Di Indonesia, upaya kepedulian terhadap persoalan kemiskinan, bahkan sudah berlangsung sejak lama, baik pada jaman pemerintahan masa Orde Lama, masa Orde Baru, maupun pada masa pemerintahan di era Reformasi ini. Untuk menunjukkan kepeduliannya terhadap persoalan kemiskinan ini, pemerintahan SBY-JK juga tidak mau ketinggalan. Bukti nyata dari kepedulian pemerintahan SBY-JK adalah terlihat pada program “Bantuan Langsung Tunai” yang selanjutnya ditulis BLT. Hal mana mulai terlaksana melalui ‘Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 12 Tahun 2005’, tentang “Bantuan Langsung Tunai kepada rumah tangga-rumah tangga miskin di Indonesia”. Tujuan yang diharapkan melalui kebijakan program ini adalah dapat menjawab persoalan kemiskinan di Indonesia, sebagai akibat dari segenap perubahan yang telah terjadi, baik secara nasional maupun global serta bertujuan agar daya beli masyarakat tetap terjaga. BLT ini diberikan sebesar Rp. 300.000 / kepala keluarga miskin atau tak mampu. Yang menjadi persoalan adalah siapa yang tergolong keluarga miskin atau tak mampu itu. Untuk menjembatani hal ini, BPS melakukan survei data dan lapangan. Dan akhirnya pengucuran tahap satu BLT dapat dilakukan relatif sesuai dengan jadwalnya.
Ketika pengucuran dana BLT tersebut, muncul permasalahan-permasalahan. Di beberapa daerah terjadi aksi pengrusakan lantaran satu KK mendapat dan KK yang lain tidak. Konflik yang dipicu dari rasa saling iri menghasilkan amukan massa yang cukup dahsyat. Amukan yang dilakukan massa maupun individu membawa korban jiwa dan fisik desa. Sedangkan di sisi lain, pemerintah menggarisbawahi bahwa anomali sosial yang terjadi lebih disebabkan oleh tindakan pihak-pihak yang ingin memanfaatkan suasana demi meraih keuntungan tertentu.
Pengucuran tahap dua BLT mengambil nama lain, Sumbangan Langsung Tunai (SLT). Perbaikan yang kentara yakni pada mekanisme pengambilannya. Jika BLT dilakukan dan diselenggarakan oleh perangkat desa dan/atau petugas BPS. Maka pada SLT, pemerintah menunjuk Departemen Pos dan Giro untuk memanfaatkan seluruh kantor pos yang tersedia di daerah-daerah sebagai tempat pengambilan. Selain perpindahan tempat, dulunya di balai desa atau kantor kelurahan, pengambil SLT harus juga memiliki surat keterangan khusus tentang status keluarganya. Dan hasilnya cukup menggembirakan, anomali sosial yang terjadi pada BLT tahap satu relatif berkurang pada pengucuran keduanya. Tapi, apakah masalah sudah selesai ketika BLT/SLT tidak bermasalah di masyarakat?
Berkaca pada kebijakan BLT tahun 2005 banyak kelemahan-kelemahan dan masalah-masalah yang akan ditimbulkan oleh kebijakan BLT ini, antara lain :
1.Dengan memberikan bantuan secara tunai dan langsung, sesunggunya pemerintah sedang melatih masyarakatnya untuk bergantung pada pihak yang kuat. Sedangkan proses penggantungan keadaan ini bukanlah hal yang produktif bagi keberdayaan masyarakat.
2.Timbulnya sikap mental masyarakat yang belum mau jujur mengakui tentang keadaan dirinya yang sebenarnya. Dengan kebijakan pengucuran sumbangan uang dalam bentuk tunai, banyak masyarakat yang tadinya mampu beralih ‘profesi’ menjadi orang miskin. Bisa jadi karena ternyata menjadi orang miskin di negara kita cukup menguntungkan.
3.Kebijakan BLT memiliki kecenderungan menjadi pemicu konflik sosial di masyarakat.
4.Validitas data masyarakat miskin yang diragukan sehingga akan berdampak pada ketepatan pemberian dana BLT kepada masyarakat yang berhak.
5.Dari sisi keuangan negara, kebijakan BLT merupakan kebijakan yang bersifat menghambur-hamburkan uang negara karena kebijakan tersebut tidak mampu menyelesaiakan masalah kemiskinan secara berkelanjutan dan tidak mampu menstimulus produktifitas masyarakat miskin. Dalam ranah ini, proyek padat karya dapat dipilih, atau mengalihkannya kepada sektor pendidikan, pelayanan kesehatan, dan sebagainya.
6.Efektifitas dan efisiensi penggunaan dana BLT yang tidak dapat diukur dan diawasi karena lemahnya fungsi pengawasan pemerintahan terhadap kebijakan tersebut.
Disatu sisi, kebijakan BLT ini mungkin akan memberikan dampak positif bagi masyarakat miskin. Dengan BLT, kenaikan biaya hidup yang diakibatkan oleh kenaikan BBM secara langsung maupun dampak kenaikan harga kebutuhan pokok akibat kenaikan BBM, akan sedikit tertutupi dengan adanya dana “cuma-cuma” yang diberikan oleh pemerintah. Akan tetapi disisi yang lain kebijakan BLT ini memiliki dampak negatif yakni kebijakan ini akan berdampak negatif pada perilaku dan karakter masyarakat. Kebijakan ini sangat riskan menciptakan karakter masyarakat yang salalu dimanja dan menjadi bangsa “peminta-minta”. Selain itu, permasalahan efektifitas dan efisiensi kebijakan ini juga sangat diragukan, apalagi kalau kita melihat bahwa landasan kenaikan BBM adalah kondisi defisit keuangan negara yang semakin membengkak.
Kalau melihat pada dampak yang akan ditimbulkan oleh kebijakan BLT ini, kebijakan BLT tidak akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kondisi masyarakat miskin di Indonesia. Ini disebabkan nominal BLT yang diberikan tidak seimbang dengan kenaikan biaya hidup yang ditanggung oleh masyarakat akibat kenaikan harga BBM. Coba kita bayangkan, kenaikan BBM tersebut akan mendorong kenaikan biaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat miskin, mendorong kenaikan biaya input produksi masyarakat miskin yang kebanyakan berada pada sektor pertanian (baik petani maupun nelayan) yang berada di pedesaan. Apabila kita membandingkan total kenaikan biaya hidup (biaya pemenuhan kebutuhan dasar dan input produksi) masyarakat miskin dengan nominal dana BLT yang diberikan, kebijakan ini tidak akan berdampak siginifikan. Apalagi, pemerintah tidak bisa menjamin efesiensi dan efektifitas penggunaan dana BLT yang diberikan kepada masyarakat.
Selain itu, dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan BLT tersebut tidak mampu memberikan dampak positif pada peningkatan produktifitas masyarakat miskin, melainkan kecenderungannya memberikan dampak negatif pada penurunan produktifitas. Kebijakan BLT hanya merupakan kebijakan yang hanya meberikan “ikan” bukan “kail” kepada masyarakat miskin.
Dari sisi politis, kebijakan BLT bukanlah kebijakan pemerintah untuk membantu dan mengangkat masyarakat (meningkatkan derajat kesejahteraan) miskin melainkan hanya sebuah keputusan politik yang berorientasi untuk mepertahankan image pemerintahan di mata masyarakat. Kebijakan politis ini terpaksa diambil oleh pemerintah sehubungan semakin dekatnya jadwal pesta demokrasi pemilu 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar