Sabtu, 15 Oktober 2011

ADMINISTRASI PEMBANGUNAN

Administrasi pembangunan pada dasarnya bersumber dari administrasi negara. Dengan demikian, kaidah umum administrasi negara berlaku pula pada administrasi pembangunan. Jadi, adanya sistem administrasi negara yang mampu menyelenggarakan pembangunan menjadi prasyarat bagi berhasilnya pembangunan. Di lain pihak, sistem pemerintahan di negara berkembang pada awal kemerdekaannya, umumnya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
Pertama, kelembagaannya mewarisi sistem administrasi kolonial yang sangat terbatas cakupannya, karena tujuan pemerintahan kolonial bukan memajukan bangsa jajahan, tetapi mengeksploitasinya. Kedua, sumber daya manusianya terbatas dalam kualitas. Jabatan banyak diisi oleh orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk jabatan itu. Ketiga, kegiatan sistem pemerintahan terutama untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat umum atau rutin yang tidak berorientasi pada pembangunan.
Pada dasarnya, administrasi pembangunan adalah bidang studi yang mempelajari sistem administrasi negara di negara yang sedang membangun serta upaya untuk meningkatkan kemampuannya. Ini berarti dalam studi dan praktek administrasi pembangunan diperlukan adanya perhatian dan komitmen terhadap nilai-nilai yang mendasari dan perlu diwujudkan menjadi dasar etika birokrasi.
Dengan demikian ada dua sisi dalam batasan pengertian administrasi pembangunan tersebut. Pada sisi pertama tercakup upaya untuk mengenali peranan administrasi negara dan pembangunan, atau dengan kata lain administrasi dari proses pembangunan yang membedakannya dengan administrasi negara dalam pengertian umum. Pada sisi kedua tercakup kehendak untuk mempelajari dengan cara bagaimana membangun administrasi negara sehingga dapat menyelenggarakan tugas atau fungsinya secara baik.
1. Dimensi Spasial dalam Administrasi Pembangunan
Pertimbangan dimensi ruang dan daerah dalam administrasi pembangunan memiliki berbagai cara pandang atau pendekatan (Heaphy, 1971). Pertama, menyebutkan bahwa dimensi ruang dan daerah dalam perencanaan pembangunan adalah perencanaan pembangunan bagi suatu kota, daerah, ataupun wilayah. Pendekatan ini memandang kota, daerah, ataupun wilayah sebagai suatu wujud bebas yang pengembangannya tidak terikat dengan kota, daerah, ataupun wilayah yang lain sehingga penekanan perencanaannya mengikuti pola yang lepas dan mandiri. Kedua, bahwa pembangunan didaerah merupakan bagian dari pembangunan nasional. Perencanaan pembangunan daerah dalam pendekatan ini merupakan pola perencanaan pada suatu jurisdiksi ruang atau wilayah tertentu yang dapat digunakan sebagai bagian pola pembangunan nasional. Ketiga, cara pandang yang melihat bahwa perencanaan pembangunan daerah adalah instrument bagi penentuan alokasi sumber daya pembangunan dan lokasi kegiatan di daerah yang telah direncanakan secara terpusat yang berguna untuk mencegah terjadinya kesenjangan ekonomi antar daerah.
Kebijakan yang menyangkut dimensi ruang dalam administrasi pembangunan dipengaruhi oleh banyak faktor, disamping sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi. Untuk itu, administrasi pembangunan dalam kaitannya dengan dimensi ruang dan daerah, harus dapat mencari jawaban tentang bagaimana pembangunan dapat tetap menajaga persatuan dan kesatuan, tetapi dengan memberikan kewenangan dan tanggung jawab yang cukup pada daerah dan masyarakatnya. Ada beberapa aspek dari dimensi ruang dan daerah yang berkaitan dengan administrasi pembangunan daerah.
Pertama, regionalisasi atau perwilayahan. Artinya sebagai bagian dari upaya mengatasi aspek ruang dalam pembangunan, memberikan keuntungan dalam mempertajam fokus dalam lingkup ruang yang jauh lebih kecil dalam suatu negara.
Kedua, yaitu ruang, akan tercermin dalam penataan ruang. Hal ini pada intinya merupakan lingkungan fisik yang mempunyai hubungan organisators/fungsional antara berbagai macam obyek dan manusia yang terpisah dalam ruang-ruang.
Ketiga, otonomi daerah. Masyarakat pada suatu negara tidak hanya tinggal dan berada dalam pusat pemerintahan, tetapi juga ditempat-tempat yang jauh dan terpencil dari pusat pemerintahan. Jika kewenangan dan penguasaan pusat atas sumber daya menjadi terlalu besar maka akan timbul konflik atas penguasaan sumber daya tersebut. Untuk menjaga agar konflik tersebut tidak terjadi dan untuk meletakkan kewenangan pada masyarakat dalam menentukan nasib sendiri sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat maka diterapkan prinsip otonomi. Melalui otonomi diharapkan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah menjadi lebih efektif.
Keempat, yaitu partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Salah satu karakteristik atau ciri sistem administrasi modern adalah bahwa pengambilan keputusan dilakukan sedapat-dapatnya pada tingkat yang paling bawah. Dalam hal ini masyarakat bersama-sama aparatur pemerintah menjadi stake holder dalam perumusan, implementasi dan evaluasi dari setiap upaya pembangunan.
Kelima, sebagai implikasi dari dimensi administrasi dalam pembangunan daerah yang dikaitkan dengan kemajemukan adalah dimungkinkannya keragaman dalam kebijaksanaan. Dari segi perencanaan pembangunan harus dipahami bahwa satu daerah berbeda dengan daerah lainnya. Untuk itu, kebijaksanaan nasional harus memahami karakteristik daerah dalam mempertimbangkan potensi pembangunan didaerah terutama dalam kebijaksanaan investasi sarana dan prasarana guna merangsang berkembangnya kegiatan ekonomi daerah.
2. Kebijaksanaan Publik dalam Administrasi Pembangunan
Kebijaksanaan (policy) berkembang sebagai bidang studi julti disiplin, sehingga sering disebut policy sciences. Sebagai suatu bidang studi, kebijaksanaan publik relatif masih baru, tetapi telah menarik banyak perhatian dan menjadi kajian adalm berbagai disiplin ilmu sosial.
Berbagai metode pendekatan dalam analisis kebijaksanaan publik telah dikembangkan. Ada pendekatan deskriptif vs preskriptif; pendekatan deterministic vs probabilistic dilihat dari derajat kepastiannya (Stokey dan Zeckhauser, 1978). Atau dengan pendekatan lain, ada yang bersifat empirik, evaluatif dan normatif (Dunn, 1981).
Untuk memahami dan menjelaskan kebijaksanaan publik, Dye menunjukkan adanya sembilan model, yaitu model institusional, proses, kelompok, elite, rasional, inkremental, teori permainan (game theory), pilihan publik (public choice) dan teori sistem. Sementara Henry membagi modelnya menjadi dua kelompok yakni sebagai proses dan sebagai keluaran. Sebagai proses ia menggolongkan enam model, yakni model elite, kelompok, sistem, institusional, dan anarki yang diatur. Dari segi keluaran (output), ia mengenalkan tiga model, yakni inkremental, rasional, dan perencanaan strategis. Pendekatan proses lebih bersifat deskriptif, sedangkan pendekatan output lebih bersifat preskriptif. Artinya bahwa dengan pendekatan yang baik maka hasil atau isi dari kebijaksanaan publik akan menjadi lebih baik pula.
Di negara berkembang kebijaksanaan pembangunan menjadi pokok subtansi kebijaksanaan publik. Setiap hari pemerintah di semua negara mengambil keputusan atas dasar kewenangannya mengatur alokasi sumber daya publik, mengarahkan kegiatan masyarakat, memberikan pelayanan publik, menjamin keamanan dan ketentraman, dan sebagainya. Kegiatan itu tidak ada bedanya di negara manapun, baik negara maju maupun negara berkembang. Namun, tetap ada perbedaan diantara keduanya. Pertama-tama disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi yang berbeda dan juga karena adanya kegiatan pembangunan dinegara berkembang, yang merupakan kegiatan diatas dari yang biasa dilakukan oleh pemerintah dinegara maju. Adanya sistem administrasi negara yang mampu menyelenggarakan pembangunan menjadi prasyarat bagi berhasilnya pembangunan. Berarti pula administrasi negara yang mampu menghasilkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang “baik” yang dapat menghindari kebijaksanaan yang “buruk” dan mendorong “kepentingan umum”, merupakan tantangan yang lebih besar bagi negara yang sedang membangun (Grindle dan Thomas 1991).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar