Senin, 15 Februari 2010

Kebijakan Pemerintah Terhadap Masalah Pedagang Kaki Lima

A. Pendahuluan

Kebijakan publik adalah segala hal yang diputuskan oleh pemerintah. Definisi ini menunjukkan bagaimana pemerintah memiliki otoritas untuk membuat kebijakan yang bersifat mengikat. Dalam proses pembuatan kebijakan terdapat dua model pembuatan, yang bersifat top-down dan bottom-up. Idealnya proses pembuatan kebijakan hasil dari dialog antara masyarakat dengan pemerintah. Sehingga kebijakan tidak bersifat satu arah.

Masalah kebijakan merupakan sebuah fenomena yang memang harus ada mengingat tidak semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Tak jarang kebijakan dari pemerintah itu justru menimbulkan masalah baru di dalam masyarakat. Kenyataan ini dapat dilihat dari bagaimana pemerintah dalam memberdayakan para pedagang kaki lima. Kebijakan tatanan kota yang merujuk pada ketertiban dan keindahan kota menjadikan sebuah harga mahal bagi kehadiran para pedagang kaki lima.

Untuk mendefinisikan tentang masalah kebijakan kita harus merujuk pada definisi dari kebijakan publik itu sendiri seperti yang telah dijelaskan diatas. Masalah kebijakan merupakan sebuah kesenjangan dari implementasi sebuah kebijakan di dalam masyarakat. Terjadinya ketidakserasian antara isi dari kebijakan terhadap apa yang terjadi dilapangan merupakan masalah dari kebijakan tersebut.

Fenomena Pedagang Kaki Lima (PKL) telah banyak menyita perhatian pemerintah. Karena PKL sering kali dianggap mengganggu ketertiban lalu lintas, jalanan menjadi tercemar, menimbulkan kerawanan sosial dan tata ruang kota yang kacau. Dimata pemerintah citra negatif tersebut telah mendogma. Sebagai pembuat kebijakan pemerintah harus besikap arif dalam menentukan kebijakan.

Masalah keberadaan pedagang kaki lima terutama dikota-kota besar menjadi warna tersendiri serta menjadikan pekerjaan rumah bagi pemerintah kota. Pedagang kaki lima atau PKL adalah merupakan pihak yang paling merasakan dampak dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terutama kebijakan tentang ketertiban dan keindahan kota. Dampak yang paling signifikan yang dirasakan oleh PKL adalah seringnya PKL menjadi korban penggusuran oleh para Satpol PP serta banyaknya kerugian yang dialami oleh PKL tersebut, baik kerugian materil maupun kerugian non materil.

Tujuan dari penyusunan policy paper ini adalah memberikan gambaran kepada pemerintah tentang implikasi dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut serta memberikan alternatif kebijakan yang lain yang mungkin bisa dijadikan rujukan untuk memberdayakan PKL tersebut.

Dalam penulisan Policy Paper ini dilakukan dengan metode studi kepustakaan. Berbagai sumber bacaan, terutama artikel dari jurnal-jurnal pada beberapa situs internet, menjadi bahan rujukan penulis dalam penulisan policy paper ini. Penulis menemukan berbagai refrensi yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah dalam penanganan masalah Pedagang Kaki Lima.

B. Pernyataan Masalah

Keberadaan PKL menjadi hal yang paling urgen bagi pemerintah untuk segera dicarikan solusinya. Seringnya terjadi penggusuran terhadap keberadaan PKL menuntut pemerintah untuk segera mencarikan tempat atau alternatif lokasi bagi para PKL untuk menjalankan usahanya. Jika pemerintah tidak mampu untuk mencarikan solusi tentang keberadaan PKL tersebut, artinya pemerintah secara tidak langsung menelantarkan masyarakatnya serta mematikan usaha dari masyarakat untuk bagaimana mempertahankan hidupnya. Pemerintah harus segera menyelamatkan keberadaan PKL tersebut.

Melalui kertas kebijakan ini penulis mengajak semua elemen masyarakat untuk turut serta mendesak pemerintah agar segera mencari solusi untuk menyelamatkan keberadaan dari PKL tersebut. Permasalahan PKL menjadi menarik, karena PKL menjadi sebuah dilema tersendiri bagi pemerintah. Di satu sisi PKL sering mengganggu tata ruang kota, disisi lain PKL menjalankan peran sebagai Shadow Economy. Namun, mengingat bahwa kontribusi PKL sangat besar bagi semua kalangan masyarakat. Keberadaannya sangat membantu masyarakat terutama saat-saat kondisi tertentu.

Masalah keberadaan PKL serta upaya untuk menghilangkannya atau menggusurnya sesungguhnya merupakan fenomena lama yang dialami oleh pemerintah di kota-kota besar. Sejak terjadinya krisis ekonomi, pembangunan perekonomian daerah dan pengembangan wilayah sebagai upaya peningkatan pembangunan daerah dan pemerataan pertumbuhan antar daerah mengalami hambatan dan keterbatasan dalam pemanfaatan sumber daya alam, ketersediaan modal, kemitraan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha.
Seiring dengan perkembangan Daerah Perkotaan dan adanya pertumbuhan penduduk yang tinggi dan kurangnya ketersediaan lapangan kerja dan sarana prasarana dalam jumlah yang banyak, sehingga banyak masyarakat bawah mengambil alternatif untuk berprofesi sebagai PKL.

Berkembangnya PKL dipicu oleh gagalnya pemerintah membangun ekonomi yang terlihat dari rendah dan lambatnya pertumbuhan ekonomi, tidak berkembangnya usaha –usaha di sektor riil yang pada akhirnya menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran yang sampai saat ini diprediksi kurang lebih 40 juta penduduk sedang menganggur.

Yang menjadi perhatian kita, Seandainya pemerintah punya komitmen yang kuat dalam mensejahterakan masyarakatnya harus menyiapkan dana khusus sebagai jaminan PKL yang digusur untuk memulai usaha baru ditempat lain.Mengingat PKL yang digusur biasanya tanpa ada ganti rugi karena dianggap illegal .Bagaimanapun juga PKL adalah juga warga negara yang harus dilindungi hak-haknya, hak untuk hidup, bebas berkarya , berserikat dan berkumpul. Jadi yang terkena dampak dari adanya PKL yaitu para masyarakat pengguna jalan dan mengurangi keindahan tatanan jalan perkotaan maupun didesa.

Efek yang ditimbulkan dari keberadaan PKL ini dengan pola ketidakteraturannya misalnya menciptakan kawasan kumuh, kesemrawutan, kemacetan lalu lintas dan mengurangi keindahan atau estetika kota. Permasalahan PKL ini runtut sejak awal dan semakin besar serta tidak mudah teratasi akibat arus migrasi yang tidak pemah berhenti. Dan kebijakan demi kebijakan telah diterapkan pemerintah khususnya pemerintah kota, namun hingga kini belum menampakkan hasil yang memuaskan. Pemkot menegaskan komitmen penataan dan pengelolaan sektor informal. Selain itu, secara khusus didirikan Dinas Koperasi dan Sektor Informal. Lembaga tersebut berupaya menyediakan kawasan “legal” bagi PKL untuk berjualan dan menyediakan dana bergulir.

Pemkot sendiri mengaku telah melakukan pendataan, penataan, pemberian modal bergulir hingga pelatihan kerja melalui Dinas Koperasi dan Sektor Informal.

Melihat kenyataan di lapangan, upaya Pemkot dalam penataan PKL ternyata diangggap beberapa kalangan masih terkesan setengah-setengah. Akibatnya, upaya penertiban seringkali berujung pada bentrokan dan perlawanan fisik dari PKL. Bersama dengan komponen masyarakat lainnya, tidak jarang para PKL pun justru melakukan unjuk rasa menghujat kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja untuk measyarakat miskin.

C. Alternatif Kebijakan

Implementasi kebijakan pemerintah yaitu dilakukan dengan pemikiran yang rasional dan proporsional. Logikanya pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan dalam hal ini relokasi, srelokasi tersebut adalah pemerintah berupaya mencari win-win solution atas permasalahan PKL. Dengan dikeluarkannya kebijakan relokasi, pemerintah dapat mewujudkan tata kota yang indah dan bersih, namun juga dapat memberdayakan keberadaan PKL untuk menopang ekonomi daerah. Pemberdayaan PKL melalui relokasi tersebut ditujukan untuk formalisasi aktor informal, artinya dengan ditempatkannya pedagang kaki lima pada kios-kios yang disediakan maka pedagang kaki lima telah legal menurut hukum. Sehingga dengan adanya legalisasi tersebut pemkab dapat menarik restribusi secara dari para pedagang agar masuk kas pemerintah dan tentunya akan semakin menambah Pendapatan Asli Daerah.

Pemerintah Kota mengeluarkan kebijakan yang isinya antara lain :
1. Pedagang Kaki Lima dipindah lokasikan ke tempat yang telah disediakan berupa kios-kios.
2. Kios kios tersebut disediakan secara gratis..
3. Setiap kios setiap bulan ditarik retribusi
4. Bagi Pedagang yang tidak pindah dalam jangka waktu 90 hari setelah keputusan ini dikeluarkan akan dikenakan sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Dengan demikian, Pemerintah kota menganggap kebijakan relokasi tersebut merupakan tindakan yang terbaik bagi PKL dan memudahkan PKL. Karena dengan adanya kios¬-kios yang disediakan pemerintah, pedagang tidak perlu membongkar muat dagangannya. Selain itu, pemerintah juga berjanji akan memperhatikan aspek promosi, pemasaran, bimbingan pelatihan, dan kemudahan modal usaha. Pemerintah merasa telah melakukan hal yang terbaik dan bijaksana dalam menangani keberadaan PKL.

Pemerintah Kota merasa telah melakukan yang terbaik bagi para PKL. Namun, Pasca relokasi tersebut, beberapa pedagang kaki lima yang diwadahi dalam suatu paguyuban melakukan berbagai aksi penolakan terhadap rencana relokasi ini. Kebijakan Relokasi ini tidak dipilih karena adanya asumsi bahwa ada kepentingan dalam kebijakan ini yaitu;

Pertama, dalam membuat agenda kebijakannya pemerintah cenderung bertindak sepihak sebagai agen tunggal dalam menyelesaikan persoalan. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak diikutsertakan atau dilibatkannya perwakilan pedagang kaki lima ke dalam tim yang ‘menggodok’ konsep relokasi. Tim relokasi yang selama ini dibentuk oleh Pemerintah hanya terdiri dari Sekretaris Daerah, Asisten Pembangunan, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi, serta Dinas Pengelolaan Pasar.

Kedua, adanya perbedaan persepsi dan logika dalam memandang suatu masalah antara pemerintah dengan pedagang kaki lima tanpa disertai adanya proses komunikasi timbal balik diantara keduanya. Dalam proses pembuatan kebijakan, Pemerintah seringkali menggunakan perspektif yang teknokratis, sehingga tidak memberikan ruang terhadap proses negosiasi atau sharing informasi untuk menemukan titik temu antara dua kepentingan yang berbeda. Selama ini, pedagang kaki lima menganggap Pemerintah Kota tidak pernah memberikan rasionalisasi dan sosialisasi atas kebijakan relokasi yang dikeluarkan, sehingga pedagang kaki lima curiga bahwa relokasi tersebut semata-mata hanya untuk keuntungan dan kepentingan Pemerintah Kota atas proyek tamanisasi. Selain itu, tidak adanya sosialisasi tersebut mengakibatkan ketidakjelasan konsep relokasi yang ditawarkan oleh pemerintah, sehingga pedagang kaki lima melakukan penolakan terhadap kebijakan relokasi.

Dalam perencanaan tata kota, relokasi PKL seharusnya melibatkan PKL mulai dari tahap penentuan lokasi hingga kapan harus menempati. Rekomendasi kebijakannya adalah penciptaan forum stakeholder pembangunan perkotaan untuk meningkatkan partisipasi dan akses ke proses pengambilan keputusan. Pemerintah mestinya serius untuk mendengarkan aspirasi para PKL melalui paguyuban-paguyuban PKL di lokasi masing-masing sehingga program-program penataan yang diluncurkan tidak menjadi sia-sia belaka.

Dalam keadaan Seperti ini sebaiknya Pemerintah melakukan pembinaan mental, yaitu bagaimana mengelola PKL itu sendiri. Kalau kita bicara tentang PKL itu bukan hanya mengelola tempat tetapi juga mengelola orang. Salah satu keengganan orang untuk berbelanja di pasar adalah kesadaran lingkungan yang rendah dan ketidakjujuran. Kesadaran lingkungan yang rendah terhadap sampah dan aroma yang menyengat hidung juga menyebabkan kalah populernya PKL dibanding pusat perbelanjaan modern. Dan ketidakjujuran sangat mengganggu proses jual beli di PKL. Untuk mencegah dan mengurangi hal tersebut salah satu cara dengan social value system atau nilai-nilai yang mengikat di masyarakat. Upaya pembinaan mental terhadap PKL perlu dilakukan agar PKL menjadi lebih jujur dan sadar lingkungan.

Pembinaan mental dapat dilakukan dengan mengadakan kajian keagamaan yang berkenaan dengan masalah muamalah atau himbauan yang dikemas dalam nuansa religius baik melalui media tatap langsung, selebaran, dan sebagainya.

D. Kesimpulan dan Rekomendasi

Harus diakui bahwa upaya menata PKL dan menertibkan bangunan liar di Kota bukanlah hal yang mudah namun tiada masalah kecuali pasti ada solusinya. Memang, Pemerintah Kota pada akhirnya tidak bisa sendirian dalam penuntasan permasalahan PKL ini, perlu bekerja sama dengan berbagai elemen masyarakat kota bahkan stake holder dari kota-kota yang lain terkait arus urbanisasi namun tetap saja kunci pertama adalah keseriusan dan konsistensi yang harus ditunjukkan oleh Pemerintah Kota dalam mengawal program-program terkait PKL ini. Beberapa hal yang mungkin bisa menjadi pertimbangan Pemerintah kota dalam menangani PKL ini adalah :
1. Mengawali dengan paradigma bahwa PKL bukanlah semata-mata beban atau gangguan bagi keindahan dan ketertiban kota. Tetapi, PKL juga punya hak hidup dan mendapatkan penghasilan secara layak, namun tentunya alasan seperti ini jangan sampai digunakan pedagang untuk berdagang tanpa mematuhi aturan karena tidak semua lokasi bisa dipakai sebagai tempat usaha. Pemkot tetap harus tegas namun tentunya ini membutuhkan komunikasi dengan penuh keterbukaan.
2. PKL sesungguhnya juga merupakan aset dan potensi ekonomi jika benar-benar bisa dikelola dengan baik. Paradigma ini akan berimplikasi pada cara pendekatan Pemkot ke PKL yang selama ini dianggap sangat represif-punitif yang justru melahirkan perlawanan dan mekanisme “kucing-kucingan” yang sama sekali tidak menyelesaikan masalah.
3. Masalah yang muncul berkenaan dengan PKL ini adalah banyak disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL di perkotaan. Konsep perencanaan ruang perkotaan (RTRW) yang tidak didasari oleh pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem perkotaan akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal termasuk PKL. Kawasan yang dikhususkan untuk PKL telah terbukti menjadi solusi dibeberapa tempat di Indonesia. Bahkan bisa menjadi alternative tempat wisata jika dimodifikasi dengan hiburan yang menarik perhatian masyarakat.
4. Pemerintah Kota harus memiliki riset khusus secara bertahap untuk mengamati dan memetakan persoalan PKL, pasang-surut perkembangan PKL serta bangunan liar di berbagai wilayah kota, sehingga bisa meletakkan argumen logis untuk aktivitas berikutnya. Sehingga model pembinaan ke PKL bisa beragam bentuknya dan tidak mesti dalam bentuk bantuan modal. Model pembinaan PKL dari Pemkot yang memang sudah berjalan dan dirasakan efektif mungkin bisa dilanjutkan tinggal bagaimana memperkuat pengawasan implementasi di lapangan karena masih banyak keluhan indikasi lemahnya pengawasan penyimpangan.
5. Pemerintah Kota harus membuka diri untuk bekerja sama dengan elemen masyarakat dalam penanganan masalah PKL ini. Semisal LBH dan beberapa LSM atau pihak akdemis mungkin bisa dilibatkan untuk melakukan riset pemetaan persoalan PKL dan advokasi ke mereka. Beberapa Ormas bahkan Parpol pun bisa berperan dalam hal pembinaan ke mereka sehingga PKL ini benar-benar menjadi tanggung jawab bersama masyarakat.
6. Pemerintah Kota harus memastikan payung hukum (Perda) yang tidak menjadikan PKL sebagai pihak yang dirugikan. Pelibatan semua elemen yang terkait baik itu masyarakat, pengusaha, dewan, dinas terkait dan elemen yang lain dengan semangat keterbukaan justru akan menjadikan kebijakan pemkot didukung dan dikawal implementasinya oleh banyak kalangan.
7. Pemerinyah Kota juga harus berani mengawal regulasi terkait penyediaan 10 % area bagi tiap-tiap tempat pembelanjaan seperti Mall atau supermarket yang dikhususkan untuk PKL. Tentunya Pemerintah kota harus memfasilitasi sehingga antara pihak PKL dan Pengusaha bisa sama-sama tidak dirugikan.
8. Penertiban terhadap PKL liar mestinya harus dilakukan dengan pendekatan dialog yang bernuansa pembinaan dan bukan pendekatan represif yang justru memicu perlawanan dan tidak boleh terkesan tebang pilih karena bisa memicu kecurigaan masyarakat tentang adanya tekanan politis dari kekuatan tertentu yang mengarahkan penertiban hanya pada komunitas tertentu. Penggusuran yang tidak disertai keberlanjutan program yang pasti bisa berdampak pada peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan. Pengangguran yang jika tidak terkendali dengan baik justru memicu tindakan kriminalitas baru.
9. Selain penerapan Kebijakan penertiban terhadap PKL, Pemerintah kota juga harus berani melakukan penertiban kepada komunitas lain yang memang juga melanggar aturan tata tertib kota semisal sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang menempati jalur hijau kota, dan bangunan-bangunan komersial yang melanggar garis sempadan.
10. Pemerintah Kota juga harus punya langkah preventif berupa pencegahan arus urbanisasi agar tidak kelewat batas atau melebihi kemampuan daya tampung kota. Kerja sama dengan daerah hinterland (pedalaman) mutlak dilakukan.
Konsistensi langkah Pemerintah kota dalam mengawal poin-poin diatas semoga bisa menempatkan PKL menjadi bagian terintegral dari masyarakat yang lain dan menjadi bagian penting dalam sistem ekonomi perkotaan dan bukan sebagai korban pembangunan kota metropolitan.








DAFTAR PUSTAKA

http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&q=pedagang+kaki+lima+dan+permasalahannya&btnG
http://hetifah.com/artikel/penyebab-gagalnya-pengelolaan-pkl-di-perkotaan.html
http://www.scribd.com/doc/3499983/Formulasi-Kebijakan-Publik
http://ratnadwipa.blogspot.com/2008/12/agenda-setting-dan-perumusan-masalah.html
http://widytaurus.wordpress.com/2008/02/15/penggusuran-pkl-salah-siapa/
http://www.scribd.com/doc/23887284/Policy-Paper-Sanitasi-Lingkungan

Kebijakan Untuk Menyelamatkan Masyarakat Miskin

A. Pendahuluan

Kebijakan merupakan sebuah agenda yang akan dijadikan sebagai dasar dalam menjalankan sebuah tatanan pemerintahan. Kehadiran sebuah kebijakan dianggap sebagai upaya untuk menanggulangi berbagai macam permasalahan-permasalahan yang dialami oleh masyarakat. Namun tidak serta merta bahwa kebijakan yang telah dihasilkan oleh pemerintah akan menjadi solusi yang ampuh untuk menanggulangi segala bentuk permasalahan yang dialami oleh masyarakat. Terkadang hasil atau implementasi dari kebijakan tersebut justru berdampak sebaliknya, justru menimbulkan masalah yang baru.

Kenyataan seperti uraian diatas dapat kita lihat dari dampak yang dihasilkan oleh sebuah kebijakan dari pemerintah yaitu dengan mengeluarkan kebijakan BLT (Bantuan Langsung Tunai) dalam upaya memberantas kemiskinan sebagai dampak dari kenaikan BBM. Hadirnya kebijakan ini didasari oleh di keluarkannya Peraturan Presiden Nomor 55/2008 tentang kenaikan harga jual eceran BBM di dalam negeri, yang naik rata-rata 126 persen per Oktober 2005. Pemerintah mengasumsikan bahwa dengan program kebijakan BLT tersebut akan mengurangi jumlah rumah tangga miskin (RTM) yang terkena dampak dari kenaikan harga BBM tersebut.

Permasalahan yang lahir dari kebijakan program Bantuan Langsung Tunai yang di keluarkan oleh pemerintah tersebut adalah justru tidak mengurangi secara subtansial jumlah rumah tangga miskin, tetapi melainkan semakin menambah jumlah rumah tangga miskin yang ada. Kebijakan BLT tersebut dijadikan oleh sebagian masyarakat sebagai ajang untuk mendapatkan dana gratis yang sebenarnya peruntukannya bukan untuk semua kalangan. Maksudnya bahwa, program kebijakan BLT ini adalah produk yang dikhususkan bagi kalangan rumah tangga miskin. Namun, masalah yang terjadi dilapangan bahwa banyaknya masyarakat yang notabene tergolong dalam kategori keluarga mampu turut serta dalam proses untuk mendapatkan bantuan tersebut. Artinya bahwa, dari kebijakan ini melahirkan orang-orang miskin yang baru yang sebenarnya pada hakikatnya mereka bukanlah orang yang miskin. Permasalahan yang lain yang ditimbulkan oleh kebijakan ini adalah semakin menguatnya budaya malas dalam kalangan masyarakat, karena masyarakat menganggap bahwa pemerintah telah menjamin kehidupan mereka dalam bentuk bantuan langsung tunai tersebut sehingga mereka merasa tidak perlu lagi untuk bekerja atau mencari nafkah. Permasalahan ini hampir merata terjadi disetiap daerah, mengingat bahwa program BLT ini adalah merupakan kebijakan dari pemerintah pusat yang diteruskan ke pemerintah daerah. Dengan kata lain bahwa, permasalahan yang timbul dari kebijakan tersebut terjadi secara menyeluruh di Negara Indonesia.

Dampak dari kenaikan harga BBM sangat dirasakan oleh masyarakat kalangan ekonomi lemah ke bawah. Namun solusi yang dihadirkan oleh pemerintah, yakni melalui BLT tidak berimplikasi secara signifikan dalam hal merubah derajat hidup masyarakat. Sasaran pemberian BLT yang seharusnya diperuntukan kepada masyarakat miskin atau ekonomi lemah, namun tidak sedikit juga ada masyarakat yang tergolong mampu yang juga bisa mendapatkan program BLT tersebut. Masyarakat miskin ternyata tidak mampu untuk mengeluarkan dirinya dari belenggu kemiskinan, terutama dengan adanya krisis ekonomi serta kenaikan harga BBM yang berimplikasi terhadap naiknya harga kebutuhan pokok. Masyarakat miskin pun semakin terjepit dan semakin tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Hingga akhirnya jumlah masyarakat miskin akan semakin bertambah. Tujuan pemerintah untuk menjadi masyarakat sejahtera semakin jauh dari kenyataan.

Tujuan dari policy paper adalah memberikan sebuah solusi atau alternatif-alternatif kebijakan kepada pihak pemerintah atas upaya untuk mengurangi masyarakat miskin yang semakin hari semakin bertambah. Kebijakan Bantuan Langsung Tunai sebenarnya sudah tidak tepat lagi untuk di gunakan, bahkan kebijakan tersebut adalah sebuah produk kebijakan yang salah dan dinilai gagal. Diperlukan solusi cerdas yang sekiranya dalam proses pengimplementasiannya sebisa mungkin tidak menimbulkan permasalahan yang baru. Berikut ini akan dipaparkan alternatif kebijakan yang mungkin bisa dijadikan rujukan atau perbandingan dari kebijakan apa yang nantinya akan dikeluarkan oleh pemerintah.

Struktur dari policy paper ini adalah terdiri dari penjelasan, tujuan penulisan policy paper, alternatif kebijakan serta rekomendasi kebijakan. Policy paper ini sebatas dari apa yang akan dijadikan sebagai rumusan atau alternatif bagi pemerintah dalam mengambil sebuah keputusan untuk menanggapi sebuah permasalahan.

B. Pernyataan Masalah

Meningkatnya jumlah masyarakat miskin akibat kebijakan kenaikan harga BBM semakin menjadikan Negara kita kian terpuruk. Momen kebangkitan yang selalu dicanangkan oleh pemerintah sepertinya akan sulit tercapai. Laju angka kemiskinan terus saja meningkat, meskipun berbagai program telah diluncurkan oleh pemerintah dalam hal mengatasi atau mengurangi jumlah masyarakat miskin. Program yang paling santer terdengar adalah program pemberdayaan masyarakat melalui BLT (Bantuan Lansung Tunai).

Namun hadirnya kebijakan program BLT ini, ternyata tidak mampu mengurangi jumlah masyarakat miskin justru malah menciptakan atau menambah jumlah masyarakat miskin secara drastis. Program ini juga kebanyakan tidak menyentuh langsung kepada objek atau masyarakat miskin. Panjangnya jalur birokrasi atau aturan yang berbelit-belit tersebut sedikit banyak memangkas jumlah dana bantuan yang seharusnya diterima oleh masyarakat. Ini sudah sangat jelas bahwa program atau kebijakan BLT yang dikeluarkan oleh pemerintah sama sekali tidak menciptakan sebuah solusi untuk mengurangi jumlah masyarakat miskin. Selain itu, budaya korupsi juga semakin tumbuh subur dikalangan birokrasi atau aparat pemerintah yang bersentuhan lansung dengan program tersebut.

Melihat fenomena tersebut diatas serta apa yang terjadi dilapangan, jelas sangat dibutuhkan perhatian khusus dari pemerintah untuk segera mencari solusi atau pengganti dari kebijakan program BLT tersebut. Ketika pengucuran dana BLT tersebut berlangsung, saat itu pula terlihat dengan jelas masalah-masalah yang ditimbulkan oleh kebijakan tersebut. Tujuan semula dari program BLT tersebut adalah menjaga agar daya beli masyarakat tetap terjaga, namun ternyata menimbulkan anomali sosial dikalangan masyarakat. Di beberapa daerah terjadi aksi pengrusakan lantaran satu KK mendapat dan KK yang lain tidak. Konflik yang dipicu dari rasa saling iri menghasilkan amukan massa yang cukup dahsyat. Amukan yang dilakukan massa maupun individu membawa korban jiwa dan fisik desa. Seorang tetangga tega-teganya membunuh petugas BPS selaku surveyer di lapangan yang sebenarnya adalah tetangganya sendiri. Hal ini disulut karena namanya tidak tercantum dalam daftar keluarga miskin itu. Kerusakan fisik juga dapat terlihat dari hasil amukan massa yang sempat merusak beberapa sarana desa. Balai desa, kantor kepala desa atau kelurahan menjadi sasaran empuk untuk menyalurkan kekecewaanya terhadap kebijakan pemerintah itu. Anomali sosial yang mengiringi pengucuran BLT tahap satu itu sempat terekam di beberapa mas media, baik cetak maupun elektronik. Akhirnya, terjadi reaksi yang sama di beberapa daerah, petugas survei mengundurkan diri lantaran mereka dituduh sebagai biang keladi masalahnya. Tuduhan ini cukup beralasan, pasalnya mereka adalah penentu tentang kelaikan tidaknya satu keluarga untuk menerima BLT. Selain itu, naif juga ketika dengan kepercayaan diri yang dalam, pemerintah menugaskan BPS untuk mendapatkan data keluarga miskin secara akurat dan tepat. Pasalnya, setiap daerah ketika dilakukan survei yang implikasinya adalah pemberian sumbangan, maka berbondong-bondong orang akan mengaku sebagai keluarga miskin.

Sedikitnya ada tiga masalah mendasar berkenaan dengan kebijakan tersebut. Pertama, dengan memberikan bantuan secara tunai dan langsung, sesunggunya pemerintah sedang melatih masyarakatnya untuk bergantung pada pihak yang kuat. Sedangkan proses penggantungan keadaan ini bukanlah hal yang produktif bagi keberdayaan masyarakat. Jadi, sifat bantuan yang tunai serta langsung itu hanya kan menjadi batu sandungan atau titik balik pembangunan. Dulu, ketika masa Orde Baru pembangunan ala top down dikritik karena melahirkan ketergantungan antara pemerintah dengan warganya, dan kemudian kebijakan tersebut kembali terulang dalam bentuknya yang lain. Kedua, sepertinya pemerintah tutup mata terhadap sikap mental mayoritas masyarakat kita. Artinya, fakta di lapangan bahwa sikap mental masyarakat kita belum lah terlalu jujur mau mengakui tentang keadaan dirinya yang sebenarnya. Dengan kebijakan pengucuran sumbangan uang dalam bentuk tunai, banyak masyarakat yang tadinya mampu beralih ‘profesi’ menjadi orang miskin. Ketiga, tentunya anggaran yang digunakan untuk memberi sumbangan tunai itu tidak cukup dalam hitungan milyaran rupiah. Artinya, jika kita asumsikan terdapat 10 juta keluarga miskin saja, maka satu kali pengucuran akan membutuhkan anggaran sebesar Rp. 3.000.000.000.000 (tiga trilyun rupiah). Padahal dengan anggaran sebesar itu pemerintah seharusnya mampu membuat kebijakan yang lebih cerdas serta memberdayakan.

Pada dasarnya awal terjadinya masalah tersebut dikarenakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah menyangkut tentang pengurangan subsidi BBM. Dipangkasnya subsidi BBM menjadikan masyarakat miskin semakin tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka program BLT pun dikeluarkan oleh pemerintah untuk membantu masyarakat miskin yang paling merasakan imbas dari kenaikan harga BBM.

Masalah kemiskinan merupakan masalah klasik yang dialami oleh Negara kita. Masalah ini tak henti-hentinya menerpa bangsa kita. Berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan namun belum mampu untuk member kontribusi besar dalam mengurangi atau mengentaskan masalah kemiskinan ini. Kebijakan yang paling terakhir yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah kebijakan program Bantuan Lansung Tunai. Namun, hasil dari program ini sangat jauh dari harapan. Ternyata program ini lebih banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan yang baru di dalam masyarakat. Pihak yang paling merasakan dari adanya permasalahan tersebut adalah masyarakat miskin itu sendiri. Hasil dari kebijakan ini ternyata tidak serta merta membuat keidupan masyarakat miskin lebih baik namun sebaliknya menjadikan kehidupan masyarakat miskin semakin terpuruk dan jauh dari tingkat kesejahteraan.

Kebijakan yang paling populer yang telah dikeluarkan oleh pemerintah sebagai upaya untuk mengurangi jumlah masyarakat miskin maupun upaya agar daya beli masyarakat miskin dapat terbantu akibat kebijakan kompensasi kenaikan harga BBM yang dilakukan oleh pemerintah adalah kebijakan program Bantuang Langsung Tunai (BLT) dan Raskin. Namun tidak dapat dilihat secara signifikan bagaimana hasil dari program kebijakan tersebut, justru yang paling nampak adalah semakin bertambahnya jumlah masyarakat miskin akibat program bantuan cuma-cuma tersebut. Masyarakat justru berbondong-bondong untuk menyatakan bahwa dirinya adalah masyarakat miskin. Masalah yang lain, yang dimunculkan dari program tersebut adalah melihat hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) menunjukkan, pada pembayaran BLT bulan Oktober - Desember 2005, sekitar 5,83% RTM tidak menerima BLT secara utuh. Sedangkan pada pembayaran Januari-Maret 2006 10,38% RTM tidak menerima. Titik-titik kebocoran BLT 2005 pun terjadi pada saat penyaluran, antara lain adanya uang untuk keamanan, honor petugas desa, transportasi, serta biaya administrasi. Sedangkan pihak-pihak yang melakukan pemungutan antara lain, aparat dusun/RT/RW (42,6%, 61%), aparat desa (17,8%, 29%), aparat kecamatan (1,2%, 0%), dan aparat BPS (0,8%, 3%).

C. Alternatif Kebijakan

Melihat fenomena yang terjadi akibat dari program kebijakan BLT tersebut yang ternyata dalam proses pengimplementasiaannya tidak menghasilkan apa-apa dan bahkan hanya menimbulkan berbagai masalah-masalah baru. Oleh karena itu, maka penulis akan paparkan beberapa bentuk alternatif kebijakan yang mungkin bisa dijadikan rujukan atau pilihan bagi pemerintah dalam mengambil sebuah kebijakan dalam hal upaya pengentasan kemiskinan.


Adapun alternatif kebijakan yang bisa saya kemukakan adalah sebagai berikut:
1.Seharusnya pemerintah lebih memilih proyek padat karya untuk menciptakan lapangan pekerjaan.
2.Pemberian kredit usaha kepada masyarakat miskin tanpa bunga yang disertai dengan pengawasan dalam penggunaannya serta pembimbingan dalam hal melakukan usaha.
3.Membuat kebijakan yang lebih bersentuhan dengan masyarakat, misalnya penyediaan pendidikan dengan murah dan kesehatan yang terjangkau.
4.Kebijakan program pasar murah setiap minggunya yang diperuntukan bagi masyarakat golongan menengah ke bawah.
5.Memberikan pelatihan keterampilan kepada kelompok masyarakat miskin agar mampu membuka usaha sendiri serta pemberian modal usaha dengan sistem bagi hasil.

Dari beberapa alternatif kebijakan di atas, penulis lebih cenderung memilih 2 alternatif kebijakan, yaitu:
1.Pemberian kredit usaha atau modal usaha kepada masyarakat miskin tanpa bunga yang disertai dengan pengawasan dalam penggunaannya serta pembimbingan dalam hal melakukan praktek usaha.
2.Membuat kebijakan yang lebih bersentuhan dengan masyarakat, misalnya penyediaan pendidikan dengan murah dan kesehatan yang terjangkau.

Melihat alternatif kebijakan yang dipilih, maka penulis akan menjelaskan beberapa alasan mengapa kebijakan tersebut dipilih. Alasan-alasannya sebagai berikut:
a.Dengan memberikan kredit usaha atau modal usaha kepada rakyat miskin tanpa dikenakan bunga, paling tidak akan memotivasi masyarakat untuk berusaha mengingat ada tanggung jawab dalam hal pengambilan kredit. Maksudnya dengan adanya beban utang atau pinjaman tersebut dapat memacu kreatifitas serta semangat untuk berusaha agar mampu mengembalikan dana pinjaman tersebut.
b.Dengan turut berperan sertanya pemerintah dalam mengawasi serta melakukan bimbingan untuk praktek usaha, sekiranya dapat member semangat serta petunjuk kepada masyarakat tentang prospek atau bagaimana mengembangkann usahanya. Peran pengawasan pemerintah dalam hal ini bisa menjadi security atau penjaga agar masyarakat benar-benar menggunakan dana kredit usaha atau modal usaha tersebut sesuai dengan peruntuannya.
c. Dengan alokasi dana yang sangat banyak dalam program BLT, seharusnya pemerintah lebih menitikberatkan pada sektor yang bersentuhan lansung dengan masyarakat, terutama masyarakat miskin. Program pendidikan yang murah serta pemenuhan pelayanan kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat miskin, sebisa mungkin jumlah anggarannya di tingkatkan agar masyarakat mampu untuk mengakses serta merasakan bangku sekolah dan pelayanan rumah sakit seperti halnya masyarakat yang tergolong mapu, ketimbang membiayai program BLT yang hanya mencetak masyarakat-masyarakat miskin yang baru serta berjiwa pemalas.

Adapun kelemahan atau keterbatasan dari alternatif yang dipilih adalah sebagai berikut :
a.Mungkin diawal-awal penerapan kebijakan ini akan sedikit mengalami hambatan diakibatkan bahwa sudah terbiasanya masyarakat dimanjakan oleh program pemberian dana secara langsung dan tunai.
b.Dilihat dari segi pengalokasiannya atau sistem penyalurannya akan sedikit mengalami hambatan. Dalam hal ini bahwa, mungkin masih akan didapati upaya-upaya untuk menyunat atau memotong sebagian dari dana kredit usaha untuk masyarakat miskin baik melalui alasan administrasi dan alasan lainnya.
c.Dalam hal penerapan kebijakan tersebut, harus disertai dengan upaya pengawalan atau kegiatan memantau dari proses penerapan kebijakan agar apa yang menjadi sasaran atau target dapat tercapai.


Dari seluruh kebijakan yang penulis paparkan diatas, hampir seluruhnya merupakan terobosan baru dalam upaya memberdayakan masyarakat miskin serta meningkatkan derajat kesejahteraan mereka. Dari beberapa alternative kebijakan yang penulis ajukan, penulis lebih cenderung dan merasa sangat optimis memilih dua alternatif tersebut. Dari kedua alternatif tersebut, penulis nilai lebih akan member dampak yang signifikan jika diterapkan dianding dengan alternatif-alternatif yang lainnya. Paling tidak, alternatif kebijakan yang penulis pilih dapat mengeluarkan masyarakat dari ketergantungan dan sifat malas untuk berusaha dan bekerja.

Dari kedua alternatif tersebut dapat dipilih atau tidak dipilih itu tergantung dari pemerintah. Kebijakan ini hanya bersifat sebagai pedoman serta pembanding dari kebijakan-kebijakan apa yang nantinya akan dipilih oleh pemerintah. Jika pun alternatif kebijakan ini akan dipilih, paling tidak akan memberi hasil yan berbeda dari kebijakan sebelumnya. Kebijakan ini akan melatih dan membentuk karakter masyarakat yang kuat untuk berusaha dan bekerja serta tidak menggantungkan diri kepada bantuan cuma-cuma dari pemerintah.

D. Kesimpulan dan Rekomendasi

Lahirnya sebuah kebijakan berawal dari adanya masalah-masalah yang dirasakan oleh masyarakat. Namun tidak serta merta pemerintah langsung dapat mengeluarkan sebuah kebijakan untuk mengatasi suatu permasalahan. Dibutuhkan banyak hal untuk merumuskan kebijakan yang terbaik untk masalah tersebut. Keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan sebuah kebijakan harus juga diperhatikan.

Seperti halnya kebijakan dalam upaya mengatasi atau mengurangi tingkat masyarakat miskin. Pemerintah mengeluarkan kebijakan program dana Bantuan Lansung Tunai (BLT) sebagai kompensasi dari kebijakan kenaikan harga BBM. Dimana tiap kepala rumah tangga mendapat uang sebesar Rp. 100.000,- per bulannya yang dibayarkan tiap tri wulan. Dana ini ternyata dimamfaatkan oleh sebagian masyarakat yang seharusnya tidak pantas untuk mendapatkan dana ini. Banyaknya bermunculan masyarakat-masyarakat miskin yang baru akibat dari program ini. Yang tidak kalah pentingnya adalah timbulnya karakter atau sifat malas dari masyarakat untuk berusaha dan bekerja. Mereka menggantungkan hidup mereka dari subsidi dana bantuan lansung tunai tersebut. Di sisi lain, timbulnya praktek KKN atau penyunatan dana yang disalurkan kepada masyarakat yang dilakukan oleh beberapa oknum dengan dalih biaya administrasi dan biaya lainnya.

Berikut beberapa rekomendasi kebijakan yang penulis usulkan dalam policy paper ini :
1.Seharusnya pemerintah lebih memilih proyek padat karya untuk menciptakan lapangan pekerjaan.
2.Pemberian kredit usaha kepada masyarakat miskin tanpa bunga yang disertai dengan pengawasan dalam penggunaannya serta pembimbingan dalam hal melakukan usaha.
3.Membuat kebijakan yang lebih bersentuhan dengan masyarakat, misalnya penyediaan pendidikan dengan murah dan kesehatan yang terjangkau.
4.Kebijakan program pasar murah setiap minggunya yang diperuntukan bagi masyarakat golongan menengah ke bawah.
5.Memberikan pelatihan keterampilan kepada kelompok masyarakat miskin agar mampu membuka usaha sendiri serta pemberian modal usaha dengan sistem bagi hasil.










DAFTAR PUSTAKA

Riant Nugroho, Analisis Kebijakan, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2007.
http://antikorupsi.org/indo/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=14842
http://pelajar-islam.or.id/cetak.php?id=144
http://www.hupelita.com/cetakartikel.php?id=82638
http://www.bentara-online.com/main//index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=1365
http://www.pk-sejahtera.org/v2/index.php?op=isi&id=4952
http://www.indonesiaontime.com/opini/11-opini/8034-kebijakan-yang-tidak-pro-rakyat.html

Masalah dan Dampak Kebijakan BLT

Di Indonesia, upaya kepedulian terhadap persoalan kemiskinan, bahkan sudah berlangsung sejak lama, baik pada jaman pemerintahan masa Orde Lama, masa Orde Baru, maupun pada masa pemerintahan di era Reformasi ini. Untuk menunjukkan kepeduliannya terhadap persoalan kemiskinan ini, pemerintahan SBY-JK juga tidak mau ketinggalan. Bukti nyata dari kepedulian pemerintahan SBY-JK adalah terlihat pada program “Bantuan Langsung Tunai” yang selanjutnya ditulis BLT. Hal mana mulai terlaksana melalui ‘Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 12 Tahun 2005’, tentang “Bantuan Langsung Tunai kepada rumah tangga-rumah tangga miskin di Indonesia”. Tujuan yang diharapkan melalui kebijakan program ini adalah dapat menjawab persoalan kemiskinan di Indonesia, sebagai akibat dari segenap perubahan yang telah terjadi, baik secara nasional maupun global serta bertujuan agar daya beli masyarakat tetap terjaga. BLT ini diberikan sebesar Rp. 300.000 / kepala keluarga miskin atau tak mampu. Yang menjadi persoalan adalah siapa yang tergolong keluarga miskin atau tak mampu itu. Untuk menjembatani hal ini, BPS melakukan survei data dan lapangan. Dan akhirnya pengucuran tahap satu BLT dapat dilakukan relatif sesuai dengan jadwalnya.

Ketika pengucuran dana BLT tersebut, muncul permasalahan-permasalahan. Di beberapa daerah terjadi aksi pengrusakan lantaran satu KK mendapat dan KK yang lain tidak. Konflik yang dipicu dari rasa saling iri menghasilkan amukan massa yang cukup dahsyat. Amukan yang dilakukan massa maupun individu membawa korban jiwa dan fisik desa. Sedangkan di sisi lain, pemerintah menggarisbawahi bahwa anomali sosial yang terjadi lebih disebabkan oleh tindakan pihak-pihak yang ingin memanfaatkan suasana demi meraih keuntungan tertentu.

Pengucuran tahap dua BLT mengambil nama lain, Sumbangan Langsung Tunai (SLT). Perbaikan yang kentara yakni pada mekanisme pengambilannya. Jika BLT dilakukan dan diselenggarakan oleh perangkat desa dan/atau petugas BPS. Maka pada SLT, pemerintah menunjuk Departemen Pos dan Giro untuk memanfaatkan seluruh kantor pos yang tersedia di daerah-daerah sebagai tempat pengambilan. Selain perpindahan tempat, dulunya di balai desa atau kantor kelurahan, pengambil SLT harus juga memiliki surat keterangan khusus tentang status keluarganya. Dan hasilnya cukup menggembirakan, anomali sosial yang terjadi pada BLT tahap satu relatif berkurang pada pengucuran keduanya. Tapi, apakah masalah sudah selesai ketika BLT/SLT tidak bermasalah di masyarakat?

Berkaca pada kebijakan BLT tahun 2005 banyak kelemahan-kelemahan dan masalah-masalah yang akan ditimbulkan oleh kebijakan BLT ini, antara lain :
1.Dengan memberikan bantuan secara tunai dan langsung, sesunggunya pemerintah sedang melatih masyarakatnya untuk bergantung pada pihak yang kuat. Sedangkan proses penggantungan keadaan ini bukanlah hal yang produktif bagi keberdayaan masyarakat.
2.Timbulnya sikap mental masyarakat yang belum mau jujur mengakui tentang keadaan dirinya yang sebenarnya. Dengan kebijakan pengucuran sumbangan uang dalam bentuk tunai, banyak masyarakat yang tadinya mampu beralih ‘profesi’ menjadi orang miskin. Bisa jadi karena ternyata menjadi orang miskin di negara kita cukup menguntungkan.
3.Kebijakan BLT memiliki kecenderungan menjadi pemicu konflik sosial di masyarakat.
4.Validitas data masyarakat miskin yang diragukan sehingga akan berdampak pada ketepatan pemberian dana BLT kepada masyarakat yang berhak.
5.Dari sisi keuangan negara, kebijakan BLT merupakan kebijakan yang bersifat menghambur-hamburkan uang negara karena kebijakan tersebut tidak mampu menyelesaiakan masalah kemiskinan secara berkelanjutan dan tidak mampu menstimulus produktifitas masyarakat miskin. Dalam ranah ini, proyek padat karya dapat dipilih, atau mengalihkannya kepada sektor pendidikan, pelayanan kesehatan, dan sebagainya.
6.Efektifitas dan efisiensi penggunaan dana BLT yang tidak dapat diukur dan diawasi karena lemahnya fungsi pengawasan pemerintahan terhadap kebijakan tersebut.

Disatu sisi, kebijakan BLT ini mungkin akan memberikan dampak positif bagi masyarakat miskin. Dengan BLT, kenaikan biaya hidup yang diakibatkan oleh kenaikan BBM secara langsung maupun dampak kenaikan harga kebutuhan pokok akibat kenaikan BBM, akan sedikit tertutupi dengan adanya dana “cuma-cuma” yang diberikan oleh pemerintah. Akan tetapi disisi yang lain kebijakan BLT ini memiliki dampak negatif yakni kebijakan ini akan berdampak negatif pada perilaku dan karakter masyarakat. Kebijakan ini sangat riskan menciptakan karakter masyarakat yang salalu dimanja dan menjadi bangsa “peminta-minta”. Selain itu, permasalahan efektifitas dan efisiensi kebijakan ini juga sangat diragukan, apalagi kalau kita melihat bahwa landasan kenaikan BBM adalah kondisi defisit keuangan negara yang semakin membengkak.

Kalau melihat pada dampak yang akan ditimbulkan oleh kebijakan BLT ini, kebijakan BLT tidak akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kondisi masyarakat miskin di Indonesia. Ini disebabkan nominal BLT yang diberikan tidak seimbang dengan kenaikan biaya hidup yang ditanggung oleh masyarakat akibat kenaikan harga BBM. Coba kita bayangkan, kenaikan BBM tersebut akan mendorong kenaikan biaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat miskin, mendorong kenaikan biaya input produksi masyarakat miskin yang kebanyakan berada pada sektor pertanian (baik petani maupun nelayan) yang berada di pedesaan. Apabila kita membandingkan total kenaikan biaya hidup (biaya pemenuhan kebutuhan dasar dan input produksi) masyarakat miskin dengan nominal dana BLT yang diberikan, kebijakan ini tidak akan berdampak siginifikan. Apalagi, pemerintah tidak bisa menjamin efesiensi dan efektifitas penggunaan dana BLT yang diberikan kepada masyarakat.

Selain itu, dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan BLT tersebut tidak mampu memberikan dampak positif pada peningkatan produktifitas masyarakat miskin, melainkan kecenderungannya memberikan dampak negatif pada penurunan produktifitas. Kebijakan BLT hanya merupakan kebijakan yang hanya meberikan “ikan” bukan “kail” kepada masyarakat miskin.

Dari sisi politis, kebijakan BLT bukanlah kebijakan pemerintah untuk membantu dan mengangkat masyarakat (meningkatkan derajat kesejahteraan) miskin melainkan hanya sebuah keputusan politik yang berorientasi untuk mepertahankan image pemerintahan di mata masyarakat. Kebijakan politis ini terpaksa diambil oleh pemerintah sehubungan semakin dekatnya jadwal pesta demokrasi pemilu 2009.

Kemiskinan dan Faktor Penyebabnya

Kemiskinan adalah penyakit sosial ekonomi yang tidak hanya dialami oleh Negara-negara berkembang melainkan negara maju sepeti Inggris dan Amerika Serikat. Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yaitu kemiskinan alami dan kemiskinan buatan. Kemiskinan alami terjadi akibat sumber daya alam (SDA) yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan Buatan diakibatkan oleh imbas dari para birokrat kurang berkompeten dalam penguasaan ekonomi dan berbagai fasilitas yang tersedia, sehingga mengakibatkan susahnya untuk keluar dari kemelut kemiskinan tersebut. Dari indikator ekonomi secara teoritis dapat dihitung dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendapatan, dan pengeluaran. Sementara saat ini langkah yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) untuk menarik garis kemiskinan adalah pendekatan pengeluaran.

Kondisi kemiskinan kian hari menjadi sangat fenomenal di Indonesia, karena kemiskinan ini sangatlah berpengaruh besar dalam pertumbuhan serta perkembangan Negara. Kemiskinan tidak hanya terjadi di Negara yang sedang berkembang, namun kemiskinan juga dapat terjadi di Negara yang sudah maju.

Beberapa faktor penyebab timbulnya kemiskinan adalah:
a.Faktor Individual, yaitu disebabkan oleh individu itu sendiri, seperti kemalasan, kebodohan, dll.
b.Faktor struktural, faktor stuktural ini begitu besar mengambil peran
dalam penciptaan kemiskinan, karena meliputi semua orang yang ada di dalamnya. Faktor ini berada di luar diri individu sehingga dalam banyak hal tidak bisa dikendalikan oleh individu tersebut, tetapi sangat mempengaruhi individu tersebut.

Selain itu juga terdapat beberapa penyebab utama dari timbulnya kemiskinan. Penyebab utama dari timbulnya kemiskinan ini adalah:
1.Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan.
2.Terbatasnya akses serta rendahnya mutu pelayanan kesehatan, pendidikan dan sempitnya lapangan pekerjaan.
3.Kurangnya pengawasan dan perlindungan terhadap asset usaha.
4.Kurangnya penyesuaian terhadap gaji/upah dengan pekerjaan yang dilakukan seseorang.
5.Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam.
6.Besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga.
7.Tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.

Upaya Koruptor dan Koleganya Melemahkan KPK

Tidak bisa dipungkiri bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Meski dengan sejumlah catatan, kinerja KPK setidaknya telah membangun kepercayaan publik tentang adanya lembaga penegak hukum yang secara serius memberantas korupsi. Selama lima tahun terakhir, KPK berupaya menjawab keraguan banyak kalangan dengan menangani sejumlah kasus korupsi yang sebelumnya dinilai tidak tersentuh. Sudah puluhan kepala daerah yang diproses. Sejumlah kasus kelas kakap yang melibatkan sejumlah mantan menteri, pejabat bank sentral, kalangan bisnis, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga diusut. Selain itu, KPK mulai memfokuskan pada kasus korupsi di lembaga peradilan seperti kejaksaan dan kepolisian. Sayang, upaya KPK yang lebih aktif telah membuat sejumlah kalangan, tak cuma koruptor namun juga kalangan pemerintah, parlemen, dan partai politik, gerah. Terlebih, KPK menangkapi para anggota DPR dan para pejabat pemerintah yang terlibat dalam kasus korupsi. Kinerja KPK yang progresif tersebut justru mendapatkan perlawanan dari koruptor dan pihak-pihak yang merasa terganggu oleh lembaga antikorupsi itu.

Sejak berdiri pada tahun 2003, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya terdapat 13 cara koruptor dan para pendukungnya melemahkan KPK.
1. Judicial Review UU KPK ke Mahkamah Konstitusi
Pengajuan JR ini tergolong sangat sering, setidaknya MK telah menerima 8 kali UU KPK diuji. Dan, salah satu putusannya adalah terkait dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
2. Proses Seleksi Pimpinan KPK
Track record dan tidak menjadi pertimbangan serius bagi panitia seleksi yang dibentuk Presiden untuk memilih calon pimpinan KPK; Komisi III DPR pun tetap memilih Antasari Azhar yang ditolak oleh masyarakat luas karena rekam jejaknya sebagai jaksa bermasalah di beberapa daerah.
3. Ancaman Bom
Beberapa kali gedung KPK diancam Bom; februari 2008 dan Juli 2009.
4. Ide Pembubaran KPK
Salah seorang Anggota Komisi III DPR RI periode 2004-2009 dari Partai Demokrat pasca KPK melakukan penggeledahan gedung DPR.
5. Penolakan Pengajuan Anggaran KPK
Permohonan dana untuk pemberantasan korupsi dan pembangunan gedung KPK di rekening 069 RAPBN 2009 ditolak oleh DPR (Nov. 2008). Saat itu, KPK sedang gencar membongkar praktek suap anggota DPR.
6. Serangan Legislasi (legislation attack)
a. RUU KPK (revisi UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK).
b. RUU Tindak Pidana Korupsi (revisi UU No. 31 tahun 1999 jo UU 20 th 2001).
c. Perppu No. 4 tahun 2009 yang menjadi dasar hukum kewenangan Presiden menunjuk langsung pimpinan KPK sementara.

7. Pengkerdilan kewenangan Penyadapan
Percobaan pelemahan penyadapan KPK dilakukan berulang kali. Pertama, pernyataan komisi III bahwa penyadapan KPK melanggar hak asasi manusia (HAM) saat beberapa anggota DPR tertangkap tangan menerima suap; pembahasan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), tiba-tiba pasal penyadapan harus dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan menyusup dalam draft RUU (Sept. 2009); dan terakhir melalui RPP Penyadapan yang diinisiasi oleh Depkominfo.
8. Menghilangkan/mengaburkan kewenangan Penuntutan KPK
Sempat disusupkan dalam RUU Pengadilan Tipikor, bahwa penuntutan akan dikembalikan pada koordinasi Jaksa Agung.
9. Penarikan personal Penyidik dan Auditor
Nov. 2008, Mabes POLRI menarik 3 perwira polisi yang diperbantukan di KPK; kemudian Kabareskrim Mabes Polri, Susno Duadji berulang kali mengatakan "kami bisa saja tarik semua personal polisi di KPK"; BPKP berupaya menarik 25 auditor yang sangat membantu pembongkaran kasus korupsi di KPK (Mei 2009), namun urung dilakukan karena tekanan publik.
10. Membekukan fungsi penyidikan dan penuntutan KPK
Sebagain besar anggota Komisi III DPR-RI periode 2004-2009 sempat meminta KPK cuti, karena jumlah pimpinan tidak cukup 5 orang. Sehingga, penyidikan dan penuntutan tidak sah atau illegal.
11. Rencana Audit BPKP terhadap KPK
BPKP mengatasnamakan perintah Presiden SBY untuk mengaudit KPK, padahal lembaga yang berwenang adalah BPK. Presiden membantah, namun publik tidak pernah tahu tentang ketegasan sanksi terhadap Kepala BPKP.
12. Ancaman terhadap investigasi kasus Century
Sempat beredar pesan pendek (sms) tentang ancaman yang diduga berasal dari salah seorang petinggi Kepolisian RI terhadap dua penyidik KPK yang berada di Surabaya.
13. Kriminalisasi dan rekayasa hukum terhadap dua pimpinan KPK
Dari pemeriksaan Tim 8 jelas terlihat, tidak cukup bukti, bahkan proses hukum terkesan dipaksakan untuk menjerat Bibit dan Chandra; persidangan di Mahkamah Konstitusi membuat publik semakin yakin dengan dugaan rekayasa terhadap dua pimpinan KPK bahkan menambah fakta soal Mafia Peradilan di tubuh Kepolisian dan Kejaksaan.

RPP Penyadapan : Babak baru upaya pelemahan KPK

Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informasi saat ini tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai tata cara penyadapan bagi penegak hukum (atau disebut RPP tentang Tata Cara Intersepsi). Pemerintah beralasan bahwa Rancangan ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan menertibkan kewenangan penyadapan karena sekarang patut dicurigai antar instansi saling melakukan penyadapan.

Gagasan atau ide pengaturan penyadapan ini muncul ketika KPK sedang dilemahkan dan dikriminalisasi. Padahal KPK dinilai relatif lebih berhasil menuntaskan kasus korupsi yang melibatkan banyak aktor yang berasal dari kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif dan swasta. Prestasi ini tentu tidak bisa dilepaskan dari kewenangan luar biasa yang dimililikinya, khususnya melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan mulai dari tahapan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan (Pasal 12 ayat (1) huruf a). Dengan kewenangan penyadapan tersebut, terbukti sejumlah koruptor berhasil dijerat dan tertangkap tangan oleh KPK. Sebut saja kasus korupsi yang melibatkan Mulyana W Kusumah, Artalyta Suryani, Al Amin Nasution, dan masih banyak lainnnya. Bahkan dugaan adanya Mafia Peradilan dan rekayasa hukum pada kasus Bibit dan Candra juga terungkap dalam persidangan MK. Bayangkan jika kewenangan penyadapan ini dipangkas dan dikontrol oleh penguasa yang diragukan komitmen pemberantasan korupsinya.
Selain mengancam pemberantasan korupsi, substansi RPP tersebut juga dinilai menyalahi konsep hukum dan tata negara Indonesi. Bahkan, MK melalui salah satu putusannya menyatakan bahwa kewenangan penyadapan KPK sudah konstitusional. Atau kalaupun perlu diatur, harus dilakukan secara hati-hati, tidak berakibat melemahkan KPK dan diatur setingkat undang-undang. Sehingga, jika RPP ini dipaksakan, kita bisa katakan, ada upaya sadar melawan putusan Mahkamah Konstitusi. Ide RPP ini juga tidak populis, ketika publik menginginkan KPK diperkuat dan bukan justru membatasi. Pada sisi lain kami mempertanyakan komitmen Menkominfo Republik Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi dan dukungan terhadap KPK. Penyusunan regulasi ini juga harus dimaknai sebagai babak baru pelemahan KPK, setelah upaya melemahkan KPK melalui permohonan uji materiil (judicial review) di MK dan kriminalisasi pimpinan KPK mengalami kegagalan. Hanya koruptor dan pendukungnya yang terganggu dengan upaya penyadapan KPK dan tidak menginginkan KPK menjadi lebih kuat. Pemerintah juga tidak perlu menerbitkan PP tentang Penyadapan. UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengatur secara tegas larangan penyadapan yang dilakukan selain untuk kepentingan penegakan hukum. Dalam Pasal 31 ayat (1) UU 11 tahun 2008, lanjutnya, yang mengatur BAB VII tentang Perbuatan Yang Dilarang adalah termasuk setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain. Dan dalam ayat (2) menyebutkan, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik. Dalam UU tersebut, juga Pasal 47 juga mengatur mengenai sanksi dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Dengan demikian tata cara penyadapan diserahkan kembali pada UU yang berlaku.Ketentuan Penyadapan KPK diatur dalm UU KPK dan aturan turunan di internal KPK. Selain itu jika dicermati kembali secara subtansi RPP Penyadapan (intersepsi) yang disusun oleh Depkominfo memiliki sejumlah kelemahan atau persoalan. Beberapa diantaranya adalah adanya keharusan izin atau penetapan Ketua Pengadilan ketika melakukan penyadapan. Proses izin atau penetapan Ketua Pengadilan sebagai syarat dalam melakukan penyadapan menjadikan proses menjadi sangat birokratis dan berlarut-larut. Keberhasilan KPK (dibandingkan dengan Kejaksaan dan Kepolisian) selama ini karena tidak mengalami hambatan terkait dengan proses perizinan mulai dari pemeriksaan anggota dewan atau kepala daerah hingga membuka rekening perbankan seorang tersangka.

Untuk kondisi praktek mafia peradilan yang masih marak di pengadilan maka proses izin atau penetapan ini berpotensi menjadi dagangan oknum Ketua Pengadilan. Pertanyaan mendasar lainnya adalah ketika KPK ingin menyadap Hakim atau Ketua Pengadilan atau pejabat pengadilan bahkan pimpinan MA apakah izinnya akan keluar? Pada intinya RPP yang ada justru mempersempit ruang KPK, memperpanjang birokrasi sehingga proses menjadi berlarut-larut, potensial terjadi kebocoran mulai dari tahap permintaan hingga hasil penyadapan, membuka peluang praktek korupsi diperadilan, pembentukan Pusat Intersepsi Nasional dan Dewan Intersepsi Nasional memberikan peluang adanya intervensi dan membuat proses penegakan hukum menjadi tidak efektif dan cenderung gagal. KPK adalah institusi yang paling dirugikan dari terbitnya regulasi ini dan berdampak pada upaya pemberantasan korupsi akan mengalami kemunduran.

Pelemahan KPK Lewat RUU Tipikor

Penilaian banyak kalangan yang menilai ada upaya pihak-pihak tertentu untuk melemahkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tampaknya tidak mengada-ngada. Dalam Rancangan Undang-Undang pengadilan tindak pidana korupsi (RUU tipikor) yang saat ini dibahas di DPR, kewenangan KPK dibatasi hingga pada tingkat penyidikan saja.

Reaksi terhadap RUU tipikor disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW). Berdasarkan penyisiran ICW, terdapat sejumlah pasal krusial yang memberi peluang para koruptor bisa hidup nyaman. Koordinator Divisi Hukum ICW, Febri Diansyah, mencatat banyak poin di RUU tipikor yang berlawanan dengan semangat memberantas korupsi. Pertama, RUU tersebut tidak mencantumkan ancaman pidana minimal. Ketentuan ini, kata Febri, berpotensial munculnya vonis hukuman percobaan bagi terdakwa koruptor. Kedua, masa daluwarsa suatu kasus yang bisa dituntut 18 tahun. Ketiga, bagi terdakwa korupsi di bawah Rp25 juta diberi peluang pengampunan asalkan mau mengembalikan uang yang dikorup itu. Keempat, RUU tidak secara tegas menggunakan istilah pengadilan tipikor. Kelima, kewenangan KPK hanya sampai tingkat penyidikan dan tidak jelas bagaimana untuk tingkat penuntutan. Keenam, ada pasal yang mengatur bahwa pelapor palsu bisa dipidana. Ketujuh, korupsi oleh advokat hanya dijerat dengan kode etik oleh lembaga advokat. Kedelapan, tidak diatur mengenai pembekuan rekening, sehingga berpotensi tersangka atau terdakwa kasus korupsi mengalihkan uangnya ke rekening orang lain. Kesembilan, tidak mengatur pengelolaan aset hasil korupsi. Kesepuluh, tidak mengatur pembatalan kontrak yang prosesnya sarat korupsi. Juga tidak diatur mengenai permufakatan korupsi, penyadapan, peran masyarakat, kewajiban melaporkan harta kekayaan, dan tidak diatur secara jelas mengenai penahanan.