A. PENDAHULUAN
Keanekaragaman etnis dan penganut agama pada sebuah bangsa menjadi dilematis karena; (1) keanekaragaman tersebut sesungguhnya memiliki kekuatan untuk mendukung terciptanya sebuah negara kesatuan yang kuat; (2) di sisi lain, juga memilki potensi konflik yang dapat memicu terjadinya disentegrasi bangsa. Sebagai negara bangsa, hampir sepanjang sejarahnya Indonesia diwarnai oleh konflik kekerasan, baik bernuansa etnis maupun agama. Gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS), pemberontakan Darul Islam di Jawa Barat dan Kalimantan Selatan. Sebagaimana dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), adalah contoh-contoh kekerasan politik yang melawan pemerintah yang berdimensi vertikal. Hal ini kemudian diperkeruh oleh konflik kekerasan sosial berdimensi horizontal, yang tampak pada kasus Ambon, Sumba, Sampit, Poso, Luwu. Demikian juga halnya dengan kasus Kupang, Mataram, dan Situbondo, mengindikasikan betapa kompleksnya konflik di Indonesia.
Dalam perspektif sejarah, isu kekerasan telah terjadi sejak lama di Sulawesi Selatan. Sebagaimana digambarkan oleh Poelinggomang (2003) bahwa pada masa kerajaan lokal, telah terjadi suatu keadaan dimana suatu kelompok dengan kelompok lainnya yang bertentangan saling memangsa.
Awal tahun 1950-an, di daerah ini juga muncul sebuah gerakan separatis DI/TII yang memiliki ideologi untuk mendirikan negara Islam di bawah kepemimpinan Kahar Muzakkar. Gerakan ini mempropagandakan konsep-konsep persamaan derajat manusia, keharusan bekerja keras dan berjuang melawan kebodohan. Dalam aspek keagamaan, hanya agama Islam-lah yang harus dianut. (Van Dijk, 1983).
Apakah terdapat signifikansi hubungan antara pengaruh konflik kekerasan masa lalu di Sulawesi Selatan dengan “basic personality type” orang Bugis-Makassar dalam menyikapi “ketidakadilan” dengan cara “amuk massa”, belum diketahui benar. Namun hal pasti, bahwa tingkat kepekaan orang-orang Bugis Makassar terhadap simbol-simbol etnisitas dan agama demikian tinggi. Hal ini menyebabkan solidaritas dalam bentuk siri’na pacce dalam menyikapi masalah simbol-simbol etnisitas dan agama (Islam) demikian tinggi.
Bahkan di Makassar, pernah beberapa kali terjadi konflik kekerasan dalam bentuk perusakan sarane pendidikan dan gereja yang dilakukan oleh pemuda-pemuda Islam yang pada umumnya adalah orang-orang Bugis Makassar. Demikian pula sweeping kartu penduduk bagi orang-orang Kristen di Tamalanrea Makassar tahun 2001, mengindikasikan masih rawannya kerukunan antar umat beragama. Kasus amuk Makassar yang terjadi pada tahun 1997, menjadikan orang-orang Cina sebagai sasaran kekerasan. Hal ini ditengarai terjadi sebagai akibat akumulasi kekecewaan orang-orang pribumi terhadap kepentingan ekonomi. Disparitas struktural dalam distribusi kemakmuran memang dapat menerangkan banyak hal berkenaan dengan terjadinya konflik sosial.
Dari serangkaian kejadian konflik kekerasan tersebut, sebenarnya menginformasikan banyak hal berkenaan dengan kerawanan sosial dan kerentanan dalam menciptakan kerukunan antar umat beragama. Kondisi seperti ini sudah barang tentu mengindikasikan bahwa kerukunan nasional tengah menurun drastis, sehingga sudah sangat mengkhawatirkan.
Kerukunan nasional, bukanlah suatu masyarakat yang bersih dari perbedaan-perbedaan sosial dan hasil dari gesekan-gesekan antar kelompok. Melainkan suatu bentuk kesadaran masing-masing pihak untuk menerima perbedaan, dan mampu mengembangkan berbagai potensi dinamik yang memberikan peluang dan harapan bagi kemajuan bersama dan sekaligus kemajuan bangsa di masa depan.
B. KESERASIAN SOSIAL: Perspektif Teori
Ada dua hal penting yang dihadap[i oleh kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupannya, yaitu (1) wujud konstelasi dan aspirasi kehidupan yang diharapkan (the constellation and aspiration of ideal life); (2) dinamika sosial ekonomi yang diperlukan dalam mengelola kehidupan itu sendiri. wujud konstelasi dan aspirasi yang diharapkan berbeda antara kelompok masyarakat satu dengan kelompok masyarakat lainnya, sebagai akibat perbedaan budaya, baik dalam bentuk antar budaya, maupun intra budaya. Namun demikian, Lerner (dalam Scharamm dan Lerner, 1976) menekankan perlunya menemukan keraturan-keteraturan dalam kondisi manusia dalam bentuk karakteristik-karakteristik yang menyatukan umat manusia dimana saja, meskipun terdapat keragaman yang membedakan mereka. Dengan mengakui persamaan, akan lebioh mempermudah memahami umat manusia yang tersebar luas di seluruh dunia.
Salah satu wujud konstelasi dan aspirasi kehidupan yang pada umumnya diharapkan umat manusia adalah wujud kehidupan dalam bentuk “keserasian sosial”. Keserasian sosial (social harmony) merupakan suatu konsep ideal tentang bagaimana suatu masyarakat berhubungan atau berintegrasi dalam sebuah tatanan yang didasari oleh tingkat solidaritas yang tinggi diantara warga dan kelompok-kelompok sosial sehingga tercipta suatu tatanan kehidupan yang selaras dan seimbang (social equalibrum).
Pada kenyataannya, tidak pernah terjadi suatu kehidupan yang berhasil mempertahankan keserasian sosial pada setiap waktu sebagai akibat timbulnya perbedaan yang bersifat internal maupun eksternal. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor yang dapat mengganggu ketidakseimbangan sosial atau keserasian sosial tersebut. Ini berarti konflik dapat terjadi antar individu, yang pada gilirannya melibatkan kelompok-kelompok sosial. Karena itu, konflik dan keserasian sosial tidak perlu dilihat secara terpisah, sebab keduanya merupakan sisi yang berbeda dari mata uang yang sama. Keduanya menyangkut status hubungan dan cara mengelola perbedaan, antar orang atau antar kelompok dalam masyarakat.
Jika dicermati, keserasian sosial sangat terkait dengan, (1) kelangsungan hidup suatu kelompok masyarakat, dan (2) terkait dengan tingkat kualitas hidup yang dapat dinikmati oleh suatu kelompok masyarakat. Dari perspektif tersebut, konsep keserasian sosial tidak mungkin dipahami tanpa memahami konsep konflik. Hal ini wajar-wajar saja karena manusia atau kelompok masyarakat yang mempertahankan hidupnya, mereka tidak terbebas dari intrik-intrik sebagai akibat perbedaan psiko-sosio budaya.
Lagipula, kemampuan manusia sebagai individu maupun sebagai kelompok untuk hidup bersama memang terbatas, akan tetapi tidak mudah untuk menentukan pada titik mana atau dimana batas tersebut. Kesulitan tersebut dapat terjadi karena kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya biasanya berfluktuasi. Hal penting lainnya yang harus diperhatikan dalam beradaptasi adalah pengaruh lingkungan sosial. Dalam arti bahwa interaksi sosial sangat mempengaruhi kemampuan manusia dan kelompok sosial untuk hidup bersama. Sebagaimana dikemukakan oleh Evans (1982), bahwa disamping faktor dalam diri manusia itu sendiri ada faktor luar yang mempengaruhi kemampuan manusia untuk hidup bersama-sama dengan orang lain atau kelompok lain secara baik. Konflik kemudian juga terjadi manakala terdapat prasangka etnis yang tidak kondusif bagi kehidupan bersama antara dua kelompok masyarakat.
C. PETA KERAWANAN SOSIAL : Bumi Tamalanrea Permai (BTP) Makassar
Penghuni Perumnas BTP yang demikian banyak dengan latar belakang daerah asal, etnis dan agama yang berbeda, merefleksikan tingkat heterogenitas yang tinggi warga Perumnas BTP. Dari persepektif teori konflik, sumber-sumber konflik justru dapat muncul dari perbedaan tersebut, khususnya pada perbedaan nilai budaya, ideologi, termasuk perbedaan agama.
Dibawah ini akan diidentifikasi jenis pertikaian (disputes) dan konflik sosial yang pernah terjadi di kawasan Perumnas BTP beberapa tahun lalu, tetapi bukan tidak mungkin akan terjadi lagi, jika konflik tersebut tidak dikelola secara baik.
1. Pertikaian Antar Pribadi
Penyebab pertikaian ini biasanya tidak jelas atau masalah sepele. Misalnya kehadiran seseorang pada suatu blok tertentu yang dirasa mengganggu atau kurang mengenakkan penghuni blok tersebut dan hal-hal lain yang mengganggu privacy termasuk masalah muda-mudi. Blok-blok hunian tersebut diklaim oleh kelompok tertentu sebagai wilayah kekuasaan mereka, sehingga berhak mengawasi wilayah tersebut. Dalam hal ini, konflik-konflik teritorialitas dapat terjadu karena manusia cenderung bertingkah laku tertentu dalam mewujudkan kepemilikan atas suatu teritori (Wirawan, 1992; Yusmar Yusuf, 1991).
Kepadatan warga penghuni blok-blok dalam kompleks Perumnas BTP, khususnya pada rumah tipe kecil dengan kelompok warga yang tingga di blok yang sama, juga dapat menjadi masalah tersendiri. Menurut Evans (1982), semakin banyak manusia dalam wilayah tertentu, semakin banyak masalah yang muncul, dan efek negatifnya pun makin bertambah. Banyak stimulan yang mempengaruhi kognisi dan ini mempengaruhi proses-proses yang terjadi di dalam pikiran orang untuk bersengketa. Apalagi dalam kehidupan sosial yang semakin kompetitif,keserasian sosial semakin sulit terbentuk.
2. Konflik Kekerasan Bernuansa Daerah Asal
Jika sebuah konflik antar pribadi yang belum diselesaikan tuntas, tidak menutup kemungkinan salah satu pihak menyimpan bara dendam sehingga memberi peluang terjadinya konflik kekerasan yang lebih besar.
Dalam konflik ini identitas diri (self identity), dan daerah asal terkait, sehingga dapat melibatkan masing-masing massa secara besar-besaran. Perkelahian, bukan lagi hanya mengandalkan tangan kosong, tetapi telah menggunakan peralatan perang, seperti parang panjang, tombak, panah, dan senjata rakitan.
3. Konflik Kekerasan Bernuansa Agama
Selama beberapa waktu sejak Perumnas BTP terbangun, hegemoni pemuda-pemudi Toraja di kompleks perumahan tersebut demikian terasa. Hal ini disebabkan, populasi orang Toraja penghuni BTP saat itu relatif besar. Namun demikian yang paling meresahkan adalah solidaritas antar warga Toraja demikian tinggi, sehingga jika salah seorang warga mengalami masalah, apalagi yang menjadi lawan adalah non Toraja, maka dapat dipastikan rumah lawan mereka itu akan menjadi sasaran penyerbuan.
Di kalangan anak-anak muda Bugis-Makassar yang menghuni Perumnas BTP, bukannya tidak ada yang mau melakukan perlawanan. Tetapi agaknya, mereka tidak mampu membangun solidaritas, sehingga kekuatan mereka terpecah dalam bentuk solidaritas daerah asal. Namun demikian, fenomena ini kemudian berubah.
Bermula, ketika ada kegiatan pembangunan pada malam hari di sebuah hamparan lahan kosong yang sebenarnya diperuntukkan untuk sarana taman dan sarana olahraga bagi warga Perumnas BTP. Lahan kosong tersebut pernah diusulkan oleh tokoh masyarakat Islam untuk memdirikan masjid, tetapi ditolak oleh pihak manajemen Perumnas. Belakangan lahan ini ternyata diperuntukkan untuk pembanguan Gereja Toraja. Hal ini ternyata menimbulkan keresahan warga muslim setempat. Bahkan isu ini demikian cepat menyulut emosi keagamaan yang kemudian menjadi pemicu terbangunnya solidaritas sosial yang demikian kuat diantara penganut agama Islam yang umumnya berasal dari etnis Bugis-Makassar.
Simbol-simbol kedaerahan dan etnisitas lebur dalam identitas agama. Dan solidaritas Islam ini semakin diperkokoh oleh dukungan para anggota Jamaah Tabligh yang kebetulan beberapa tahun belakangan mengembangkan syiar paham keIslaman mereka di Perumnas BTP. Peralatan perang, seperti parang panjang, tombak, busur panah, senjata rakitan dan bom rakitan dihimpun, untuk melakukan penyerangan dan perusakan pada simbol-simbol agama Kristen. Bangunan gereja yang baru saja dimulai dibongkar paksa, kemudian penyerangan dilakukan ke kubu anak-anak muda Toraja yang diketahui menjadi biang keonaran.
Solidaritas Islam dengan cepat pula ditanggapi oleh mahasiswa-mahasiswa Islam yang berdomisili di pondokan-pondokan sekitar Universitas Hasanuddin dan ini memperparah situasi. Sebuah gereja dengan sarana pendidikan serta sebuah wisma yang berada di pertigaan jalan masuk Unhas menjadi sasaran. Gereja, sekolah dan wisma tersebut dibakar. Demikian pula gereja Ballalompoa dipertigaan jalan masuk Perumnas BTP juga menjadi sasaran pembakaran, tetapi cepat dipadamkan oleh aparat keamanan yang sudah melakukan pengamanan ditempat itu.
D. DIMENSI KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA
Kasus Perumnas BTP tahun 1999 menyentak kesadaran kita betapa isu agama dapat demikian sensitif, sehingga demikian cepat membakar semangat perlawanan masyarakat Islam yang berdomisili di Perumnas tersebut. Padahal sebelumnya, mereka terpecah dalam kelompok-kelompok sosial daerah asal, sehingga tidak cukup kuat membangun solidaritas sosial.
Orang Bugis-Makassar yang berdomisili di Perumnas BTP, sebagian besar termasuk golongan Islam yang mereka sebut sebagai “Ahlussunnah Wal Jamaah” atau biasa juga diidentifikasi sebagai golongan Islam tradisional. Pandangan golongan Ahlussunnah Wal Jamaah terhadap golongan Islam lainnya, bahkan terhadap golongan non Islam, tidaklah ekstrim. Mereka cenderung mengakomodasi pandangan-pandangan golongan Islam lainnya tanpa kecenderungan untuk mempersalahkannya. Bahkan dalam menyikapi masyarakat Islam yang masih menjalankan tradisi leluhur mereka, yang biasa dilakukan oleh orang-orang kampung, mereka menyikapinya tampak lebih bijaksana.
Agak berbeda dengan Muhammadiyah yang terlihat dinamis dan progresif dalam menegakkan agama Islam. Dulu, perjuangan menegakkan agama Islam dilakukan demikian demonstratif; dengan melarang semua bentuk tradisi yang dapat membuat orang menjadi musyrik. Saat ini dalam perjuangan dalam menegakkan agama Islam lebih banyak dilakukan melalui jalan da’wah Islamiah; pendidikan dan pengajian-pengajian kelompok. Di Perumnas BTP, golongan Muhammadiyah, bahkan terkesan moderat sebagaimana golongan Islam lainnya, sehingga antara golongan Muhammadiyah yang dikenal sebagai Islam modern, tidak pernah terlibat pertentangan (disputes) apalagi dengan konflik golongan Islam lainnya yang dikenal tradisional. Dalam sebuah masjid,mereka menjalankan ibadah bersama, sehingga perbedaan hilafiah tidak menjadi persoalan. Pada bulan Ramadhan misalnya, golongan Muhammadiyah yang tarwih bersama menyelesaikan shalatnya akan berhenti, ketika rakaat ke delapan usai, sementara golongan Islam yang mengidentifikasi sebagai Ahlussunnah Wal Jamaah, yang umumnya orang-orang NU melanjutkan tarwih mereka. Kelompok Islam yang baru beberapa tahun belakangan ini muncul adalah “Jamaah Tabligh”. Jamaah Tabligh juga merupakan jamaah Islamiah yang memiliki kecenderungan untuk berdakwah atau menyampaikan pesan-pesan (tabligh) kepada setiap orang yang dapat dijangkau. Karena itu, kadang-kadang dalam kelompo kecil, mereka bertabligh kerumah-rumah penduduk, mengajak mereka untuk shalat berjamaah di masjid. Ketika terjadi konflik kekerasan bernuansa agama antara warga yang beragama Islam dengan orang-orang Kristen Toraja di Perumnas BTP, anggota Jamaah Tabligh ini dengan semangat jihadnya tampil di depan.
Konflik bernuansa agama yang menyulut emosi keagamaan dan kemudian mengobarkan semangat solidaritas Islam, sebenarnya bukan murni konflik agama. Dari hasil wawancara terungkap bahwa:
a. Konflik bernuansa agama, lebih bermuatan balas dendam akibat sepak terjang oknum-oknum anak muda Toraja yang dinilai sangat mengganggu masyarakat akibat mabuk-mabukan yang terkadang disertai ancaman dan tindakan destruktif.
b. Penilaian sebagian orang Islam terhadap kegiatan orang Kristen yang cenderung eksklusif, sehingga ditafsirkan bahwa orang-orang Kristen melakukan ekspansi secara terselubung dalam komunitas Islam.
c. Ketidakmampuan pemimpin formal (pemerintah lokal) termasuk aparat keamanan melakukan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya konflik.
d. Kebijakan pemerintah kota yang dinilai diskriminatif dan tidak mempertimbangkan damapak sosial, berkenaan dengan izin pembangunan sarana ibadah.
e. Konflik sosial dapat ditafsirkan sebagai gangguan daya tampung sosial yang menimbulkan perilaku maladaptive dari kelompok tertentu.
Dari perspektif Islam, “keberadaan bermacam-macam agama dan tempat ibadah merupakan kehendak Tuhan untuk menciptakan keseimbangan hidup manusia di bumi”. Keseimbangan itu harus tercipta agar masyarakat menjadi dinamis dan dapat berkembang. Oleh karena itu, upaya penghancuran suatu komunitas simbol-simbol agama merupakan hal yang sangat dilarang dalam agama Islam. Pluralisme keagamaam adal;ah salah satu improvisasi yang menonjol dari pemikiran pembaruan Nurcholish Madjid (1988). Gagasan ini terutama berintikan pengakuan terhadap eksistensi agama-agama lain dan perlunya meningkatkan saling pengertian dan menjalin hubungan-hubungan yang toleran diantara pemeluk agama-agama.
Dari perspektif Gereja Katolik dikatakan, “dialog dengan saudara-saudara dari agama-agama lain merupakan bagian integral penghayatan Injil sendiri”. Injil sendiri mengajak orang Kristiani untuk berdialog, untuk belajar dari pengalaman umat beragama lain, untuk menghormati dan mencintai mereka, serta untuk bersama dengan mereka membangun kehidupan masyarakat baik, adil, damai dan sejahtera (Franz Magnis Suseno, 2001).
Kedua pernyataan tokoh agama di Indonesia tersebut, menegaskan posisi agama terhadap masalah kerukunan hidup antar umat beragama, bahwa agama sesungguhnya membawa misi untuk menciptakan kehidupan yang damai sejahtera di bumi. Dalam versi Islam disebutkan sebagai rahmatan lil’alamin atau rahmat bagi alam semesta. Karena itu, Komaruddin Hidayat (2000), menyatakan setiap terjadinya konflik antar umat beragma, kita mengalami kesulitan untuk menemukan akar tunggang yang merupakan akar pokok penyebabnya. Bahkan penyebab utamanya seringkali berakar, bukan pada aspek doktrin yang merupakan inti agama, melainkan pada akar serabut non teologis, terutama pada persaingan politik, ekonomi dari para elit pemimpinnya.
Dalam pandangan yang sama, Usman Pelly (1999) menandaskan kesenjangan sosial ekonomi dan ekspresi budaya dominan ini telah menyebabkan kelompok tertentu merasa diperas dan dipinggirkan. Secara reaktif mereka menggunkan faktor-faktor etnis dan agama sebagai atribut perlawanan. Dalam kaitan ini, faktor etnis dan agama merupakan faktor kemasan, sehingga potensi konflik yang dimiliki semakin tajam dan besar.
Jika kemudian kita telah memahami, bahwa jaran setiap agama mendambakan kedamaian, kesejahteraan dan rahmat bagi alam semesta. Kemudian memahami, bahwa sesungguhnya konflik agama, dilatari oleh beberapa sebab; sosial, ekonomi, politik, budaya, maka seharusnya sudah ada upaya yang berhasil guna dan berdaya guna, paling tidak sebuah model siap pakai yang benar-benar aplikatif samapi dijajaran akar rumput (grass roots) untuk mengatasi masalah tersebut.
Pemahaman tentang sumber konflik agama tersebut perlu disosialisasikan samapai ke pelosok-pelosok daerah agar umat beragama, khususnya dari tataran akar rumput tadi, mengetahui bahwa sumber terjadinya konflik antara umat beragama sumbernya bukan berasal dari doktrin normatif suatu agama, melainkan dari sikap keberagamaan yang kurang dewasa, sehingga mereka tidak sanggup merespon kondisi zaman yang multikultural. Tidak satupun agama yang membenarkan terjadinya kekerasan antar sesama umat beragama. Semua agama mengajarkan manusia untuk bersedia menolong sesama sebagai salah satu tugas umat beragama.
Masalahnya, bahwa kerukunan hidup antar umat beragama masih berupa wacana atau bahkan retorika pejabat birokrasi dan tokoh-tokoh agama, sehingga umat beragama masih jauh dari hubungan-hubungan kemanusian yang didasari oleh rasa cinta kasih dan saling menghargai. Akibatnya, masih saja terdapat sekat-sekat pemisah antar umat beragama. Sumartono (2001) bahkan menyatakan, para pemimpin agama, pemikiran teologi dan perangkat-perangkat institusinya hanya menjadi aksesoris ritualistik dan upacara-upacara agama serta kepentingan politik.
Akibat dari ketidaksungguhan memecahkan masalah kerukunan antar umat beragama, muncullah kemudian sikap-sikap eksklusifisme, partikularistis, etnosentrisme, prejudis dan solidaritas berlebihan yang tidak rasional sebagai pemicu timbulnya konflik. Sikap ini kemudian diperparah oleh adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai diskriminatif dan rendahnya penegakan hukum.
Konflik bernuansa agama yang terjadi di Perumnas BTP tahun 1999 mengakibatkan hancurnya belasan rumah, pembakaran gereja dan sarana pendidikan Kristen Toraja, jelas penyebab awalnya sama sekali bukan karena doktrin agama. Di Perumnas BTP, umat beragama bebas menjalankan agamanya masing-masing, termasuk dalam merayakan hari-hari besar keagamaan. Tetapi penyebabnya karena masalah-masalah sosial, ekonomi dan budaya (different value) sebagaimana telah diungkapkan terdahulu.
Penyebab lain karena kebijakan pemerintah kota yang dinilai diskriminatif, ditandai dengan munculnya izin pembangunan gereja pada lahan yang sedianya diperuntukkan sebagai taman dan sarana olahraga. Itulah sebabnya, ketika pemuka-pemuka masyarakat Islam yang sebelumnya meminta kepada otoritas Perumnas untuk membangun mesjid ditolak, mereka dapat memakluminya.
Penegakan hukum pun tidak menajdi optimal. Biang kerusuhan yang muncul dari pesta minum minuman keras (tuak), perkelahian antar kelompok, tidak diberi hukuman setimpal. Bahkan mereka segera dilepaskan tanpa dikenai sanksi, sehingga menimbulkan tanda tanya bagi masyarakat luas.
E. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
1. Kesimpulan
Konflik kekerasan bernuansa agama di Perumnas BTP terjadi sebagai akibat ketimpangan dalam hubungan-hubungan antar manusia yang berbeda etnis, yaitu etnis Bugis-Makassar dengan etnis Toraja. Ketimpangan itu sendiri terjasi karena perbedaan nilai budaya (different value), karena ketidaksepahaman (incompatible objective) dan karena faktor lain termasuk faktor perbedaan agama yang menyebabkan terganggunya daya dukung sosial.
Masalahnya, bahwa setelah konflik diselesaikan melalui jalan mediasi dan arbitrasi yang memungkinkan konflik kekerasan dapat diredam, tidak ada lagi upaya-upaya sebagai tindak lanjut yang bertujuan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik baru.
2. Implikasi Kebijakan
a. Birokrasi lokal harus memiliki komitmen yang sungguh-sungguh dalam penyelesaian konflik kekerasan yang dialami oleh anak bangsa dengan mendirikan sebuah lembaga yang berugas untuk :
- Mempersiapkan sistem peringatan dini (early warning system), sehingga memungkinkan lebih mudah untuk mencegah terjadinya konflik.
- Membangun model pendidikan multikultural.
- Meningkatkan kinerja dan kepedulian instansi terkait, seperti Dinas Sosial, Dinas Pendidikan Nasional, Badan Kesatuan Bangsa, Kanwil Departemen Agama untuk secara bersama-sama dengan aparat keamanan mendorong transisi dan transparansi konflik ke arah kerjasama membangun perdamaian (peace building) dan pembangunan komunitas.
b. Mendirikan lembaga-lembaga informal, terdiri dari unsur-unsur birokrasi lokal, satgas parpol, petugas keamanan (Polri/TNI-ABRI) dengan melibatkan pemimpin-pemimpin akar rumput dari berbagai golongan masyarakat dan golongan agama untuk melakukan tindakan-tindakan preventif atau dalam upaya mengusahakan rekonsoliasi.
c. Meningkatkan kinerja forum komunikasi antar umat beragama dalam aksi nyata :
- Bakti sosial bersama secara berkala.
- Melaksanakan dakwah multikultural di daerah-daerah rawan konflik.
- Membangun dialog yang inovatif konstruktif berdimensi humanis.
d. Memberdayakan ekonomi kerakyatan dalam upaya membuka kesempatan kerja selua-luasnya bagi masyarakat.
e. Meningkatkan kinerja aparat keamanan dan melakukan upaya penegakan hukum (law emporcement) yang lebih optimal.
f. Melakukan revitalisasi nilai budaya lokal serta merenovasi pranata lokal yang memungkinkan terjadinya kerjasama yang setara dan adil antar suku bangsa dan kelompok agama yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar