperadilan, pembentukan Pusat Intersepsi Nasional dan Dewan Intersepsi Nasional memberikan peluang adanya intervensi dan membuat proses penegakan hukum menjadi tidak efektif dan cenderung gagal. KPK adalah institusi yang paling dirugikan dari terbitnya regulasi ini dan berdampak pada upaya pemberantasan korupsi akan mengalami kemunduran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar