Sabtu, 22 Januari 2011

PARADOKS, KEGANJILAN: INIKAH SOSOK KITA?

DI depan sang Maha Perkasa, saat shalat misalnya, manusia begitu perkasa untuk tidak berbuat nista; ia mampu menyempurnakan jumlah rakaat shalat. Tetapi di hadapan diri sendiri atau orang lain yang maha lemah, di tempat kerja, di pasar, ia bertekuklutut lunglai tak berdaya; ia dengan begitu mudah berbuat nista; ia ingkari kesadarannya tentang Tuhan yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui.

Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di duia nomor satu.
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang susah dicari tandingan.
Di negeriku, komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan, senjata, pesawat tempur, kapal selam, terigu dan peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk kantong jas safari.
Di negeriku, dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat belanja modal raksasa.
Di negeriku, keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli.
Di negeriku, budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
Malu aku jadi orang Indonesia!!!!!
Dikutip dari karya Taufik Ismail

Banyak orang pergi ke kuburan, tetapi tak pernah sadar akan kematian.
Setiap tahun berbondong-bondong naik haji dan ziarah agama, tetapi kehidupan sehari-hari tetap carut marut dalam hal moralitas dan kesalehan.
Kian luas pembangunan mesjid dan tempat-tempat ibadah, tetapi tak kalah maraknya tempat-tempat maksiat dan kemungkaran.
Di kutip dari karya Nashir

REFORMASI: AWAL KIAI BERPOLITIK

Genderang reformasi yang ditabuh sejak 1998 menjadi akhir dari perjalanan rezim Soeharto dalam kancah kekuasaan Republik Indonesia. Inilah akhir dari sebuah kekuasaan yang telah menjadi cermin kekuasaan paling kelam dalam sejarah Indonesia. Soeharto tidak hanya menjalankan kekuasaannya dengan otoriter, tetapi juga membumikan tradisi KKN dengan subur. Orde baru bangkit dengan pola politik yang menindas dan sistem politik yang ketat, terutama terhadap islam.
Hal ini terlihat dari kebijakan Orde Baru menata sistem politik multipartai menjadi beberapa partai, yang pada gilirannya berakhir dengan restrukturisasi dengan melakukan fusi partai, yaitu menyederhanakan partai politik menjadi tiga partai yang ditentukan melalui Undang-Undang Kepartaian dan Golkar No. 3 Tahun 1975.
Dengan kebijakan tersebut, Orde Baru telah mulai melakukan langkah yang ketat dalam masalah politik di Indonesia, dan pada gilirannya dilanjutkan dengan kebijakan-kebijakan baru yang notabene tidak memberikan peluang luas bagi berkembangnya politik Islam pada saat itu.
Pemasungan kebebasan paling lama oleh penguasa otoriter, yakni selama 32 tahun 22 hari terutama kebebasan berpolitik, telah mengakibatkan kontruksi pemikiran masyarakat tidak kreatif dan tidak peka terhadap persoalan yang muncul. Komitmen untuk mewujudkan demokratisasi di Indonesia secara perlahan terus diperjuangkan, walaupun harus membentur kekuasaan tangan besi Soeharto.
Suara kalangan muslim pada saat itu ialah teriakan reformasi secara menyeluruh, yang oleh Eep Saefullah Fatah, diklasifikasikan menjadi empat tingkat reformasi. Pertama, reformasi kepemimpinan nasional, yaitu proses pembentukan kepemimpinan nasional yang autentik, yaitu kepemimpinan yang tidak punya beban psikologis ketika mengagendakan anti KKN karena ia sendiri tida terlibat KKN.
Kedua, reformasi karakter kekuasaan politik. Kalangan muslim seharusnya menjadi penyokong reformasi karakter kekuasaan politik guna menghindari terulangnya karakter kekuasaan politik Orde Baru yang sangat bermasalah bercirikan sentralisasi, otonomisasi (menjadikan kekuasaan otonom masyarakat), personalisasi, dan sakralisasi.
Ketiga, reformasi perubahan sistemik. Kalangan Islam seharusnya menjadi penyokong yang sungguh-sungguh program perubahan sistemik, termasuk didalamnya program demiliterisasi, dan lain sebagainya.
Keempat, reformasi paradigm atau pergeseran paradigm. Kalangan Islam seyogianya menyokong dan ikut menjalani perubahan-perubahan paradigmatic yang sangat diperlukan setelah Orde Baru melakukan perusakan paradgma secara sistematis dan berhasil.
Dalam konteks itu, reformasi telah menjadi euphoria tersendiri bagi kiai untuk berpolitik dan ikut-ikutan mengejar kekuasaan, tanpa memperhatikan kualitas dan kapasitasnya sebagai bagian dari kekuasaan. Dengan latar belakang pesantren (lebih-lebih pesantren salaf), para kiai berlomba-lomba meraih kekuasaan politik, sementara keilmuan yang mereka miliki cenderung sangat pas-pasan untuk menopang kinerjanya sebagai bagian dari kekuasaan.
Padahal menjadi bagian dari kekuasaan tidak hanya cukup dengan bermodal pengetahuan agama tetapi juga dibutuhkan ilmu-ilmu penopang yang lain. Karena, menjadi bagian dari kekuasaan dituntut untuk memiliki kapasitas yang kredibel dan mumpuni. Menjadi penguasa (pejabat), tetapi tidak memilki kapasitas yang jelas untuk memenuhi tanggung jawabnya, sama halnya dengan mempercepat kehancuran umat.
Dalam konteks ini, meraih jabatan tidak hanya harus didasarkan pada kualitas keimanan seseorang, tetapi juga kualitas SDM yang bias membantu terhadap beban dan tugasnya dalam struktur kekuasaan, terutama tentang menajemen pemerintahan, kepemimpinan, dan pengelolaan anggaran yang relevan.
Disinilah kiai seharusnya dapat memahami secara jernih. Karena, masalah kualitas dan kemampuan dalam memimpin tidak hanya cukup dengan penguasaan pada ilmu-ilmu agama dan pengalaman dalam jabatan cultural, tetapi sejatinya harus ditopang berbagai kemampuan yang memiliki keterkaitan dengan jabatan yang dipegangnya. Seperti yang ditegaskan oleh Abdul A’la bahwa menangani pemerintahan di era reformasi memerlukan manajerial yang tinggi (modern dan efisien), yang tidak cukup hanya dengan modal kharismatik, dan birokrasi yang harus ditangani sebagai warisan Orde Baru menjadi gurita raksasa yang sulit diketahui ujung pangkalnya, dan tentu saja sangat menguras tenaga dan pikiran.
Oleh karena itu, menurut A’la kiai yang masuk ke dalam birokrasi, praktis waktu, pikiran, dan tenaganya dihabiskan untuk mengurusi masalah manajerial praktis dan ruwet sehingga lambat laun akan melupakan tugas utamanya sebagai seorang yang ahli agama.

POTRET DAERAH KUMUH DI KOTA MAKASSAR

Karakteristik Daerah Kumuh di Kota Makassar
Menurut Hendro, bahwa karakteristik daerah kumuh yang paling menonjol terlihat dari kualitas bangunan rumahnya yang tidak permanen, dengan kerapan bangunan yang tinggi dan tidak teratur, prasarana jalan yang terbatas kalaupun ada berupa gang-gang sempit yang berliku-liku, tidak adanya saluran drainase dan tempat penampungan sampah sehingga terlihat kotor dan jorok. Tidak jarang pula pemukiman kumuh terdapat di daerah yang secara berkala mengalami banjir (2001:48-49).
Daerah kumuh dalam perkembangannya di Makassar tersebar hampir seluruh wilayah kota. Berkembang bersama terbentuknya pemukiman-pemukiman dan pada pemukiman-pemukiman tua seperti di Kelurahan Lette, Mariso dan Bontorannu yang bercirikan daerah yang dijadikan lokasi pemukiman terdiri dari bekas rawa-rawa. Banyak didiami suku Mandar dan Takalar. Tingkat kepadatan penduduk tinggi (Hendro, 1996:32).
Karakteristik daerah kumuh di Makassar adalah Kelurahan Tallo dan Pannampu, yakni tidak mempunyai fasilitas sanitasi kesehatan, MCK (Mandi, Cuci, Kakus), saluran air kotor dan air bersih kawasan pemukiman cenderung mengikuti garis pantai ke Utara dan Barat Daya mengikuti kegiatan penimbunan sampah (Hendro, 1996:33). Sementara di Kecamatan Panakkukang, karakteristik daerah kumuhnya di tandai oleh kondisi tanah yang dijadikan pemukiman adalah sawah/kebun. Ciri rumah yang dibangun adalah rumah panggung serupa dengan rumah-rumah panggung tradisional di daerah kumuh di tepi pantai.
Daerah kumuh di Kecamatan Wajo (Kelurahan Malimongan Tua, Melayu, Pattunuang) dan di Kecamatan Makassar (Bara-baraya, Lariangbangi, Maccini, Maradekaya). Bercirikan antara lain: banyak dihuni oleh migran, kondisi rumah relatif lebih baik, sebagian besar sudah mempunyai fasilitas air bersih. Kasus yang sering timbul adalah kebakaran (Hendro, 1996:33).
Pekerjaan Penduduk Daerah Kumuh di Kota Makassar
Daerah kumuh di perkotaan, umumnya dihuni oleh pekerja di sektor informal. Di kota Makassar, jenis pekerjaan penduduk di daerah kumuh sebagian besar terserap di sektor informal seperti pengendara becak, tukang kayu, pedagang kaki lima, pedagang makanan, buruh pelanuhan, penjaja makanan dan minuman, penjual daging serta sayuran. Mereka menawarkan dagangannya dari rumah ke rumah atau mangkal di tempat-tempat strategis di daerah pusat-pusat kegiatan ekonomi, susila, pembangunan fisik, termasuk di pinggiran toko dan trotoar di kawasan pemukiman pada umumnya membuka warung di rumah masing-masing (Hendro, 1996:33-34).
Pada daerah kumuh yang terbentuk setelah munculnya pemukiman-pemukiman baru seperti Capoa, penduduknya bekerja di sektor informal seperti penjaja makanan, penjual ikan, tukang becak, tukang kursi, pedagang di pasar tradisional, membuka warung, buruh bangunan (Dahlia, wawancara 26 Oktober 2003). Sementara daerah kumuh di Ballaparang kecamatan Rappocini pekerjaan penduduknya bervariasi seperti tukang becak, tukang batu/buruh bangunan, sopir angkot, satpam, tengkulak, bandar judi, jualan/warung, tukang kursi, tukang kayu, pegawai, guru, wartawan (Andi Raja, wawancara 25 Oktober 2003).
Kemajuan tersebut memberi petunjuk bahwa di daerah kumuh di kota Makassar, penghuninya ada yang bekerja di sektor formal seperti pegawai di kantor pemerintahan dan guru. Mereka ada yang lahir di daerah kumuh tersebut, tetapi sebagian besar adalah pendatang atau pindahan dari wilayah lain dalam kota Makassar dan dari luar kota Makassar (Daeng Lenteng, wawancara 25 Oktober 2003).
Tipe-Tipe Daerah Kumuh di Kota Makassar
Daerah kumuh atau slum oleh Suparlan diistilahkan dengan “kampung jembel” atau slum. Mencakup berbagai perumahan buruh dan juga dipakai untuk memperinci suatu lingkungan tertentu. Istilah slum yang diubah menjadi petak-petak kamar, dan juga dari sebuah kotak dari kardus yang dipakai sebagai tempat berteduh manusia di Lima, Peru. Karena luasnya ruang lingkup istilah tersebut, maka sering sebutan itu dipakai untuk perbedaan semu antara kampung jembel yang satu dengan yang lainnya, yang dihuni oleh pemilik sendiri atau yang disewakan baik bangunan yang sah maupun yang gelap. Istilah itu mencakup pondok atau gubuk reyok, bentuk-bentuk perwujudan yang sejenis (1995:63-64).
Gambaran tersebut adalah contoh kasus di luar negeri, khusus di kota Makassar, tipe-tipe daerah kumuh adalah di daerah pemukiman yang tanahnya dibeli dari pemilik sah pada bekas rawa-rawa, sawah, kebun dan di daerah pantai, terdapat pula daerah kumuh yang terbentuk di atas tanah yang kepemilikannya tidak sah (dihuni secara liar) serta di atas parit sepanjang jalan Andi Pangerang Pettarani dalam bentuk rumah rumah tinggal yang sekaligus sebagai tempat berjualan. Daerah kumuh di sekitar pasar tradisional (di sekitar pasar Pannampu, pasar Terong, pasar Daya), dan disekitar wilayah pekuburan (Baroanging, Panaikang) serta di sekitar kampus IAIN Alauddin (daerah lorong-lorong Manuruki).
Kehidupan di daerah kumuh, dewasa ini sebagian telah diberdayakan, kecuali yang di huni secara liar dan yang berada di atas parit sepanjang jalan Pettarani sehingga tidak selalu menandakan kemerosotan, mungkin saja merupakan tahap pertama dari peralihan kemiskinan, menuju harapan yang lebih. Contoh pemberdayaan yang dilakukan adalah dipekerjakannya para perempuan di sektor kebersihan lingkungan (penyapu jalan dan pembersih saluran air) dan adanya rumah singgah yang menangani anak-anak miskin di daerah kumuh.
Wajah Fisik dan Keadaan Daerah Kumuh di Kota Makassar
Wajah fisik dan keadaan daerah kumuh ditandai oleh munculnya daerah dengan gubuk-gubuk di atas tanah-tanah kosong, tanpa fasilitas pokok yang mempermudah kehidupan seperti penerangan listrik, air ledeng, sanitasi, dan jalan-jalan yang wajar. Daerah kumuh tersebut merupakan kombinasi antara kediaman dan tempat mencari nafkah (Suparlan, 1995:92) khusus di kota Makassar, daerah kumuh seperti di atas ada di tepi kota dan ada di tengah kota dan ada bukan kelompok pemukiman tetapi rumah warung dipakai sebagai tempat berdagang.
Ketidakadilan Di Kota Makassar
Daerah kumuh merupakan gambaran kemiskinan di daerah perkotaan, dimana merupakan suatu kenyataan yang ada dalam masyarakat. Daerah kumuh di kota Makassar dihuni oleh masyarakat miskin, oleh Suparlan didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin (Suparlan, 1975:27).
Kemiskinan mereka tidak memberi kemungkinan untuk membeli perumahan yang di bangun oleh pemerintah, karena harga tidak terjangkau. Mmereka menjadi daerah penghuni rumah kumuh yang di kenal di Indonesia dengan istilah “gubuk derita”, di Perancis dengan istilah Bidonville, di Brasil dengan istilah Favella, di Venesuela dengan istilah Barrio, di Argentina dengan istilah villa de miseria (Yunus Hadi Sabari, 2000:161), kemiskinan penghuni daerah kumuh ditandai dengan beberapa ciri:
1. Kekurangan nilai gizi makanan jauh di bawah normal/bukan kurang makan.
2. Hidup yang morat-marit.
3. Kondisi kesehatan yang menyedihkan.
4. Pakaian selalu kumal tak teratur.
5. Tempat tinggal yang jauh dari memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan (sempit, pengap, kotor).
6. Keadaan anak-anak yang tak terurus/dibiarkan bergelendangan memenuhi kebutuhan masing-masing.
7. Tidak mampu mendapatkan pendidikan formal/non formal (ketiadaan biaya dan lemah kecerdasan). (Sumardi Mulyanto, dan Hans-Dieter Evers, 1982:81), keadaan seperti ini dijumpai antara lain di Capoa, Pannampu dan pemukiman kumuh lainnya. Anak-anaknya rata-rata putus sekolah.
Keadilan dan ketidakadilan di daerah kumuh di perkotaan, dalam kamus bahasa Indonesia disebut bahwa “keadilan berarti sifat, perbuatan, perlakuan yang adil, keadaan yang adil bagi kehidupan di masyarakat” (Poewadarminta, 1989:17). Keadilan berhubungan dengan perlakuan terhadap masyarakat yang sesuai dengan azasi manusia. Tetapi kenyataan yang terjadi di daerha kumuh perkotaan adalah ketidakadilan. Hal ini terlihat pada kondisi rumah, lingkungan pemukiman yang sangat minim fasilitas: tanpa saluran pembuangan air kotor, jalan-jalan sempit, anak putus sekolah, pengangguran. Tidak tersedia tempat bermain bagi anak-anak. Sementara dalam dasar negara Republik Indonesia, sangat jelas menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh penghidupan yang layak dan mendapatkan pendidikan.
Menyangkut mengenai perumahan dalam Undang-Undang Pokok Perumahan No. 1 Tahun 1964, yang diganti dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 di dalamnya menyebutkan antara lain:
“Tiap warga negara berhak memeroleh dan menikmati perumahan yang layak yang sesuai dengan norma-norma sosial teknik, keamanan, kesehatan dan kesusilaan.” (Panudju Bambang, 1999:148). Sementara yang disaksikan perumahan di daerah kumuh tidak layak dari segi teknik, kesehatan, keamanan, kesusilaan. (kasus Capoa, lorong-lorong jalan Barukang, kampung Lette, Borongjambu/pembuangan sampah).
Kondisi daerah kumuh perkotaan termasuk Makassar tidak sesuai dengan ciri-ciri hakiki pemukiman manusia yakni: “rumah memberikan keamanan, rumah memberikan ketenangan hidup, rumah memberikan kemesraan dan kehangatan hidup, rumah memberikan kebebasan.” (Budihardjo, 1998:140-141).
Pola Pengembangan Kota Makassar
Pola perkembangan kota berkembang karena keadaan topografi tertentu, dan perkembangan sosial ekonomi tertentu. Ada beberapa pola perkembangan kota sebagai berikut: (1) pola penyebar, (2) pola sejajar (linear pattera), (3) pola merupakan (Jayadinata Johara, 1999:179). Berdasarkan macam-macam pola perkembangan kota tersebut, Makassar mempunyai pola perkembangan sebagai berikut: pola menyebar yang ditandai oleh:
1. Penataan keseimbangan yang serasi dengan kota-kota yang ada disekitarnya dalam satu kesatuan ekonomi sehingga dapat mendukung penyebaran kegiatan ekonomi dalam dimensi ruang nasional atau sebagai pusat pengembangan nasional.
2. Untuk meningkatkan kesejahteraan, diupayakan memenuhi kebutuhan dasar perkotaan masyarakat.
3. Penataan secara intensif pada kawasan-kawasan yang cepat berkembang sehingga dapat dengan baik melayani pertumbuhan ekonomi dan pelayanan masyarakat dan wilayah sekitarnya.
4. Untuk menghindari tekanan lingkungan di kawasan cepat berkembang diperlukan pembangunan wilayah yang sesuai konsep pengembangan MAMMINASATA (MINASAMAUPATA) yang berperan sebagai kota penyangga agar arus migrasi dari kawasan sekitarnya tidak langsung ke kota utama.
5. Mengarahkan pengembangan kawasan prioritas sesuai potensi dari perkembangan yang di capai serta prospek pengembangan yang pengamanannya di masa yang akan dating, maka di kota Makassar di tetapkan lima kawasan prioritas yaitu kawasan prioritas Wajo, kawasan prioritas Panakkukang, kawasan prioritas Ujung Pandang, kawasan prioritas Tamalate, kawasan prioritas Biring Kanaya (Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan, 1997:20).

Perkembangan Daerah Kumuh di Kota Makassar
Berdasarkan data yang ada dan setelah dianalisis, tampak perkembangan daerah dapat dibagi dalam tiga kategori sebagai berikut:
Pertama, daerah kumuh yang terbentuk karena penduduk yang berpenghasilan rendah, membeli lokasi untuk tempat tinggal pribadi pada bekas rawa-rawa dengan harga yang terjangkau. Mereka membangun rumah di lokasi tersebut dari bahan-bahan yang murah, seperti seng bekas, kayu, bambu, tripleks. Mereka membuat rumah panggung tradisional atau membangun gubuk-gubuk tanpa air ledeng, pembuangan air kotor dan bersih, dan tanpa pembuangan sampah (kasus kelurahan Capoa).
Kedua, daerah kumuh yang terbentuk oleh pedagang kaki lima yang membangun warung di atas parit dan sekaligus dijadikan tempat tinggal.
Ketiga, daerah kumuh terbentuk oleh penduduk yang membentuk pemukiman liar. Pemukiman liar adalah seorang yang menempati sebidang tanah, sebuah rumah atau sebuah bangunan tanpa kekuatan hukum (Me Auslan Patrick, 1986:67).
Ketiga kategori daerah kumuh di Makassar tersebut umumnya minim fasilitas perkotaan, seperti air bersih, tempat pembuangan sampah, jalan yang seadanya. Seperti jalan sempit yang becek, rumah tidak sehat dan teratur serta sempit tanpa pekarangan untuk bermain anak-anak, sehingga jalan-jalan kecil juga berfungsi sebagai tempat bermain, tempat berjualan.
Penyebab terjadinya daerah kumuh di Makassar adalah: (1) Migrasi, (2) Kepadatan Penduduk, (3) Penghasilan Rendah, (4) Tanah perkotaan dan rumah mahal, (5) Munculnya pemukiman-pemukiman baru, (6) Perkampungan lama yang tidak mendapat perhatian dari pemerintah kota, (7) Pemrintah tidak tegas dalam menegakkan peraturan pola peruntukkan lahan di perkotaan, (8) Tingginya KKN, (9) Fasilitas perkotaan yang tidak merata, (10) Swadaya masyarakat yang rendah, (11) Rendahnya kesadaran untuk hidup bersih, teratur dan sehat.
Kenyataan empirik memperlihatkan daerah kumuh di Makassar menjadi:
- Lokasi pemukiman
- Lokasi tempat kerja
- Tingkat kepadatan penduduk tinggi
- Penghasilan rendah
- Masyarakat marginal
- Putus sekolah
- Lokasi pengangguran
- Kemiskinan
- Fasilitas perkotaan, kotor, tidak teratur
- Pencemaran lingkungan
- Ketidakadilan
- Pelanggaran peraturan tata kota
- Perencanaan kota yang tidak konsisten
- Pemerintah yang kurang peduli
Berdasarkan uraian tersebut maka dipahami beberapa kondisi mengenai pemukiman kumuh di kota Makassar sebagai berikut: (1) Daerah kumuh terbentuk karena kepadatan penduduk, kemiskinan dan ketidakadilan, peraturan yang tidak tegas dalam pengembangan Pola Tata Ruang Perkotaan, (2) Daerah kumuh di perkotaan Makassar adalah daerah miskin yang dihuni penduduk berpenghasilan rendah, pengangguran, anak-anak putus sekolah, wanita tanpa keterampilan, (3) Bentuk fisik daerah kumuh adalah kotor, fasilitas perkotaan yang minim, rumah yang tidak teratur, jalan-jalan kecil yang becek, (4) Daerah kumuh di perkotaan Makassar tersebar di seluruh penjuru kota, di jalan-jalan utama, di wilayah peruntukan pendidikan, ekonomi, industry, dan wilayah perkantoran, (5) Daerah kumuh di perkotaan Makassar, mengubah wajah kota menjadi kotor dan semrawut serta merusak pola ruang kota yang telah diatur peruntukkan tanahnya, (6) Daerah kumuh dalam bentuk pemukiman penduduk dan tempat mencari nafkah.

Kamis, 13 Januari 2011

ADA CINTA BERSAMA KITA......

"Apa yang telah kucintai laksana seorang anak kini tak henti-hentinya aku mencintai... Dan, apa yang kucintai kini... akan kucintai sampai akhir hidupku, karena cinta ialah semua yang dapat kucapai... dan tak ada yang akan mencabut diriku dari padanya"
"...pabila cinta memanggilmu... ikutilah dia walau jalannya berliku-liku... Dan, pabila sayapnya merangkummu... pasrahlah serta menyerah, walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu..."
"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu... Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada..."
"Jangan menangis, Kekasihku... Janganlah menangis dan berbahagialah, karena kita diikat bersama dalam cinta. Hanya dengan cinta yang indah... kita dapat bertahan terhadap derita kemiskinan, pahitnya kesedihan, dan duka perpisahan"
"Jangan menangis, Kekasihku... Janganlah menangis dan berbahagialah, karena ada cinta bersama kita....