Reformasi pemerintahan desa dimaksud untuk memperbarui dan memperkuat unsur-unsur demokrasi dalam bentuk dan susunan pemerintahan desa. undang-undang nomor 5 tahun 1979 selama ini tampaknya tidak/kurang memberdayakan (empowerment) unsur-unsur demokrasi, sehingga melemahkan dan menghapuskan unsur-unsur demokrasi dengan dalih demi keseragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa. dengan demikian desa yang sudah di reformasi memberikan nuansa antara lain sebagai berikut:
1. Bentuk dan susunan pemerintahandesa dikembalikan pada bentuk dan susunan sebelum adanya Undang-undang nomor 5 tahun 1979 dengan memperhatikan asal usul "desa asli" yang berdasarkan adat yaitu otonomi desa.
2. Kepala desa dan kepala dusun dipilih secara langsung oleh masyarakat desa melalui pemilihan secara adat.
3. Dibentuk Dewan Perwakilan Desa atau lembaga rembuk desa yang merupakan salah satu unsur dalam pemerintahan desa.
4. Mengembalikan sumber-sumber asli pendapatan desa seperti:hak ulayah atas tanah, hak atas hutan desa, hak atas barang galian tambang pasir dan kerikil/koral, pajak-pajak pasar/kalangan, pajak dan retribusi desa serta pungutan-pungutan yang resmi diatur keputusan desa dan tidak termasuk wewenang atasan.
5. Mekanisme administrasi desa yang lebih efektif dan efisien, sehingga tidak terbelenggu oleh rantai birokrasi baik dikecamatan atau di kabupaten. Administrasi desa dilengkapi dengan suber daya, dana, sarana dan prasarana yang memadai.
Reformasi pemerintahan desa akan terlihat dengan jelas hubungan yang harmonis antara:
"Masyarakat desa dengan pemerintah desa", sehingga pemerintah desa dalam segala keputusannya dan tindakannya selalu mengutamakan kepentingan dan aspirasi masyarakat desa tanpa melupakan kepentingan negara dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa. Disamping itu masyarakat desa wajib mendukung pemerintahannya dengan menaati keputusan-keputusan serta menaati tindakan-tindakannya yang demokratif dan sekaligus dapat pula mengoreksi tindakan-tindakan yang merugikan masyarakat. Inilah reformasi pemerintahan desa yang sesungguhnya dan idealnya.
Blog ini aku terbitkan berawal dari sebuah gelisahan. sepertinya ada ketukan yg memanggil untuk membuka sebuah ruang pemikiran serta berbagi untuk semua.
Jumat, 24 Juli 2009
Minggu, 05 Juli 2009
MENILIK KINERJA LEGISLASI DI DAERAH
Salah satu kemajuan yang dihasilkan dari proses legislasi di derah adalah pendekatan baru oleh DPRD melalui mekanisme pertemuan warga dan kunjungan langsung ke lapangan sebagai bagian dari upaya penjaringan aspirasi warga. Walau begitu, praktik yang menunjukkan masih rendahnya kualitas proses legislasi di tingkat daerah justru jauh lebih menonjol. Salah satunya adalah penjiplakan perda yang terlihat dari semakin banyaknya perda yang seragam yang diterapkan di berbagai daerah, terutama perda-perda yang berkenaan dengan penarikan retribusi dan pajak. Pernah ditemukan perda di salah satu kabupaten di NTT yang didalamnya berisikan ungkapan dalam bahasa Jawa.
Praktik tidak terpuji lain adalah jual beli perda dan pemalakan dalam pengesahan perda. Maksudnya bahwa harus ada pelican supaya perda disahkan oleh DPRD, seperti dalam kasus di sebuah kabupaten di Jawa Timur. Perda yang tidak berpihak pada kepentingan publik luas juga menjadi salah satu masalah utama hasil dari proses legislasi di tingkat daerah. Perda-perda retributif yang biasanya mengatur tentang kenaikan tariff adalah salah satu contohnya. Kenaikan tarif ini merupakan jalan paling sederhana dan mudah dalam rangka mengenjot PAD, yang dipersepsikan oleh sebagian daerah sebagai konsekuensi logis dari otonomi yang kemudian bergeser menjadi outomoney.
Sayangnya, beberapa perda ini justru yang terkait dengan layanan dasar yang seharusnya menjadi hak warga dan disediakan oleh Negara, seperti layanan kesehatan. Pendekatan swakelola yang mendorong Puskesmas dan RS untuk bisa mendanai seluruh aktivitas dan operasionalnya, bisa berimplikasi pada semakin tak terjangkaunya layanan kesehatan bagi orang miskin.
Praktik tidak terpuji lain adalah jual beli perda dan pemalakan dalam pengesahan perda. Maksudnya bahwa harus ada pelican supaya perda disahkan oleh DPRD, seperti dalam kasus di sebuah kabupaten di Jawa Timur. Perda yang tidak berpihak pada kepentingan publik luas juga menjadi salah satu masalah utama hasil dari proses legislasi di tingkat daerah. Perda-perda retributif yang biasanya mengatur tentang kenaikan tariff adalah salah satu contohnya. Kenaikan tarif ini merupakan jalan paling sederhana dan mudah dalam rangka mengenjot PAD, yang dipersepsikan oleh sebagian daerah sebagai konsekuensi logis dari otonomi yang kemudian bergeser menjadi outomoney.
Sayangnya, beberapa perda ini justru yang terkait dengan layanan dasar yang seharusnya menjadi hak warga dan disediakan oleh Negara, seperti layanan kesehatan. Pendekatan swakelola yang mendorong Puskesmas dan RS untuk bisa mendanai seluruh aktivitas dan operasionalnya, bisa berimplikasi pada semakin tak terjangkaunya layanan kesehatan bagi orang miskin.
MENGGELEDAH DEMOKRASI BANGSA KITA DAN PERILAKU ANGGOTA DPR
Dalam bahasa latin “poli” artinya banyak dan “tics” artinya “serangga penghisap darah”. Mereka secara diam-diam bergentayangan di antara manusia untuk mencuri peluang menggigit sekaligus menghisap darah setiap makhluk lain yang ada di sekitarnya, termasuk darah manusia. Dan, politisi adalah salah satu profesi tertua di dunia selain pelacur. Politisi adalah sebuah pekerjaan yang amat mulia karena bertujuan menyejahterakan kehidupan rakyat. Para politisilah yang mendirikan partai-partai politik, menentukan ideologi partai-partai itu, membuat serta menegakkan aturan partai, mengumpulkan sebanyak-banyaknya pendukung, memenangi pemilihan umum, dan bekerja keras untuk mengejar cita-cita masig-masing lewat berbagai lembaga, termasuk legislatif atau parlemen.
Parlemen merupakan perwakilan kehendak setiap kalangan masyarakat. Anggota parlemen terhormat dipilih oleh rakyat, bekerja untuk rakyat, dan bertanggung jawab kepada rakyat. Akan tetapi, demokrasi seringkali justru berhenti total ketika segenap aspirasi rakyat itu disalurkan lewat parlemen. Inilah salah satu ironi demokrasi yang telah diwacanakan sejak dahulu oleh filsuf Yunani Socrates atau dictator Italia Benito Mussolini. Rakyat tidak bisa lagi berharap banyak kepada parlemen ketika politisi-politisi pilihannya sudah mengenakan baju kekuasaannya. Rakyat hanya membutuhkan lima menit untuk mencoblos di tempat pemungutan suara untuk memilih politisi pilihannya untuk masa kerja lima tahun.
Rakyat Indonesia untuk pertama kalinya memilih anggota-anggota parlemen dalam Pemilu 1955 ketika usia republik masih 10 tahun. Pemilu tersebut dikenang sebagai penyelenggaraan demokrasi yang diselenggarakan secara terbuka, jujur, dan adil. Namun, Bung Karno ingkar janji karena gagal menyelenggarakan pemilu ketika ia memberlakukan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pemilu 1971 sudah tidak lagi terselenggara dengan terbuka, jujur, dan adil karena diberlakukannya kecurangan secara sistematis oleh rezim Orde Baru yang mengandalkan sokongan politik ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar).
DPR tak lebih dari sekedar stempel yang selama bertahun-tahun mengesahkan kekuasan otoriter Presiden Soeharto tanpa pernah bersikap kritis. Para anggota DPR miskin gagasan. Mereka tidak cukup kreatif dan hanya sibuk dengan urusan-urusan yang tidak perlu untuk bertahan di DPR.
DPR yang membudayakan kultur masih berlangsung sampai era “Orde Reformasi” sekarang ini. Perilaku anggota DPR semakin seronok, misalnya terlibat skandal video mesum. Kini mereka juga rajin memungut “gratifikasi” dan keranjingan studi banding keluar negeri. Salah seorang pelawak andalan srimulat, Gepeng, menyebut pulitik (politik) sebagai akronim dari “ngumpul itik-itik”. Tidaklah mengherankan jika anggota DPR tidak ubahnya bebek-bebek yang senasib sepenanggungan karena selalu bersuara, berenang, dan bebaris bersama-sama sampai mati. Tapi cobalah anda menabrak rombongan bebek yang sedang menyeberangi jalan. Mereka pasti langsung panik, membubarkan diri dan segera kabur menyelamatkan diri masing-masing. Seperti inilah potret sebagian anggota DPR kita.
Parlemen merupakan perwakilan kehendak setiap kalangan masyarakat. Anggota parlemen terhormat dipilih oleh rakyat, bekerja untuk rakyat, dan bertanggung jawab kepada rakyat. Akan tetapi, demokrasi seringkali justru berhenti total ketika segenap aspirasi rakyat itu disalurkan lewat parlemen. Inilah salah satu ironi demokrasi yang telah diwacanakan sejak dahulu oleh filsuf Yunani Socrates atau dictator Italia Benito Mussolini. Rakyat tidak bisa lagi berharap banyak kepada parlemen ketika politisi-politisi pilihannya sudah mengenakan baju kekuasaannya. Rakyat hanya membutuhkan lima menit untuk mencoblos di tempat pemungutan suara untuk memilih politisi pilihannya untuk masa kerja lima tahun.
Rakyat Indonesia untuk pertama kalinya memilih anggota-anggota parlemen dalam Pemilu 1955 ketika usia republik masih 10 tahun. Pemilu tersebut dikenang sebagai penyelenggaraan demokrasi yang diselenggarakan secara terbuka, jujur, dan adil. Namun, Bung Karno ingkar janji karena gagal menyelenggarakan pemilu ketika ia memberlakukan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pemilu 1971 sudah tidak lagi terselenggara dengan terbuka, jujur, dan adil karena diberlakukannya kecurangan secara sistematis oleh rezim Orde Baru yang mengandalkan sokongan politik ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar).
DPR tak lebih dari sekedar stempel yang selama bertahun-tahun mengesahkan kekuasan otoriter Presiden Soeharto tanpa pernah bersikap kritis. Para anggota DPR miskin gagasan. Mereka tidak cukup kreatif dan hanya sibuk dengan urusan-urusan yang tidak perlu untuk bertahan di DPR.
DPR yang membudayakan kultur masih berlangsung sampai era “Orde Reformasi” sekarang ini. Perilaku anggota DPR semakin seronok, misalnya terlibat skandal video mesum. Kini mereka juga rajin memungut “gratifikasi” dan keranjingan studi banding keluar negeri. Salah seorang pelawak andalan srimulat, Gepeng, menyebut pulitik (politik) sebagai akronim dari “ngumpul itik-itik”. Tidaklah mengherankan jika anggota DPR tidak ubahnya bebek-bebek yang senasib sepenanggungan karena selalu bersuara, berenang, dan bebaris bersama-sama sampai mati. Tapi cobalah anda menabrak rombongan bebek yang sedang menyeberangi jalan. Mereka pasti langsung panik, membubarkan diri dan segera kabur menyelamatkan diri masing-masing. Seperti inilah potret sebagian anggota DPR kita.
DEMOKRASI ASAL TAMPIL BEDA (DATB).
Bangsa ini kaya pujangga, budayawan, musisi, sampai pengamen. Hanya disinilah ada predikat gaib seperti penikmat, penggiat, pemerhati, peminat, sampai “pendekar” demokrasi. Dan, sesungguhnya bangsa ini terlahir sebagai politisi. Dalam istilah Melayu, bangsa ini sanggup berbual-bual. Semua ideologi tak ditelam mentah-mentah, direvisi, diperkaya, dipemiskin, dimanipulasi, diintimidasi, dibunuh sampai mati, ditambah-tambahi, bahkan dikurang-kurangi.
Salah satu korban yang sering di zalimi adalah Demokrasi dan akibatnya lahirlah teori baru penemuan bangsa ini, yakni “Demokrasi Asal Tampil Beda”. Dulu ada Demokrasi Terpimpin, tipu daya Bung Karno yang menolak Trias Politika demi melanggengkan kekusaan. Pak Harto merekayasa Demokrasi Pancasila, ideologi yang bersifat universal dan mustahil diturunkan derajatnya menjadi sistem demokrasi semata-mata. Demokrasi Liberal ala Barat mengenal dua jenis kabinet : Parlementer dan Presidensial, namun hanya di negeri ini ada jenis kelamin ketiga, yakni Kabinet Campuran Parlmenter-Presidensial ala Kabinet Indonesia Bersatu.
Mengapa bangsa ini gandrung Demokrasi Asal Tampil Beda? Sebab kompabilitas demokrasi tergantung dari perilaku yang mempraktekkannya. Perilaku bangsa itu belum tentu compatible dengan demokrasi kare manusia Indonesia sebetulnya belum mau dan mampu menerima demokrasi. Kepurbakalaan itu disebabkan rasa enggan mamatuhi aturan alias suka bertindak seenaknya, padahal praktik demokrasi tidak mudah susah karena orang dipaksa antre, menghargai perbedaab pendapat, menghormati minoritas, atau melarang pemimpin bertelinga tipis.
Itula demokrasi Indonesia yang mirip dengan keajaiban alam Segi Tiga Bermuda. Banyak pesawat da kapal laut yang melewati wilyah di segi tiga itu mengalami kecelakaan yang misterius. Pesawat, kapal dan penumpang hilang entah kemana. Ada yang bilang terseret pusaran air, ada yang yakin terhisap kelangit. Hubungan segi tiga kekuasaa antara rakyat, presiden dan DPR sering tidak jelas juntrungannya berkat Demokrasi Asal Tampil Beda. Itulah sebabnya hanya di negeri ini ada Gedung DPR yang digeledah karena dugaan korupsi.
Salah satu korban yang sering di zalimi adalah Demokrasi dan akibatnya lahirlah teori baru penemuan bangsa ini, yakni “Demokrasi Asal Tampil Beda”. Dulu ada Demokrasi Terpimpin, tipu daya Bung Karno yang menolak Trias Politika demi melanggengkan kekusaan. Pak Harto merekayasa Demokrasi Pancasila, ideologi yang bersifat universal dan mustahil diturunkan derajatnya menjadi sistem demokrasi semata-mata. Demokrasi Liberal ala Barat mengenal dua jenis kabinet : Parlementer dan Presidensial, namun hanya di negeri ini ada jenis kelamin ketiga, yakni Kabinet Campuran Parlmenter-Presidensial ala Kabinet Indonesia Bersatu.
Mengapa bangsa ini gandrung Demokrasi Asal Tampil Beda? Sebab kompabilitas demokrasi tergantung dari perilaku yang mempraktekkannya. Perilaku bangsa itu belum tentu compatible dengan demokrasi kare manusia Indonesia sebetulnya belum mau dan mampu menerima demokrasi. Kepurbakalaan itu disebabkan rasa enggan mamatuhi aturan alias suka bertindak seenaknya, padahal praktik demokrasi tidak mudah susah karena orang dipaksa antre, menghargai perbedaab pendapat, menghormati minoritas, atau melarang pemimpin bertelinga tipis.
Itula demokrasi Indonesia yang mirip dengan keajaiban alam Segi Tiga Bermuda. Banyak pesawat da kapal laut yang melewati wilyah di segi tiga itu mengalami kecelakaan yang misterius. Pesawat, kapal dan penumpang hilang entah kemana. Ada yang bilang terseret pusaran air, ada yang yakin terhisap kelangit. Hubungan segi tiga kekuasaa antara rakyat, presiden dan DPR sering tidak jelas juntrungannya berkat Demokrasi Asal Tampil Beda. Itulah sebabnya hanya di negeri ini ada Gedung DPR yang digeledah karena dugaan korupsi.
KESEDERHANAAN PARLEMEN BELANDA
Parlemen kita kini terkesan mewah. Gedung DPR Senayan bagai show room mobil mewah. Padahal di Belanda, anggota parlemen tidak mendapat gaji dan tunjangan mobil. Mereka hanya mendapat schadeloos stelling (ganti rugi). “Jatah mobil dinas?” demikian reaksi pertama Hugo van der Steenhoven, anggota partai Groenlikns, saat ditanya soal “sarana mobilitas untuk menunjang tugas wakil rakyat” itu. “Ah, laat me niet lichen, Meneer (jangan membuat saya tertawa, pak),” kata van der Steenhoven.
Dijelaskan bahwa angota parlemen Belanda itu bukan pegawai Negara. Jadi, jangankan mobil dinas, salaries (gaji) pun tidak ada. Sebagai imbalan jerih payah, angota parlemen menerima ganti rugi (schadeloos stelling). “Anggota parlemen sepatutnya ‘kan independen dan oleh karena itu dia tidak berdinas pada pihak manapun.” Jadi, untuk urusan mobilitas kegedung parlemen di Binnenhof (Den Haag), yang nyata-nyata demi kepentingan Negara, itu menjadi tanggung jawab masing-masing anggota parlemen. Apalagi “mobilitas untuk merawat konstituen”, itu bukan menjadi tanggung jawab dan beban Negara melainkan partai dari mana mereka berasal. Disini logika yang dipake simple saja: urusan menemui konstituen urusan partai, masa Negara yang harus menanggung biayanya? Negara hanya menyediakan uang ganti rugi transport untuk kepentingan tugas anggota parlemen. Banyak anggota parlemen yang ngantor dengan naik trem, sejenis angkutan umum kota mirip kereta api tapi bentuknya lebih kecil. Bahkan ada yang serig dating dengan bersepeda. Demikian hati-hati dan ketatnya Belanda mengelola keuangan Negara. Sehingga pada tahun 2001 neraca keuangan Negara surplus sampai 7 miliar gulden. Kelebihan uang tersebut sebagian dikembalikan kepada rakyat sebagai uang surprised di mana tiap-tiap rumah tangga mendapat 100 gulden atau setara 100 kg gula. Sebagiannya lagi digunakan untuk membayar utang Negara.
Bila anda berkesempatan melancong ke Belanda, tidak ada salahnya mampir sebentar ke kompleks parlemen Binnenhof, di jantung Kota Den Haag. Anda akan menyaksikan bahwa di halaman gedung parlemen negeri yang berpenghasilan 22.570 uero per kapita itu, tidak ada ditemukan mobil kelas Jaguar dan sejenisnya. Bagaimana dengan parlemen kita????
Dijelaskan bahwa angota parlemen Belanda itu bukan pegawai Negara. Jadi, jangankan mobil dinas, salaries (gaji) pun tidak ada. Sebagai imbalan jerih payah, angota parlemen menerima ganti rugi (schadeloos stelling). “Anggota parlemen sepatutnya ‘kan independen dan oleh karena itu dia tidak berdinas pada pihak manapun.” Jadi, untuk urusan mobilitas kegedung parlemen di Binnenhof (Den Haag), yang nyata-nyata demi kepentingan Negara, itu menjadi tanggung jawab masing-masing anggota parlemen. Apalagi “mobilitas untuk merawat konstituen”, itu bukan menjadi tanggung jawab dan beban Negara melainkan partai dari mana mereka berasal. Disini logika yang dipake simple saja: urusan menemui konstituen urusan partai, masa Negara yang harus menanggung biayanya? Negara hanya menyediakan uang ganti rugi transport untuk kepentingan tugas anggota parlemen. Banyak anggota parlemen yang ngantor dengan naik trem, sejenis angkutan umum kota mirip kereta api tapi bentuknya lebih kecil. Bahkan ada yang serig dating dengan bersepeda. Demikian hati-hati dan ketatnya Belanda mengelola keuangan Negara. Sehingga pada tahun 2001 neraca keuangan Negara surplus sampai 7 miliar gulden. Kelebihan uang tersebut sebagian dikembalikan kepada rakyat sebagai uang surprised di mana tiap-tiap rumah tangga mendapat 100 gulden atau setara 100 kg gula. Sebagiannya lagi digunakan untuk membayar utang Negara.
Bila anda berkesempatan melancong ke Belanda, tidak ada salahnya mampir sebentar ke kompleks parlemen Binnenhof, di jantung Kota Den Haag. Anda akan menyaksikan bahwa di halaman gedung parlemen negeri yang berpenghasilan 22.570 uero per kapita itu, tidak ada ditemukan mobil kelas Jaguar dan sejenisnya. Bagaimana dengan parlemen kita????
Langganan:
Postingan (Atom)