A. Pengertian Administrasi dan Pembangunan
Administrasi negara adalah species dari genus administrasi, dan administrasi itu sendiri berada dalam keluarga kegiatan kerjasama antar manusia. Waldo (1992) menyatakan yang membedakan administrasi dengan kegiatan kerjasama antar manusia lainnya adalah derajat rasionalitasnya yang tinggi. Derajat rasionalitas yang tinggi ini ditunjukkan oleh tujuan yang ingin dicapai serta cara untuk mencapainya.
Pengertian pembangunan dapat ditinjau dari berbagai segi. Kata pembangunan secara sederhana sering diartikan sebagai proses perubahan ke arah keadaan yang lebih baik. Seperti dikatakan oleh Seers (1969) disini ada pertimbangan nilai (value judgement). Atau menurut Riggs (1966) ada orientasi nilai yang menguntungkan (favourable value orientation).
Pembangunan sering dikaitkan dengan modernisasi dan industrialisasi. Seperti dikatakan Goulet (1977), ketiga-tiganya menyangkut proses perubahan. Pembangunan adalah salah satu bentuk perubahan sosial, modernisasi adalah suatu bentuk khusus (special case) dari pembangunan. Dari pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa pembangunan lebih luas sifatnya daripada modernisasi dan modernisasi lebih luas daripada industrialisasi.
B. Konsep-konsep Pembangunan
Setelah Adam Smith, Thomas R. Malthus dan David Ricardo yang disebut sebagai aliran klasik, berkembang teori pertumbuhan ekonomi modern dengan bervariasinya. Pada intinya teori ini dibagi menjadi dua, yaitu: 1). Akumulasi modal (physical capital formation); dan 2). Peningkatan kualitas dan investasi sumber daya manusia (human capital). Salah satu dampaknya yang besar dan berlanjut hingga sekarang adalah model pertumbuhan yang dikembangkan oleh Harrod (1948) dan Domar (1946). Pada intinya, model ini berpijak pada pandangan Keynes (1936) yang menekankan pentingnya aspek permintaan dalam mendorong pertumbuhan jangka panjang.
Sementara itu berkembang sebuah model pertumbuhan yang disebut neo klasik. Teori ini mulai memasukkan unsur teknologi yang diyakini akan berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara (Solow, 1957). Dalam teori ini, teknologi dianggap sebagai faktor eksogen yang tersedia untuk dimanfaatkan oleh semua negara di dunia. Dalam perekonomian yang terbuka, dimana semua faktor produksi dapat berpindah secara leluasa dan teknologi dapat dimanfaatkan oleh setiap nagara, maka pertumbuhan semua negara di dunia akan konvergen, yang berarti kesenjangan akan berkurang.
Dalam kelompok teori ini ada pandangan penting yang dianut oleh pemikir pembangunan, yaitu teori Tahapan Pembangunan. Dua diantara yang penting adalah dari Rostow (1960) dan Chenery-Syrquin (1975). Menurut Rostow, transformasi dari negara terbelakang menjadi negara maju dapat dijelaskan melalui urutan tingkatan atau tahap pembangunan. Rostow mengemukakan 5 tahap yang dilaui oleh suatu negara dalam proses pembangunannya, yaitu tahap traditional society, precondition for growth, the take-off, the drive to maturity, dan the age of hight mass-consumption. Menurut Chenery-Syrquin (1975) yang merupakan pengembangan pemikiran transformasi (konsumsi, produksi dan lapangan kerja), dari perekonomian yang didominasi sektor pertanian menjadi sektor industri dan jasa.
Oleh karena itu, berkembang berbagai pemikiran untuk mencari alternatif lain terhadap paradigma yang semata-mata memberi penekanan kepada pertumbuhan, antara lain berkembang kelompok pemikiran yang disebut paradigma pembanguan sosial, yang tujuannya adalah menyelenggarakan pembangunan yang lebih berkeadilan.
Meskipun pembangunan harus berkeadilan, namun disadari bahwa pertumbuhan tetap penting. Upaya memadukan konsep pertumbuhan dan pemerataan merupakan tantangan yang jawabannya tidak henti-hentinya dicari dalam studi pembangunan. Sebuah model, yang dinamakan pemerataan dengan pertumbuhan atau redistribution with growth (RWG) dikembangkan berdasarkan suatu studi yang disponsori oleh Bank Dunia pada tahun 1974. Ide dasarnya adalah pemerintah harus mempengaruhi pola pembangunan sedemikian rupa sehingga produsen yang berpendapatan rendah akan mendapat kesempatan meningkatkan pendapatan dan secara simultan menerima sumber ekonomi yang diperlukan.
Masih dalam rangka mencari jawaban terhadap tantangan paradigma keadilan dalam pembangunan, berkembang pendekatan kebutuhan dasar manusia atau basic human needs (BHN).
Dalam pembahasan mengenai berbagai paradigma yang mencari jalan kearah pembangunan yang berkeadilan perlu diketengahkan pula teori pembangunan yang berpusat pada rakyat. Era pasca industri menghadapi kondisi-kondisi yang sangat berbeda dari kondisi-kondisi era industri dan menyajikan potensi-potensi baru yang penting guna memanfaatkan pertumbuhan dan kesejahteraan manusia, keadilan, dan kelestarian pembangunan (Korten,1984). Tujuan utamanya adalah pertumbuhan manusia yang didefinisikan sebagai perwujudan yang lebih tinggi dari potensi-potensi manusia. Paradigma ini memberi peran kepada individu tidak sebagai obyek, melainkan sebagai pelaku yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. Pembangunan yang berpusat pada rakyat menghargai dan mempertimbangkan prakarsa rakyat dan kekhasan setempat.
Paradigma terakhir dalam pembangunan adalah pembangunan manusia. Menurut pendekatan ini, tujuan utama pembangunan adalah menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan masyarakat menikmati kehidupan secara kreatif, sehat dan berumur panjang. Dengan kata lain, tujuan pokok pembangunan adalah memperluas pilihan-pilihan manusia (Ul Haq, 1995).
C. Perkembangan Pemikiran Dalam Ilmu Administrasi Negara
Golembiewski juga mengetengahkan adanya tiga paradigma yaitu, 1) Paradigma Tradisional, 2) Paradigma Sosial Psikologi, 3) Paradigma Kemanusian. Ia mengajukan kritik terhadap paradigma-paradigma tersebut yang banyak kelemahannya dan meramalkan tumbuhnya gejala anti paradigma, ia juga mengetengahkan bahwa yang akan muncul adalah paradigma-paradigma kecil (mini paradigm).
Henry (1995) mengetengahkan 5 paradigma yang berkembang dalam administrasi negara yaitu, 1) Dikotomi politik-administrasi, 2) Prinsip-prinsip administrasi serta tantangan yang timbul dan jawaban terhadap tantangan tersebut, 3) Administrasi Negara sebagai Ilmu Politik, 4) Administrasi Negara sebagai Manajemen, dan 5) Administrasi Negara sebagai Administrasi Negara.
Sementara itu, pendekatan scientific yang dirintis oleh Taylor (1912) pada masa sebelumnya dan diperkuat antara lain oleh Fayol (1916) dan Gulick (1937), mulai memperoleh tandingan dari para teoritis yang mulai menerapkan pendekatan hubungan manusia dan ilmu-ilmu perilaku kedalam teori-teori administrasi dan organisasi. Karya Barnard (1938) yang mengemukakan pandangan mengenai adanya organisasi informal menjadi bahan rujukan yang penting. Sementara Maslow (1943) mengemukakan faktor motivasi dalam organisasi yang tidak semata-mata ekonomi, tetapi juga sosial dan kemanusiaan lainnya.
Upaya pengembangan studi perbandingan administrasi negara dilakukan dengan sungguh-sungguh antara lain dengan dibentuknya Comparative Administration Group (CAG) 1960 oleh pakar administrasi. Dari CAG inilah lahir konsep administrasi pembangunan sebagai bidang kajian baru. Kelahirannya didorong oleh kebutuhan untuk membangun administrasi negara di negara berkembang.
D. Etika Administrasi
Sejak dasawarsa tahun 1970-an, etika administrasi telah menjadi bidang studi yang berkembang pesat dalam ilmu administrasi. Nicholas Henry (1995) berpandangan ada dua perkembangan mengenai etika administrasi yaitu, 1) Tampilnya teori-teori keputusan dimana masalah perilaku manusia menjadi tema sentral dibandingkan dalam pendekatan sebelumnya, seperti rasionalitas dan efisiensi, dan 2) Berkembangnya pandangan-pandangan pembaharuan, yang disebut counterculture critique, termasuk didalamnya kelompok administrasi negara.
Secara garis besar ada dua pendekatan yang dapat diketengahkan untuk mewakili banyak pandangan mengenai administrasi negara yang berkaitan dengan etika, yaitu 1) Pendekatan Teologi, dan 2) Pendekatan Deontologi.
Pertama, pendekatan Teologi berpangkal tolak pada apa yang seharusnya dilakukan oleh administrasi, acuan utamanya adalah nilai kemanfaatan yang akan diperoleh atau dihasilkan, yaitu dilihat dari konsekuensi dari pengambilan keputusan. Dalam konteks ini diukur dari pencapaian sasaran, kebijaksanaan-kebijaksanaan publik (seperti pertumbuhan ekonomi, pelayanan kesehatan, kesempatan untuk mengikuti pendidikan, kualitas hidup), pemenuhan pilihan-pilihan masyarakat atau perwujudan kekuasaan organisasi, bahkan kekuasaan perorangan. Kedua, pendekatan Deontologi berdasar pada prinsip-prinsip moral yang harus ditegakkan karena kebenaran yang ada dalam dirinya, dan tidak terkait dengan akibat dan konsekuensi dari keputusan dan tindakan yang dilakukan. Azasnya bahwa proses administrasi harus berlandaskan pada nilai-nilai moral yang mengikat. Pendekatan ini pun tidak hanya pada satu garisnya. Yang sangat mendasar adalah pandangan yang berbumber dari falsafah Immanuel Kant (1724-1809), yaitu bahwa moral adalah imperative dan kategoris yang tidak membenarkan pelanggaran atasnya untuk tujuan apapun, meskipun karena itu masyarakat dirugikan atau jatuh korban.
Blog ini aku terbitkan berawal dari sebuah gelisahan. sepertinya ada ketukan yg memanggil untuk membuka sebuah ruang pemikiran serta berbagi untuk semua.
Sabtu, 15 Oktober 2011
PEMBANGUNAN ADMINISTRASI
A. Keadaan Administrasi di Negara Berkembang
Tingkat perkembangan administrasi di negara-negara berkembang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat disebut sebagai lingkungan administrasi. Lingkungan administrasi meliputi kondisi negara dan bangsa yang bersangkutan di bidang politik, ekonomi, dan sosial.
Di bidang politik, lingkungan administrasi meliputi sistem politik yang dianut, keterkaitan antara administrasi dengan pemegang kedaulatan dan kekuatan-kekuatan politik, partisipasi masyarakat dalam proses politik, derajat keterbukaan dan kebebasan mengeluarkan pendapat dan berserikat, kedudukan dan kekuatan hukum, serta perkembangan budaya dan kelembagaan politik pada umumnya.
Di bidang ekonomi, tercermin dalam sistem ekonomi yang dianut, apakah ekonomi terbuka atau tertutup, ekonomi pasar atau ekonomi yang didominasi oleh pemerintah; tingkat perkembangan ekonomi diukur dari tingkat pendapatan atau perkembangan struktur produksi dan ketenagakerjaan, tingkat pertumbuhan, kemantapan atau stabilitas ekonomi; serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di bidang sosial, banyak indikator yang telah dikembangkan di bidang pendidikan, seperti tingkat melek huruf dan partisipasi pendidikan di berbagai jenjang pendidikan; di bidang kesehatan, seperti usia harapan hidup, tingkat mortalitas ibu yang melahirkan atau bayi yang dilahirkan, derajat gizi masyarakat; kehidupan keagamaan; di bidang kependudukan seperti pertambahan penduduk dan distribusi kependudukan menurut berbagai ukuran antara lain gender, spasial, usia, dan sebagainya; perkembangan kelembagaan sosial budaya; serta aspek-aspek sosial budaya lain yang luas seperti nilai-nilai budaya tradisional dan modern, antara lain sikap terhadap (etos) kerja, kedisiplinan, dan lain sebagainya.
Menurut Heady (1995), untuk kepentingan kajian mengenai pembangunan administrasi ada baiknya dipelajari gambaran wajah administrasi yang bersifat umum (common) di negara nerkembang. Ia menunjukkan ada lima ciri administrasi yang indikasinya diketemukan secara umum di banyak negara berkembang, yaitu:
• Pola dasar administrasi publik atau administrasi negara bersifat jiplakan (imitative) daripada asli (indigenous). Negara-negara berkembang, baik negara yang pernah dijajah bangsa Barat maupun tidak, cenderung meniru sistem administrasi barat.
• Birokrasi di negara berkembang kekurangan sumber daya manusia terampil untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah tetapi kualitas. Dalam jumlah justru sebaliknya, birokrasi dinegara berkembang mengerjakan orang lebih dari yang diperlukan (overstaffed).
• Birokrasi lebih berorientasi kepada hal-hal lain daripada mengarah kepada yang benar-benar menghasilkan (production directed). Dengan kata lain, birokrat lebih berusaha mewujudkan tujuan pribadinya dibanding pencapaian sasaran-sasaran program.
• Adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang dinyatakan atau yang hendak ditampilkan dengan kenyataan (discrepency between form and reality). Ia menyebutkan fenomena umum ini sebagai formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi.
• Birokrasi di negara berkembang acap kali bersifat otonom, artinya lepas dari proses politik dan pengawasan masyarakat. Ciri ini merupakan warisan administrasi kolonial yang memerintah secara absolut. Atau sikap feodal dalam zaman kolonial yang terus hidup dan berlanjut setelah merdeka.
Terhadap analisis dari Heady ini dapat ditambahkan dua karakteristik hasil pengamatan Wallis (1989). Pertama di banyak negara berkembang birokrasi sangat birokratik dan bahkan semakin bertambah birokratik. Kedua unsur-unsur non birokratik sangat berpengaruh terhadap birokrasi. Misalnya hubungan keluarga dan hubungan-hubungan promordial lain, seperti suku dan agama, dan keterkaitan politik mempengaruhi birokrasi, yang sangat bertentangan dengan asas birokrasi yang baik.
B. Pembaharuan Administrasi
Keadaan-keadaan seperti tersebut diatas ingin diperbaiki memalui pembangunan administrasi. Riggs (1966) melihat pembaharuan administrasi dari dua sisi, yaitu perubahan struktural dan kinerja (performance). Secara struktural ia menggunakan diferensiasi struktural sebagai salah satu ukuran. Hal ini berdasarkan atas kecenderungan peran-peran yang makin terspesialisasikan (role specialization) dan pembagian pekerjaan (division of labor) yang makin tajam.
Mengenai kinerja, ia menekankan sebagai ukuran bukan hanya kinerja seseorang atau suatu unit, tetapi bagaimana peran dan pengaruhnya kepada kinerja yang lain atau organisasi secara keseluruhan. Ia pula menekankan pentingnya kerjasama dan teamwork, dan membedakan kinerja perorangan (personal performance) dengan kinerja bersama (social performance). Ia juga membedakan antara hasil dengan upaya yang dilakukan. Dalam pembaharuan administrasi, perhatian lebih dicurahkan pada upaya, bukansemata-mata hasil. Dua aspek kinerja yang menjadi ukuran adalah efektifitas dan efisiensi. Efektifitas berkaitan dengan seberapa jauh sasaran telah tercapai, dan efisiensi menunjukkan bagaimana mencapainya, yakni dibandingkan dengan usaha, biaya, atau pengorbanan yang harus dikeluarkan.
Wallis (1989) mengartikan pembaharuan administrasi sebagai induced, permanent improvement in administration. Dari batasan ini ada tiga aspek, yakni:
1. Perubahan harus merupakan perbaikan dari keadaan sebelumnya;
2. Perbaikan diperoleh dengan upaya yang disengaja dan bukan terjadi secara kebetulan atau tanpa usaha;
3. Perbaikan yang terjadi bersifat jangka panjang dan tidak sementara, untuk kemudian kembali lagi ke keadaan semula.
Esmann (1995) dalam sebuah analisis mutakhir menunjukkan bahwa upaya memperbaiki kinerja birokrasi di negara berkembang harus meliputi ketanggapan (responsiveness) terhadap pengawasan politik, efisiensi dalam penggunaan sumber daya dan efektivitas dalam pemberian pelayanan. Untuk itu, upaya perbaikan meliputi peningkatan keterampilan, penguasaan teknologi informasi dan manajemen finansial, pengaturan dan pengelompokkan kembali fungsi-fungsi, sistem insentif, memanusiakan manajemen dan mendorong partisipasi yang seluas-luasnya dalam pengambilan keputusan, serta cara rekruitmen yang harus lebih bersifat representatif.
Pembaharuan administrasi sebagai lanjutan dari pembangunan administrasi, meliputi strategi-strategi sebagai berikut:
1. Privatisasi dan Ko-produksi
Privatisasi merupakan pergeseran dari usaha yang dilakukan atau dimiliki oleh pemerintah ke swasta. Sebagai hasilnya akan berkurang kecenderungan membesarnya peran pemerintah, pengendalian negara (state control) dan anggaran pemerintah. Selain itu juga akan mengurangi beban pemerintah terhadap aspek-aspek manajemen yang terlalu rinci (mikro) dan mengurangi keperluan subsidi.
2. Debirokratisasi
Debirokratisasi merupakan usaha perampingan dan penyederhanaan birokrasi publik. Ini meliputi upaya penyempurnaan dalam pengambilan keputusan, perampingan organisasi pemerintah, dekonsentrasi kewenangan, peningkatan produktivitas sektor publik, rasionalisasi proses administrasi, penyederhanaan pola perijinan (seperti one stop service), diversifikasi dan desentralisasi sistem pelayanan dan sebagainya.
3. Perubahan sikap birokrasi
Patologi birokrasi di negara berkembang biasanya memiliki kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self-serving), mempertahankan status quo dan resisten terhadap perubahan, terpusat (centralized), dan sering kali menggunakan kewenangannya untuk kepentingan sendiri. oleh karena itu, penyempurnaan aparatur negara mutlak perlu dilakukan dengan mengubah sikap birokrasi. Sosok birokrasi yang diinginkan adalah membangun partisipasi masyarakat, berorientasi kepada yang lemah dan kurang berdaya (the under previlege), lebih bersifat mengarahkan dan memberdayakan, serta mengembangkan keterbukaan dan kebertanggungjawaban.
4. Deregulasi dan Regulasi
Deregulasi dimaksudkan untuk menggerakkan kegiatan ekonomi, sedangkan Regulasi dimaksudkan untuk melindungi dan memberi kesempatan bagi pihak yang lemah dan tertinggal untuk tumbuh.
C. Hambatan Terhadap Pembaharuan
Wallis (1989) menunjukkan berbagai kesulitan dalam upaya pembaharuan administrasi, antara lain disebabkan:
1. Kurangnya kesadaran atau pengetahuan mengenai betapa buruknya kinerja administrasi atau bagaimana perbaikan yang harus dilakukan.
2. Perubahan yang diperlukan untuk perbaikan mendapat tantangan dari birokrat yang sudah mapan dan ingin mempertahankan kemapanannya.
3. Saran, rencana atau program penyempurnaan administrasi acap kali terlalu umum, kabur dan tidak jelas, serta sulit diterapkan secara kongkrit.
4. Terkait dengan hal itu, mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas perubahan tidak terlalu memahami apa yang sedang terjadi atau apa yang harus dilakukan.
5. Kegagalan sebelumnya menyebabkan keputus asaan atau sikap acuh tak acuh, karena menganggap apa pun yang diusahakan tidak akan berhasil.
Tingkat perkembangan administrasi di negara-negara berkembang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat disebut sebagai lingkungan administrasi. Lingkungan administrasi meliputi kondisi negara dan bangsa yang bersangkutan di bidang politik, ekonomi, dan sosial.
Di bidang politik, lingkungan administrasi meliputi sistem politik yang dianut, keterkaitan antara administrasi dengan pemegang kedaulatan dan kekuatan-kekuatan politik, partisipasi masyarakat dalam proses politik, derajat keterbukaan dan kebebasan mengeluarkan pendapat dan berserikat, kedudukan dan kekuatan hukum, serta perkembangan budaya dan kelembagaan politik pada umumnya.
Di bidang ekonomi, tercermin dalam sistem ekonomi yang dianut, apakah ekonomi terbuka atau tertutup, ekonomi pasar atau ekonomi yang didominasi oleh pemerintah; tingkat perkembangan ekonomi diukur dari tingkat pendapatan atau perkembangan struktur produksi dan ketenagakerjaan, tingkat pertumbuhan, kemantapan atau stabilitas ekonomi; serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di bidang sosial, banyak indikator yang telah dikembangkan di bidang pendidikan, seperti tingkat melek huruf dan partisipasi pendidikan di berbagai jenjang pendidikan; di bidang kesehatan, seperti usia harapan hidup, tingkat mortalitas ibu yang melahirkan atau bayi yang dilahirkan, derajat gizi masyarakat; kehidupan keagamaan; di bidang kependudukan seperti pertambahan penduduk dan distribusi kependudukan menurut berbagai ukuran antara lain gender, spasial, usia, dan sebagainya; perkembangan kelembagaan sosial budaya; serta aspek-aspek sosial budaya lain yang luas seperti nilai-nilai budaya tradisional dan modern, antara lain sikap terhadap (etos) kerja, kedisiplinan, dan lain sebagainya.
Menurut Heady (1995), untuk kepentingan kajian mengenai pembangunan administrasi ada baiknya dipelajari gambaran wajah administrasi yang bersifat umum (common) di negara nerkembang. Ia menunjukkan ada lima ciri administrasi yang indikasinya diketemukan secara umum di banyak negara berkembang, yaitu:
• Pola dasar administrasi publik atau administrasi negara bersifat jiplakan (imitative) daripada asli (indigenous). Negara-negara berkembang, baik negara yang pernah dijajah bangsa Barat maupun tidak, cenderung meniru sistem administrasi barat.
• Birokrasi di negara berkembang kekurangan sumber daya manusia terampil untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah tetapi kualitas. Dalam jumlah justru sebaliknya, birokrasi dinegara berkembang mengerjakan orang lebih dari yang diperlukan (overstaffed).
• Birokrasi lebih berorientasi kepada hal-hal lain daripada mengarah kepada yang benar-benar menghasilkan (production directed). Dengan kata lain, birokrat lebih berusaha mewujudkan tujuan pribadinya dibanding pencapaian sasaran-sasaran program.
• Adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang dinyatakan atau yang hendak ditampilkan dengan kenyataan (discrepency between form and reality). Ia menyebutkan fenomena umum ini sebagai formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi.
• Birokrasi di negara berkembang acap kali bersifat otonom, artinya lepas dari proses politik dan pengawasan masyarakat. Ciri ini merupakan warisan administrasi kolonial yang memerintah secara absolut. Atau sikap feodal dalam zaman kolonial yang terus hidup dan berlanjut setelah merdeka.
Terhadap analisis dari Heady ini dapat ditambahkan dua karakteristik hasil pengamatan Wallis (1989). Pertama di banyak negara berkembang birokrasi sangat birokratik dan bahkan semakin bertambah birokratik. Kedua unsur-unsur non birokratik sangat berpengaruh terhadap birokrasi. Misalnya hubungan keluarga dan hubungan-hubungan promordial lain, seperti suku dan agama, dan keterkaitan politik mempengaruhi birokrasi, yang sangat bertentangan dengan asas birokrasi yang baik.
B. Pembaharuan Administrasi
Keadaan-keadaan seperti tersebut diatas ingin diperbaiki memalui pembangunan administrasi. Riggs (1966) melihat pembaharuan administrasi dari dua sisi, yaitu perubahan struktural dan kinerja (performance). Secara struktural ia menggunakan diferensiasi struktural sebagai salah satu ukuran. Hal ini berdasarkan atas kecenderungan peran-peran yang makin terspesialisasikan (role specialization) dan pembagian pekerjaan (division of labor) yang makin tajam.
Mengenai kinerja, ia menekankan sebagai ukuran bukan hanya kinerja seseorang atau suatu unit, tetapi bagaimana peran dan pengaruhnya kepada kinerja yang lain atau organisasi secara keseluruhan. Ia pula menekankan pentingnya kerjasama dan teamwork, dan membedakan kinerja perorangan (personal performance) dengan kinerja bersama (social performance). Ia juga membedakan antara hasil dengan upaya yang dilakukan. Dalam pembaharuan administrasi, perhatian lebih dicurahkan pada upaya, bukansemata-mata hasil. Dua aspek kinerja yang menjadi ukuran adalah efektifitas dan efisiensi. Efektifitas berkaitan dengan seberapa jauh sasaran telah tercapai, dan efisiensi menunjukkan bagaimana mencapainya, yakni dibandingkan dengan usaha, biaya, atau pengorbanan yang harus dikeluarkan.
Wallis (1989) mengartikan pembaharuan administrasi sebagai induced, permanent improvement in administration. Dari batasan ini ada tiga aspek, yakni:
1. Perubahan harus merupakan perbaikan dari keadaan sebelumnya;
2. Perbaikan diperoleh dengan upaya yang disengaja dan bukan terjadi secara kebetulan atau tanpa usaha;
3. Perbaikan yang terjadi bersifat jangka panjang dan tidak sementara, untuk kemudian kembali lagi ke keadaan semula.
Esmann (1995) dalam sebuah analisis mutakhir menunjukkan bahwa upaya memperbaiki kinerja birokrasi di negara berkembang harus meliputi ketanggapan (responsiveness) terhadap pengawasan politik, efisiensi dalam penggunaan sumber daya dan efektivitas dalam pemberian pelayanan. Untuk itu, upaya perbaikan meliputi peningkatan keterampilan, penguasaan teknologi informasi dan manajemen finansial, pengaturan dan pengelompokkan kembali fungsi-fungsi, sistem insentif, memanusiakan manajemen dan mendorong partisipasi yang seluas-luasnya dalam pengambilan keputusan, serta cara rekruitmen yang harus lebih bersifat representatif.
Pembaharuan administrasi sebagai lanjutan dari pembangunan administrasi, meliputi strategi-strategi sebagai berikut:
1. Privatisasi dan Ko-produksi
Privatisasi merupakan pergeseran dari usaha yang dilakukan atau dimiliki oleh pemerintah ke swasta. Sebagai hasilnya akan berkurang kecenderungan membesarnya peran pemerintah, pengendalian negara (state control) dan anggaran pemerintah. Selain itu juga akan mengurangi beban pemerintah terhadap aspek-aspek manajemen yang terlalu rinci (mikro) dan mengurangi keperluan subsidi.
2. Debirokratisasi
Debirokratisasi merupakan usaha perampingan dan penyederhanaan birokrasi publik. Ini meliputi upaya penyempurnaan dalam pengambilan keputusan, perampingan organisasi pemerintah, dekonsentrasi kewenangan, peningkatan produktivitas sektor publik, rasionalisasi proses administrasi, penyederhanaan pola perijinan (seperti one stop service), diversifikasi dan desentralisasi sistem pelayanan dan sebagainya.
3. Perubahan sikap birokrasi
Patologi birokrasi di negara berkembang biasanya memiliki kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self-serving), mempertahankan status quo dan resisten terhadap perubahan, terpusat (centralized), dan sering kali menggunakan kewenangannya untuk kepentingan sendiri. oleh karena itu, penyempurnaan aparatur negara mutlak perlu dilakukan dengan mengubah sikap birokrasi. Sosok birokrasi yang diinginkan adalah membangun partisipasi masyarakat, berorientasi kepada yang lemah dan kurang berdaya (the under previlege), lebih bersifat mengarahkan dan memberdayakan, serta mengembangkan keterbukaan dan kebertanggungjawaban.
4. Deregulasi dan Regulasi
Deregulasi dimaksudkan untuk menggerakkan kegiatan ekonomi, sedangkan Regulasi dimaksudkan untuk melindungi dan memberi kesempatan bagi pihak yang lemah dan tertinggal untuk tumbuh.
C. Hambatan Terhadap Pembaharuan
Wallis (1989) menunjukkan berbagai kesulitan dalam upaya pembaharuan administrasi, antara lain disebabkan:
1. Kurangnya kesadaran atau pengetahuan mengenai betapa buruknya kinerja administrasi atau bagaimana perbaikan yang harus dilakukan.
2. Perubahan yang diperlukan untuk perbaikan mendapat tantangan dari birokrat yang sudah mapan dan ingin mempertahankan kemapanannya.
3. Saran, rencana atau program penyempurnaan administrasi acap kali terlalu umum, kabur dan tidak jelas, serta sulit diterapkan secara kongkrit.
4. Terkait dengan hal itu, mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas perubahan tidak terlalu memahami apa yang sedang terjadi atau apa yang harus dilakukan.
5. Kegagalan sebelumnya menyebabkan keputus asaan atau sikap acuh tak acuh, karena menganggap apa pun yang diusahakan tidak akan berhasil.
IMPLIKASI KEBIJAKAN DALAM UPAYA MENGATASI KONFLIK SOSIAL DAN KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA (Kasus Bumi Tamalanrea Permai (BTP) Makassar)
A. PENDAHULUAN
Keanekaragaman etnis dan penganut agama pada sebuah bangsa menjadi dilematis karena; (1) keanekaragaman tersebut sesungguhnya memiliki kekuatan untuk mendukung terciptanya sebuah negara kesatuan yang kuat; (2) di sisi lain, juga memilki potensi konflik yang dapat memicu terjadinya disentegrasi bangsa. Sebagai negara bangsa, hampir sepanjang sejarahnya Indonesia diwarnai oleh konflik kekerasan, baik bernuansa etnis maupun agama. Gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS), pemberontakan Darul Islam di Jawa Barat dan Kalimantan Selatan. Sebagaimana dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), adalah contoh-contoh kekerasan politik yang melawan pemerintah yang berdimensi vertikal. Hal ini kemudian diperkeruh oleh konflik kekerasan sosial berdimensi horizontal, yang tampak pada kasus Ambon, Sumba, Sampit, Poso, Luwu. Demikian juga halnya dengan kasus Kupang, Mataram, dan Situbondo, mengindikasikan betapa kompleksnya konflik di Indonesia.
Dalam perspektif sejarah, isu kekerasan telah terjadi sejak lama di Sulawesi Selatan. Sebagaimana digambarkan oleh Poelinggomang (2003) bahwa pada masa kerajaan lokal, telah terjadi suatu keadaan dimana suatu kelompok dengan kelompok lainnya yang bertentangan saling memangsa.
Awal tahun 1950-an, di daerah ini juga muncul sebuah gerakan separatis DI/TII yang memiliki ideologi untuk mendirikan negara Islam di bawah kepemimpinan Kahar Muzakkar. Gerakan ini mempropagandakan konsep-konsep persamaan derajat manusia, keharusan bekerja keras dan berjuang melawan kebodohan. Dalam aspek keagamaan, hanya agama Islam-lah yang harus dianut. (Van Dijk, 1983).
Apakah terdapat signifikansi hubungan antara pengaruh konflik kekerasan masa lalu di Sulawesi Selatan dengan “basic personality type” orang Bugis-Makassar dalam menyikapi “ketidakadilan” dengan cara “amuk massa”, belum diketahui benar. Namun hal pasti, bahwa tingkat kepekaan orang-orang Bugis Makassar terhadap simbol-simbol etnisitas dan agama demikian tinggi. Hal ini menyebabkan solidaritas dalam bentuk siri’na pacce dalam menyikapi masalah simbol-simbol etnisitas dan agama (Islam) demikian tinggi.
Bahkan di Makassar, pernah beberapa kali terjadi konflik kekerasan dalam bentuk perusakan sarane pendidikan dan gereja yang dilakukan oleh pemuda-pemuda Islam yang pada umumnya adalah orang-orang Bugis Makassar. Demikian pula sweeping kartu penduduk bagi orang-orang Kristen di Tamalanrea Makassar tahun 2001, mengindikasikan masih rawannya kerukunan antar umat beragama. Kasus amuk Makassar yang terjadi pada tahun 1997, menjadikan orang-orang Cina sebagai sasaran kekerasan. Hal ini ditengarai terjadi sebagai akibat akumulasi kekecewaan orang-orang pribumi terhadap kepentingan ekonomi. Disparitas struktural dalam distribusi kemakmuran memang dapat menerangkan banyak hal berkenaan dengan terjadinya konflik sosial.
Dari serangkaian kejadian konflik kekerasan tersebut, sebenarnya menginformasikan banyak hal berkenaan dengan kerawanan sosial dan kerentanan dalam menciptakan kerukunan antar umat beragama. Kondisi seperti ini sudah barang tentu mengindikasikan bahwa kerukunan nasional tengah menurun drastis, sehingga sudah sangat mengkhawatirkan.
Kerukunan nasional, bukanlah suatu masyarakat yang bersih dari perbedaan-perbedaan sosial dan hasil dari gesekan-gesekan antar kelompok. Melainkan suatu bentuk kesadaran masing-masing pihak untuk menerima perbedaan, dan mampu mengembangkan berbagai potensi dinamik yang memberikan peluang dan harapan bagi kemajuan bersama dan sekaligus kemajuan bangsa di masa depan.
B. KESERASIAN SOSIAL: Perspektif Teori
Ada dua hal penting yang dihadap[i oleh kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupannya, yaitu (1) wujud konstelasi dan aspirasi kehidupan yang diharapkan (the constellation and aspiration of ideal life); (2) dinamika sosial ekonomi yang diperlukan dalam mengelola kehidupan itu sendiri. wujud konstelasi dan aspirasi yang diharapkan berbeda antara kelompok masyarakat satu dengan kelompok masyarakat lainnya, sebagai akibat perbedaan budaya, baik dalam bentuk antar budaya, maupun intra budaya. Namun demikian, Lerner (dalam Scharamm dan Lerner, 1976) menekankan perlunya menemukan keraturan-keteraturan dalam kondisi manusia dalam bentuk karakteristik-karakteristik yang menyatukan umat manusia dimana saja, meskipun terdapat keragaman yang membedakan mereka. Dengan mengakui persamaan, akan lebioh mempermudah memahami umat manusia yang tersebar luas di seluruh dunia.
Salah satu wujud konstelasi dan aspirasi kehidupan yang pada umumnya diharapkan umat manusia adalah wujud kehidupan dalam bentuk “keserasian sosial”. Keserasian sosial (social harmony) merupakan suatu konsep ideal tentang bagaimana suatu masyarakat berhubungan atau berintegrasi dalam sebuah tatanan yang didasari oleh tingkat solidaritas yang tinggi diantara warga dan kelompok-kelompok sosial sehingga tercipta suatu tatanan kehidupan yang selaras dan seimbang (social equalibrum).
Pada kenyataannya, tidak pernah terjadi suatu kehidupan yang berhasil mempertahankan keserasian sosial pada setiap waktu sebagai akibat timbulnya perbedaan yang bersifat internal maupun eksternal. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor yang dapat mengganggu ketidakseimbangan sosial atau keserasian sosial tersebut. Ini berarti konflik dapat terjadi antar individu, yang pada gilirannya melibatkan kelompok-kelompok sosial. Karena itu, konflik dan keserasian sosial tidak perlu dilihat secara terpisah, sebab keduanya merupakan sisi yang berbeda dari mata uang yang sama. Keduanya menyangkut status hubungan dan cara mengelola perbedaan, antar orang atau antar kelompok dalam masyarakat.
Jika dicermati, keserasian sosial sangat terkait dengan, (1) kelangsungan hidup suatu kelompok masyarakat, dan (2) terkait dengan tingkat kualitas hidup yang dapat dinikmati oleh suatu kelompok masyarakat. Dari perspektif tersebut, konsep keserasian sosial tidak mungkin dipahami tanpa memahami konsep konflik. Hal ini wajar-wajar saja karena manusia atau kelompok masyarakat yang mempertahankan hidupnya, mereka tidak terbebas dari intrik-intrik sebagai akibat perbedaan psiko-sosio budaya.
Lagipula, kemampuan manusia sebagai individu maupun sebagai kelompok untuk hidup bersama memang terbatas, akan tetapi tidak mudah untuk menentukan pada titik mana atau dimana batas tersebut. Kesulitan tersebut dapat terjadi karena kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya biasanya berfluktuasi. Hal penting lainnya yang harus diperhatikan dalam beradaptasi adalah pengaruh lingkungan sosial. Dalam arti bahwa interaksi sosial sangat mempengaruhi kemampuan manusia dan kelompok sosial untuk hidup bersama. Sebagaimana dikemukakan oleh Evans (1982), bahwa disamping faktor dalam diri manusia itu sendiri ada faktor luar yang mempengaruhi kemampuan manusia untuk hidup bersama-sama dengan orang lain atau kelompok lain secara baik. Konflik kemudian juga terjadi manakala terdapat prasangka etnis yang tidak kondusif bagi kehidupan bersama antara dua kelompok masyarakat.
C. PETA KERAWANAN SOSIAL : Bumi Tamalanrea Permai (BTP) Makassar
Penghuni Perumnas BTP yang demikian banyak dengan latar belakang daerah asal, etnis dan agama yang berbeda, merefleksikan tingkat heterogenitas yang tinggi warga Perumnas BTP. Dari persepektif teori konflik, sumber-sumber konflik justru dapat muncul dari perbedaan tersebut, khususnya pada perbedaan nilai budaya, ideologi, termasuk perbedaan agama.
Dibawah ini akan diidentifikasi jenis pertikaian (disputes) dan konflik sosial yang pernah terjadi di kawasan Perumnas BTP beberapa tahun lalu, tetapi bukan tidak mungkin akan terjadi lagi, jika konflik tersebut tidak dikelola secara baik.
1. Pertikaian Antar Pribadi
Penyebab pertikaian ini biasanya tidak jelas atau masalah sepele. Misalnya kehadiran seseorang pada suatu blok tertentu yang dirasa mengganggu atau kurang mengenakkan penghuni blok tersebut dan hal-hal lain yang mengganggu privacy termasuk masalah muda-mudi. Blok-blok hunian tersebut diklaim oleh kelompok tertentu sebagai wilayah kekuasaan mereka, sehingga berhak mengawasi wilayah tersebut. Dalam hal ini, konflik-konflik teritorialitas dapat terjadu karena manusia cenderung bertingkah laku tertentu dalam mewujudkan kepemilikan atas suatu teritori (Wirawan, 1992; Yusmar Yusuf, 1991).
Kepadatan warga penghuni blok-blok dalam kompleks Perumnas BTP, khususnya pada rumah tipe kecil dengan kelompok warga yang tingga di blok yang sama, juga dapat menjadi masalah tersendiri. Menurut Evans (1982), semakin banyak manusia dalam wilayah tertentu, semakin banyak masalah yang muncul, dan efek negatifnya pun makin bertambah. Banyak stimulan yang mempengaruhi kognisi dan ini mempengaruhi proses-proses yang terjadi di dalam pikiran orang untuk bersengketa. Apalagi dalam kehidupan sosial yang semakin kompetitif,keserasian sosial semakin sulit terbentuk.
2. Konflik Kekerasan Bernuansa Daerah Asal
Jika sebuah konflik antar pribadi yang belum diselesaikan tuntas, tidak menutup kemungkinan salah satu pihak menyimpan bara dendam sehingga memberi peluang terjadinya konflik kekerasan yang lebih besar.
Dalam konflik ini identitas diri (self identity), dan daerah asal terkait, sehingga dapat melibatkan masing-masing massa secara besar-besaran. Perkelahian, bukan lagi hanya mengandalkan tangan kosong, tetapi telah menggunakan peralatan perang, seperti parang panjang, tombak, panah, dan senjata rakitan.
3. Konflik Kekerasan Bernuansa Agama
Selama beberapa waktu sejak Perumnas BTP terbangun, hegemoni pemuda-pemudi Toraja di kompleks perumahan tersebut demikian terasa. Hal ini disebabkan, populasi orang Toraja penghuni BTP saat itu relatif besar. Namun demikian yang paling meresahkan adalah solidaritas antar warga Toraja demikian tinggi, sehingga jika salah seorang warga mengalami masalah, apalagi yang menjadi lawan adalah non Toraja, maka dapat dipastikan rumah lawan mereka itu akan menjadi sasaran penyerbuan.
Di kalangan anak-anak muda Bugis-Makassar yang menghuni Perumnas BTP, bukannya tidak ada yang mau melakukan perlawanan. Tetapi agaknya, mereka tidak mampu membangun solidaritas, sehingga kekuatan mereka terpecah dalam bentuk solidaritas daerah asal. Namun demikian, fenomena ini kemudian berubah.
Bermula, ketika ada kegiatan pembangunan pada malam hari di sebuah hamparan lahan kosong yang sebenarnya diperuntukkan untuk sarana taman dan sarana olahraga bagi warga Perumnas BTP. Lahan kosong tersebut pernah diusulkan oleh tokoh masyarakat Islam untuk memdirikan masjid, tetapi ditolak oleh pihak manajemen Perumnas. Belakangan lahan ini ternyata diperuntukkan untuk pembanguan Gereja Toraja. Hal ini ternyata menimbulkan keresahan warga muslim setempat. Bahkan isu ini demikian cepat menyulut emosi keagamaan yang kemudian menjadi pemicu terbangunnya solidaritas sosial yang demikian kuat diantara penganut agama Islam yang umumnya berasal dari etnis Bugis-Makassar.
Simbol-simbol kedaerahan dan etnisitas lebur dalam identitas agama. Dan solidaritas Islam ini semakin diperkokoh oleh dukungan para anggota Jamaah Tabligh yang kebetulan beberapa tahun belakangan mengembangkan syiar paham keIslaman mereka di Perumnas BTP. Peralatan perang, seperti parang panjang, tombak, busur panah, senjata rakitan dan bom rakitan dihimpun, untuk melakukan penyerangan dan perusakan pada simbol-simbol agama Kristen. Bangunan gereja yang baru saja dimulai dibongkar paksa, kemudian penyerangan dilakukan ke kubu anak-anak muda Toraja yang diketahui menjadi biang keonaran.
Solidaritas Islam dengan cepat pula ditanggapi oleh mahasiswa-mahasiswa Islam yang berdomisili di pondokan-pondokan sekitar Universitas Hasanuddin dan ini memperparah situasi. Sebuah gereja dengan sarana pendidikan serta sebuah wisma yang berada di pertigaan jalan masuk Unhas menjadi sasaran. Gereja, sekolah dan wisma tersebut dibakar. Demikian pula gereja Ballalompoa dipertigaan jalan masuk Perumnas BTP juga menjadi sasaran pembakaran, tetapi cepat dipadamkan oleh aparat keamanan yang sudah melakukan pengamanan ditempat itu.
D. DIMENSI KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA
Kasus Perumnas BTP tahun 1999 menyentak kesadaran kita betapa isu agama dapat demikian sensitif, sehingga demikian cepat membakar semangat perlawanan masyarakat Islam yang berdomisili di Perumnas tersebut. Padahal sebelumnya, mereka terpecah dalam kelompok-kelompok sosial daerah asal, sehingga tidak cukup kuat membangun solidaritas sosial.
Orang Bugis-Makassar yang berdomisili di Perumnas BTP, sebagian besar termasuk golongan Islam yang mereka sebut sebagai “Ahlussunnah Wal Jamaah” atau biasa juga diidentifikasi sebagai golongan Islam tradisional. Pandangan golongan Ahlussunnah Wal Jamaah terhadap golongan Islam lainnya, bahkan terhadap golongan non Islam, tidaklah ekstrim. Mereka cenderung mengakomodasi pandangan-pandangan golongan Islam lainnya tanpa kecenderungan untuk mempersalahkannya. Bahkan dalam menyikapi masyarakat Islam yang masih menjalankan tradisi leluhur mereka, yang biasa dilakukan oleh orang-orang kampung, mereka menyikapinya tampak lebih bijaksana.
Agak berbeda dengan Muhammadiyah yang terlihat dinamis dan progresif dalam menegakkan agama Islam. Dulu, perjuangan menegakkan agama Islam dilakukan demikian demonstratif; dengan melarang semua bentuk tradisi yang dapat membuat orang menjadi musyrik. Saat ini dalam perjuangan dalam menegakkan agama Islam lebih banyak dilakukan melalui jalan da’wah Islamiah; pendidikan dan pengajian-pengajian kelompok. Di Perumnas BTP, golongan Muhammadiyah, bahkan terkesan moderat sebagaimana golongan Islam lainnya, sehingga antara golongan Muhammadiyah yang dikenal sebagai Islam modern, tidak pernah terlibat pertentangan (disputes) apalagi dengan konflik golongan Islam lainnya yang dikenal tradisional. Dalam sebuah masjid,mereka menjalankan ibadah bersama, sehingga perbedaan hilafiah tidak menjadi persoalan. Pada bulan Ramadhan misalnya, golongan Muhammadiyah yang tarwih bersama menyelesaikan shalatnya akan berhenti, ketika rakaat ke delapan usai, sementara golongan Islam yang mengidentifikasi sebagai Ahlussunnah Wal Jamaah, yang umumnya orang-orang NU melanjutkan tarwih mereka. Kelompok Islam yang baru beberapa tahun belakangan ini muncul adalah “Jamaah Tabligh”. Jamaah Tabligh juga merupakan jamaah Islamiah yang memiliki kecenderungan untuk berdakwah atau menyampaikan pesan-pesan (tabligh) kepada setiap orang yang dapat dijangkau. Karena itu, kadang-kadang dalam kelompo kecil, mereka bertabligh kerumah-rumah penduduk, mengajak mereka untuk shalat berjamaah di masjid. Ketika terjadi konflik kekerasan bernuansa agama antara warga yang beragama Islam dengan orang-orang Kristen Toraja di Perumnas BTP, anggota Jamaah Tabligh ini dengan semangat jihadnya tampil di depan.
Konflik bernuansa agama yang menyulut emosi keagamaan dan kemudian mengobarkan semangat solidaritas Islam, sebenarnya bukan murni konflik agama. Dari hasil wawancara terungkap bahwa:
a. Konflik bernuansa agama, lebih bermuatan balas dendam akibat sepak terjang oknum-oknum anak muda Toraja yang dinilai sangat mengganggu masyarakat akibat mabuk-mabukan yang terkadang disertai ancaman dan tindakan destruktif.
b. Penilaian sebagian orang Islam terhadap kegiatan orang Kristen yang cenderung eksklusif, sehingga ditafsirkan bahwa orang-orang Kristen melakukan ekspansi secara terselubung dalam komunitas Islam.
c. Ketidakmampuan pemimpin formal (pemerintah lokal) termasuk aparat keamanan melakukan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya konflik.
d. Kebijakan pemerintah kota yang dinilai diskriminatif dan tidak mempertimbangkan damapak sosial, berkenaan dengan izin pembangunan sarana ibadah.
e. Konflik sosial dapat ditafsirkan sebagai gangguan daya tampung sosial yang menimbulkan perilaku maladaptive dari kelompok tertentu.
Dari perspektif Islam, “keberadaan bermacam-macam agama dan tempat ibadah merupakan kehendak Tuhan untuk menciptakan keseimbangan hidup manusia di bumi”. Keseimbangan itu harus tercipta agar masyarakat menjadi dinamis dan dapat berkembang. Oleh karena itu, upaya penghancuran suatu komunitas simbol-simbol agama merupakan hal yang sangat dilarang dalam agama Islam. Pluralisme keagamaam adal;ah salah satu improvisasi yang menonjol dari pemikiran pembaruan Nurcholish Madjid (1988). Gagasan ini terutama berintikan pengakuan terhadap eksistensi agama-agama lain dan perlunya meningkatkan saling pengertian dan menjalin hubungan-hubungan yang toleran diantara pemeluk agama-agama.
Dari perspektif Gereja Katolik dikatakan, “dialog dengan saudara-saudara dari agama-agama lain merupakan bagian integral penghayatan Injil sendiri”. Injil sendiri mengajak orang Kristiani untuk berdialog, untuk belajar dari pengalaman umat beragama lain, untuk menghormati dan mencintai mereka, serta untuk bersama dengan mereka membangun kehidupan masyarakat baik, adil, damai dan sejahtera (Franz Magnis Suseno, 2001).
Kedua pernyataan tokoh agama di Indonesia tersebut, menegaskan posisi agama terhadap masalah kerukunan hidup antar umat beragama, bahwa agama sesungguhnya membawa misi untuk menciptakan kehidupan yang damai sejahtera di bumi. Dalam versi Islam disebutkan sebagai rahmatan lil’alamin atau rahmat bagi alam semesta. Karena itu, Komaruddin Hidayat (2000), menyatakan setiap terjadinya konflik antar umat beragma, kita mengalami kesulitan untuk menemukan akar tunggang yang merupakan akar pokok penyebabnya. Bahkan penyebab utamanya seringkali berakar, bukan pada aspek doktrin yang merupakan inti agama, melainkan pada akar serabut non teologis, terutama pada persaingan politik, ekonomi dari para elit pemimpinnya.
Dalam pandangan yang sama, Usman Pelly (1999) menandaskan kesenjangan sosial ekonomi dan ekspresi budaya dominan ini telah menyebabkan kelompok tertentu merasa diperas dan dipinggirkan. Secara reaktif mereka menggunkan faktor-faktor etnis dan agama sebagai atribut perlawanan. Dalam kaitan ini, faktor etnis dan agama merupakan faktor kemasan, sehingga potensi konflik yang dimiliki semakin tajam dan besar.
Jika kemudian kita telah memahami, bahwa jaran setiap agama mendambakan kedamaian, kesejahteraan dan rahmat bagi alam semesta. Kemudian memahami, bahwa sesungguhnya konflik agama, dilatari oleh beberapa sebab; sosial, ekonomi, politik, budaya, maka seharusnya sudah ada upaya yang berhasil guna dan berdaya guna, paling tidak sebuah model siap pakai yang benar-benar aplikatif samapi dijajaran akar rumput (grass roots) untuk mengatasi masalah tersebut.
Pemahaman tentang sumber konflik agama tersebut perlu disosialisasikan samapai ke pelosok-pelosok daerah agar umat beragama, khususnya dari tataran akar rumput tadi, mengetahui bahwa sumber terjadinya konflik antara umat beragama sumbernya bukan berasal dari doktrin normatif suatu agama, melainkan dari sikap keberagamaan yang kurang dewasa, sehingga mereka tidak sanggup merespon kondisi zaman yang multikultural. Tidak satupun agama yang membenarkan terjadinya kekerasan antar sesama umat beragama. Semua agama mengajarkan manusia untuk bersedia menolong sesama sebagai salah satu tugas umat beragama.
Masalahnya, bahwa kerukunan hidup antar umat beragama masih berupa wacana atau bahkan retorika pejabat birokrasi dan tokoh-tokoh agama, sehingga umat beragama masih jauh dari hubungan-hubungan kemanusian yang didasari oleh rasa cinta kasih dan saling menghargai. Akibatnya, masih saja terdapat sekat-sekat pemisah antar umat beragama. Sumartono (2001) bahkan menyatakan, para pemimpin agama, pemikiran teologi dan perangkat-perangkat institusinya hanya menjadi aksesoris ritualistik dan upacara-upacara agama serta kepentingan politik.
Akibat dari ketidaksungguhan memecahkan masalah kerukunan antar umat beragama, muncullah kemudian sikap-sikap eksklusifisme, partikularistis, etnosentrisme, prejudis dan solidaritas berlebihan yang tidak rasional sebagai pemicu timbulnya konflik. Sikap ini kemudian diperparah oleh adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai diskriminatif dan rendahnya penegakan hukum.
Konflik bernuansa agama yang terjadi di Perumnas BTP tahun 1999 mengakibatkan hancurnya belasan rumah, pembakaran gereja dan sarana pendidikan Kristen Toraja, jelas penyebab awalnya sama sekali bukan karena doktrin agama. Di Perumnas BTP, umat beragama bebas menjalankan agamanya masing-masing, termasuk dalam merayakan hari-hari besar keagamaan. Tetapi penyebabnya karena masalah-masalah sosial, ekonomi dan budaya (different value) sebagaimana telah diungkapkan terdahulu.
Penyebab lain karena kebijakan pemerintah kota yang dinilai diskriminatif, ditandai dengan munculnya izin pembangunan gereja pada lahan yang sedianya diperuntukkan sebagai taman dan sarana olahraga. Itulah sebabnya, ketika pemuka-pemuka masyarakat Islam yang sebelumnya meminta kepada otoritas Perumnas untuk membangun mesjid ditolak, mereka dapat memakluminya.
Penegakan hukum pun tidak menajdi optimal. Biang kerusuhan yang muncul dari pesta minum minuman keras (tuak), perkelahian antar kelompok, tidak diberi hukuman setimpal. Bahkan mereka segera dilepaskan tanpa dikenai sanksi, sehingga menimbulkan tanda tanya bagi masyarakat luas.
E. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
1. Kesimpulan
Konflik kekerasan bernuansa agama di Perumnas BTP terjadi sebagai akibat ketimpangan dalam hubungan-hubungan antar manusia yang berbeda etnis, yaitu etnis Bugis-Makassar dengan etnis Toraja. Ketimpangan itu sendiri terjasi karena perbedaan nilai budaya (different value), karena ketidaksepahaman (incompatible objective) dan karena faktor lain termasuk faktor perbedaan agama yang menyebabkan terganggunya daya dukung sosial.
Masalahnya, bahwa setelah konflik diselesaikan melalui jalan mediasi dan arbitrasi yang memungkinkan konflik kekerasan dapat diredam, tidak ada lagi upaya-upaya sebagai tindak lanjut yang bertujuan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik baru.
2. Implikasi Kebijakan
a. Birokrasi lokal harus memiliki komitmen yang sungguh-sungguh dalam penyelesaian konflik kekerasan yang dialami oleh anak bangsa dengan mendirikan sebuah lembaga yang berugas untuk :
- Mempersiapkan sistem peringatan dini (early warning system), sehingga memungkinkan lebih mudah untuk mencegah terjadinya konflik.
- Membangun model pendidikan multikultural.
- Meningkatkan kinerja dan kepedulian instansi terkait, seperti Dinas Sosial, Dinas Pendidikan Nasional, Badan Kesatuan Bangsa, Kanwil Departemen Agama untuk secara bersama-sama dengan aparat keamanan mendorong transisi dan transparansi konflik ke arah kerjasama membangun perdamaian (peace building) dan pembangunan komunitas.
b. Mendirikan lembaga-lembaga informal, terdiri dari unsur-unsur birokrasi lokal, satgas parpol, petugas keamanan (Polri/TNI-ABRI) dengan melibatkan pemimpin-pemimpin akar rumput dari berbagai golongan masyarakat dan golongan agama untuk melakukan tindakan-tindakan preventif atau dalam upaya mengusahakan rekonsoliasi.
c. Meningkatkan kinerja forum komunikasi antar umat beragama dalam aksi nyata :
- Bakti sosial bersama secara berkala.
- Melaksanakan dakwah multikultural di daerah-daerah rawan konflik.
- Membangun dialog yang inovatif konstruktif berdimensi humanis.
d. Memberdayakan ekonomi kerakyatan dalam upaya membuka kesempatan kerja selua-luasnya bagi masyarakat.
e. Meningkatkan kinerja aparat keamanan dan melakukan upaya penegakan hukum (law emporcement) yang lebih optimal.
f. Melakukan revitalisasi nilai budaya lokal serta merenovasi pranata lokal yang memungkinkan terjadinya kerjasama yang setara dan adil antar suku bangsa dan kelompok agama yang berbeda.
Keanekaragaman etnis dan penganut agama pada sebuah bangsa menjadi dilematis karena; (1) keanekaragaman tersebut sesungguhnya memiliki kekuatan untuk mendukung terciptanya sebuah negara kesatuan yang kuat; (2) di sisi lain, juga memilki potensi konflik yang dapat memicu terjadinya disentegrasi bangsa. Sebagai negara bangsa, hampir sepanjang sejarahnya Indonesia diwarnai oleh konflik kekerasan, baik bernuansa etnis maupun agama. Gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS), pemberontakan Darul Islam di Jawa Barat dan Kalimantan Selatan. Sebagaimana dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), adalah contoh-contoh kekerasan politik yang melawan pemerintah yang berdimensi vertikal. Hal ini kemudian diperkeruh oleh konflik kekerasan sosial berdimensi horizontal, yang tampak pada kasus Ambon, Sumba, Sampit, Poso, Luwu. Demikian juga halnya dengan kasus Kupang, Mataram, dan Situbondo, mengindikasikan betapa kompleksnya konflik di Indonesia.
Dalam perspektif sejarah, isu kekerasan telah terjadi sejak lama di Sulawesi Selatan. Sebagaimana digambarkan oleh Poelinggomang (2003) bahwa pada masa kerajaan lokal, telah terjadi suatu keadaan dimana suatu kelompok dengan kelompok lainnya yang bertentangan saling memangsa.
Awal tahun 1950-an, di daerah ini juga muncul sebuah gerakan separatis DI/TII yang memiliki ideologi untuk mendirikan negara Islam di bawah kepemimpinan Kahar Muzakkar. Gerakan ini mempropagandakan konsep-konsep persamaan derajat manusia, keharusan bekerja keras dan berjuang melawan kebodohan. Dalam aspek keagamaan, hanya agama Islam-lah yang harus dianut. (Van Dijk, 1983).
Apakah terdapat signifikansi hubungan antara pengaruh konflik kekerasan masa lalu di Sulawesi Selatan dengan “basic personality type” orang Bugis-Makassar dalam menyikapi “ketidakadilan” dengan cara “amuk massa”, belum diketahui benar. Namun hal pasti, bahwa tingkat kepekaan orang-orang Bugis Makassar terhadap simbol-simbol etnisitas dan agama demikian tinggi. Hal ini menyebabkan solidaritas dalam bentuk siri’na pacce dalam menyikapi masalah simbol-simbol etnisitas dan agama (Islam) demikian tinggi.
Bahkan di Makassar, pernah beberapa kali terjadi konflik kekerasan dalam bentuk perusakan sarane pendidikan dan gereja yang dilakukan oleh pemuda-pemuda Islam yang pada umumnya adalah orang-orang Bugis Makassar. Demikian pula sweeping kartu penduduk bagi orang-orang Kristen di Tamalanrea Makassar tahun 2001, mengindikasikan masih rawannya kerukunan antar umat beragama. Kasus amuk Makassar yang terjadi pada tahun 1997, menjadikan orang-orang Cina sebagai sasaran kekerasan. Hal ini ditengarai terjadi sebagai akibat akumulasi kekecewaan orang-orang pribumi terhadap kepentingan ekonomi. Disparitas struktural dalam distribusi kemakmuran memang dapat menerangkan banyak hal berkenaan dengan terjadinya konflik sosial.
Dari serangkaian kejadian konflik kekerasan tersebut, sebenarnya menginformasikan banyak hal berkenaan dengan kerawanan sosial dan kerentanan dalam menciptakan kerukunan antar umat beragama. Kondisi seperti ini sudah barang tentu mengindikasikan bahwa kerukunan nasional tengah menurun drastis, sehingga sudah sangat mengkhawatirkan.
Kerukunan nasional, bukanlah suatu masyarakat yang bersih dari perbedaan-perbedaan sosial dan hasil dari gesekan-gesekan antar kelompok. Melainkan suatu bentuk kesadaran masing-masing pihak untuk menerima perbedaan, dan mampu mengembangkan berbagai potensi dinamik yang memberikan peluang dan harapan bagi kemajuan bersama dan sekaligus kemajuan bangsa di masa depan.
B. KESERASIAN SOSIAL: Perspektif Teori
Ada dua hal penting yang dihadap[i oleh kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupannya, yaitu (1) wujud konstelasi dan aspirasi kehidupan yang diharapkan (the constellation and aspiration of ideal life); (2) dinamika sosial ekonomi yang diperlukan dalam mengelola kehidupan itu sendiri. wujud konstelasi dan aspirasi yang diharapkan berbeda antara kelompok masyarakat satu dengan kelompok masyarakat lainnya, sebagai akibat perbedaan budaya, baik dalam bentuk antar budaya, maupun intra budaya. Namun demikian, Lerner (dalam Scharamm dan Lerner, 1976) menekankan perlunya menemukan keraturan-keteraturan dalam kondisi manusia dalam bentuk karakteristik-karakteristik yang menyatukan umat manusia dimana saja, meskipun terdapat keragaman yang membedakan mereka. Dengan mengakui persamaan, akan lebioh mempermudah memahami umat manusia yang tersebar luas di seluruh dunia.
Salah satu wujud konstelasi dan aspirasi kehidupan yang pada umumnya diharapkan umat manusia adalah wujud kehidupan dalam bentuk “keserasian sosial”. Keserasian sosial (social harmony) merupakan suatu konsep ideal tentang bagaimana suatu masyarakat berhubungan atau berintegrasi dalam sebuah tatanan yang didasari oleh tingkat solidaritas yang tinggi diantara warga dan kelompok-kelompok sosial sehingga tercipta suatu tatanan kehidupan yang selaras dan seimbang (social equalibrum).
Pada kenyataannya, tidak pernah terjadi suatu kehidupan yang berhasil mempertahankan keserasian sosial pada setiap waktu sebagai akibat timbulnya perbedaan yang bersifat internal maupun eksternal. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor yang dapat mengganggu ketidakseimbangan sosial atau keserasian sosial tersebut. Ini berarti konflik dapat terjadi antar individu, yang pada gilirannya melibatkan kelompok-kelompok sosial. Karena itu, konflik dan keserasian sosial tidak perlu dilihat secara terpisah, sebab keduanya merupakan sisi yang berbeda dari mata uang yang sama. Keduanya menyangkut status hubungan dan cara mengelola perbedaan, antar orang atau antar kelompok dalam masyarakat.
Jika dicermati, keserasian sosial sangat terkait dengan, (1) kelangsungan hidup suatu kelompok masyarakat, dan (2) terkait dengan tingkat kualitas hidup yang dapat dinikmati oleh suatu kelompok masyarakat. Dari perspektif tersebut, konsep keserasian sosial tidak mungkin dipahami tanpa memahami konsep konflik. Hal ini wajar-wajar saja karena manusia atau kelompok masyarakat yang mempertahankan hidupnya, mereka tidak terbebas dari intrik-intrik sebagai akibat perbedaan psiko-sosio budaya.
Lagipula, kemampuan manusia sebagai individu maupun sebagai kelompok untuk hidup bersama memang terbatas, akan tetapi tidak mudah untuk menentukan pada titik mana atau dimana batas tersebut. Kesulitan tersebut dapat terjadi karena kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya biasanya berfluktuasi. Hal penting lainnya yang harus diperhatikan dalam beradaptasi adalah pengaruh lingkungan sosial. Dalam arti bahwa interaksi sosial sangat mempengaruhi kemampuan manusia dan kelompok sosial untuk hidup bersama. Sebagaimana dikemukakan oleh Evans (1982), bahwa disamping faktor dalam diri manusia itu sendiri ada faktor luar yang mempengaruhi kemampuan manusia untuk hidup bersama-sama dengan orang lain atau kelompok lain secara baik. Konflik kemudian juga terjadi manakala terdapat prasangka etnis yang tidak kondusif bagi kehidupan bersama antara dua kelompok masyarakat.
C. PETA KERAWANAN SOSIAL : Bumi Tamalanrea Permai (BTP) Makassar
Penghuni Perumnas BTP yang demikian banyak dengan latar belakang daerah asal, etnis dan agama yang berbeda, merefleksikan tingkat heterogenitas yang tinggi warga Perumnas BTP. Dari persepektif teori konflik, sumber-sumber konflik justru dapat muncul dari perbedaan tersebut, khususnya pada perbedaan nilai budaya, ideologi, termasuk perbedaan agama.
Dibawah ini akan diidentifikasi jenis pertikaian (disputes) dan konflik sosial yang pernah terjadi di kawasan Perumnas BTP beberapa tahun lalu, tetapi bukan tidak mungkin akan terjadi lagi, jika konflik tersebut tidak dikelola secara baik.
1. Pertikaian Antar Pribadi
Penyebab pertikaian ini biasanya tidak jelas atau masalah sepele. Misalnya kehadiran seseorang pada suatu blok tertentu yang dirasa mengganggu atau kurang mengenakkan penghuni blok tersebut dan hal-hal lain yang mengganggu privacy termasuk masalah muda-mudi. Blok-blok hunian tersebut diklaim oleh kelompok tertentu sebagai wilayah kekuasaan mereka, sehingga berhak mengawasi wilayah tersebut. Dalam hal ini, konflik-konflik teritorialitas dapat terjadu karena manusia cenderung bertingkah laku tertentu dalam mewujudkan kepemilikan atas suatu teritori (Wirawan, 1992; Yusmar Yusuf, 1991).
Kepadatan warga penghuni blok-blok dalam kompleks Perumnas BTP, khususnya pada rumah tipe kecil dengan kelompok warga yang tingga di blok yang sama, juga dapat menjadi masalah tersendiri. Menurut Evans (1982), semakin banyak manusia dalam wilayah tertentu, semakin banyak masalah yang muncul, dan efek negatifnya pun makin bertambah. Banyak stimulan yang mempengaruhi kognisi dan ini mempengaruhi proses-proses yang terjadi di dalam pikiran orang untuk bersengketa. Apalagi dalam kehidupan sosial yang semakin kompetitif,keserasian sosial semakin sulit terbentuk.
2. Konflik Kekerasan Bernuansa Daerah Asal
Jika sebuah konflik antar pribadi yang belum diselesaikan tuntas, tidak menutup kemungkinan salah satu pihak menyimpan bara dendam sehingga memberi peluang terjadinya konflik kekerasan yang lebih besar.
Dalam konflik ini identitas diri (self identity), dan daerah asal terkait, sehingga dapat melibatkan masing-masing massa secara besar-besaran. Perkelahian, bukan lagi hanya mengandalkan tangan kosong, tetapi telah menggunakan peralatan perang, seperti parang panjang, tombak, panah, dan senjata rakitan.
3. Konflik Kekerasan Bernuansa Agama
Selama beberapa waktu sejak Perumnas BTP terbangun, hegemoni pemuda-pemudi Toraja di kompleks perumahan tersebut demikian terasa. Hal ini disebabkan, populasi orang Toraja penghuni BTP saat itu relatif besar. Namun demikian yang paling meresahkan adalah solidaritas antar warga Toraja demikian tinggi, sehingga jika salah seorang warga mengalami masalah, apalagi yang menjadi lawan adalah non Toraja, maka dapat dipastikan rumah lawan mereka itu akan menjadi sasaran penyerbuan.
Di kalangan anak-anak muda Bugis-Makassar yang menghuni Perumnas BTP, bukannya tidak ada yang mau melakukan perlawanan. Tetapi agaknya, mereka tidak mampu membangun solidaritas, sehingga kekuatan mereka terpecah dalam bentuk solidaritas daerah asal. Namun demikian, fenomena ini kemudian berubah.
Bermula, ketika ada kegiatan pembangunan pada malam hari di sebuah hamparan lahan kosong yang sebenarnya diperuntukkan untuk sarana taman dan sarana olahraga bagi warga Perumnas BTP. Lahan kosong tersebut pernah diusulkan oleh tokoh masyarakat Islam untuk memdirikan masjid, tetapi ditolak oleh pihak manajemen Perumnas. Belakangan lahan ini ternyata diperuntukkan untuk pembanguan Gereja Toraja. Hal ini ternyata menimbulkan keresahan warga muslim setempat. Bahkan isu ini demikian cepat menyulut emosi keagamaan yang kemudian menjadi pemicu terbangunnya solidaritas sosial yang demikian kuat diantara penganut agama Islam yang umumnya berasal dari etnis Bugis-Makassar.
Simbol-simbol kedaerahan dan etnisitas lebur dalam identitas agama. Dan solidaritas Islam ini semakin diperkokoh oleh dukungan para anggota Jamaah Tabligh yang kebetulan beberapa tahun belakangan mengembangkan syiar paham keIslaman mereka di Perumnas BTP. Peralatan perang, seperti parang panjang, tombak, busur panah, senjata rakitan dan bom rakitan dihimpun, untuk melakukan penyerangan dan perusakan pada simbol-simbol agama Kristen. Bangunan gereja yang baru saja dimulai dibongkar paksa, kemudian penyerangan dilakukan ke kubu anak-anak muda Toraja yang diketahui menjadi biang keonaran.
Solidaritas Islam dengan cepat pula ditanggapi oleh mahasiswa-mahasiswa Islam yang berdomisili di pondokan-pondokan sekitar Universitas Hasanuddin dan ini memperparah situasi. Sebuah gereja dengan sarana pendidikan serta sebuah wisma yang berada di pertigaan jalan masuk Unhas menjadi sasaran. Gereja, sekolah dan wisma tersebut dibakar. Demikian pula gereja Ballalompoa dipertigaan jalan masuk Perumnas BTP juga menjadi sasaran pembakaran, tetapi cepat dipadamkan oleh aparat keamanan yang sudah melakukan pengamanan ditempat itu.
D. DIMENSI KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA
Kasus Perumnas BTP tahun 1999 menyentak kesadaran kita betapa isu agama dapat demikian sensitif, sehingga demikian cepat membakar semangat perlawanan masyarakat Islam yang berdomisili di Perumnas tersebut. Padahal sebelumnya, mereka terpecah dalam kelompok-kelompok sosial daerah asal, sehingga tidak cukup kuat membangun solidaritas sosial.
Orang Bugis-Makassar yang berdomisili di Perumnas BTP, sebagian besar termasuk golongan Islam yang mereka sebut sebagai “Ahlussunnah Wal Jamaah” atau biasa juga diidentifikasi sebagai golongan Islam tradisional. Pandangan golongan Ahlussunnah Wal Jamaah terhadap golongan Islam lainnya, bahkan terhadap golongan non Islam, tidaklah ekstrim. Mereka cenderung mengakomodasi pandangan-pandangan golongan Islam lainnya tanpa kecenderungan untuk mempersalahkannya. Bahkan dalam menyikapi masyarakat Islam yang masih menjalankan tradisi leluhur mereka, yang biasa dilakukan oleh orang-orang kampung, mereka menyikapinya tampak lebih bijaksana.
Agak berbeda dengan Muhammadiyah yang terlihat dinamis dan progresif dalam menegakkan agama Islam. Dulu, perjuangan menegakkan agama Islam dilakukan demikian demonstratif; dengan melarang semua bentuk tradisi yang dapat membuat orang menjadi musyrik. Saat ini dalam perjuangan dalam menegakkan agama Islam lebih banyak dilakukan melalui jalan da’wah Islamiah; pendidikan dan pengajian-pengajian kelompok. Di Perumnas BTP, golongan Muhammadiyah, bahkan terkesan moderat sebagaimana golongan Islam lainnya, sehingga antara golongan Muhammadiyah yang dikenal sebagai Islam modern, tidak pernah terlibat pertentangan (disputes) apalagi dengan konflik golongan Islam lainnya yang dikenal tradisional. Dalam sebuah masjid,mereka menjalankan ibadah bersama, sehingga perbedaan hilafiah tidak menjadi persoalan. Pada bulan Ramadhan misalnya, golongan Muhammadiyah yang tarwih bersama menyelesaikan shalatnya akan berhenti, ketika rakaat ke delapan usai, sementara golongan Islam yang mengidentifikasi sebagai Ahlussunnah Wal Jamaah, yang umumnya orang-orang NU melanjutkan tarwih mereka. Kelompok Islam yang baru beberapa tahun belakangan ini muncul adalah “Jamaah Tabligh”. Jamaah Tabligh juga merupakan jamaah Islamiah yang memiliki kecenderungan untuk berdakwah atau menyampaikan pesan-pesan (tabligh) kepada setiap orang yang dapat dijangkau. Karena itu, kadang-kadang dalam kelompo kecil, mereka bertabligh kerumah-rumah penduduk, mengajak mereka untuk shalat berjamaah di masjid. Ketika terjadi konflik kekerasan bernuansa agama antara warga yang beragama Islam dengan orang-orang Kristen Toraja di Perumnas BTP, anggota Jamaah Tabligh ini dengan semangat jihadnya tampil di depan.
Konflik bernuansa agama yang menyulut emosi keagamaan dan kemudian mengobarkan semangat solidaritas Islam, sebenarnya bukan murni konflik agama. Dari hasil wawancara terungkap bahwa:
a. Konflik bernuansa agama, lebih bermuatan balas dendam akibat sepak terjang oknum-oknum anak muda Toraja yang dinilai sangat mengganggu masyarakat akibat mabuk-mabukan yang terkadang disertai ancaman dan tindakan destruktif.
b. Penilaian sebagian orang Islam terhadap kegiatan orang Kristen yang cenderung eksklusif, sehingga ditafsirkan bahwa orang-orang Kristen melakukan ekspansi secara terselubung dalam komunitas Islam.
c. Ketidakmampuan pemimpin formal (pemerintah lokal) termasuk aparat keamanan melakukan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya konflik.
d. Kebijakan pemerintah kota yang dinilai diskriminatif dan tidak mempertimbangkan damapak sosial, berkenaan dengan izin pembangunan sarana ibadah.
e. Konflik sosial dapat ditafsirkan sebagai gangguan daya tampung sosial yang menimbulkan perilaku maladaptive dari kelompok tertentu.
Dari perspektif Islam, “keberadaan bermacam-macam agama dan tempat ibadah merupakan kehendak Tuhan untuk menciptakan keseimbangan hidup manusia di bumi”. Keseimbangan itu harus tercipta agar masyarakat menjadi dinamis dan dapat berkembang. Oleh karena itu, upaya penghancuran suatu komunitas simbol-simbol agama merupakan hal yang sangat dilarang dalam agama Islam. Pluralisme keagamaam adal;ah salah satu improvisasi yang menonjol dari pemikiran pembaruan Nurcholish Madjid (1988). Gagasan ini terutama berintikan pengakuan terhadap eksistensi agama-agama lain dan perlunya meningkatkan saling pengertian dan menjalin hubungan-hubungan yang toleran diantara pemeluk agama-agama.
Dari perspektif Gereja Katolik dikatakan, “dialog dengan saudara-saudara dari agama-agama lain merupakan bagian integral penghayatan Injil sendiri”. Injil sendiri mengajak orang Kristiani untuk berdialog, untuk belajar dari pengalaman umat beragama lain, untuk menghormati dan mencintai mereka, serta untuk bersama dengan mereka membangun kehidupan masyarakat baik, adil, damai dan sejahtera (Franz Magnis Suseno, 2001).
Kedua pernyataan tokoh agama di Indonesia tersebut, menegaskan posisi agama terhadap masalah kerukunan hidup antar umat beragama, bahwa agama sesungguhnya membawa misi untuk menciptakan kehidupan yang damai sejahtera di bumi. Dalam versi Islam disebutkan sebagai rahmatan lil’alamin atau rahmat bagi alam semesta. Karena itu, Komaruddin Hidayat (2000), menyatakan setiap terjadinya konflik antar umat beragma, kita mengalami kesulitan untuk menemukan akar tunggang yang merupakan akar pokok penyebabnya. Bahkan penyebab utamanya seringkali berakar, bukan pada aspek doktrin yang merupakan inti agama, melainkan pada akar serabut non teologis, terutama pada persaingan politik, ekonomi dari para elit pemimpinnya.
Dalam pandangan yang sama, Usman Pelly (1999) menandaskan kesenjangan sosial ekonomi dan ekspresi budaya dominan ini telah menyebabkan kelompok tertentu merasa diperas dan dipinggirkan. Secara reaktif mereka menggunkan faktor-faktor etnis dan agama sebagai atribut perlawanan. Dalam kaitan ini, faktor etnis dan agama merupakan faktor kemasan, sehingga potensi konflik yang dimiliki semakin tajam dan besar.
Jika kemudian kita telah memahami, bahwa jaran setiap agama mendambakan kedamaian, kesejahteraan dan rahmat bagi alam semesta. Kemudian memahami, bahwa sesungguhnya konflik agama, dilatari oleh beberapa sebab; sosial, ekonomi, politik, budaya, maka seharusnya sudah ada upaya yang berhasil guna dan berdaya guna, paling tidak sebuah model siap pakai yang benar-benar aplikatif samapi dijajaran akar rumput (grass roots) untuk mengatasi masalah tersebut.
Pemahaman tentang sumber konflik agama tersebut perlu disosialisasikan samapai ke pelosok-pelosok daerah agar umat beragama, khususnya dari tataran akar rumput tadi, mengetahui bahwa sumber terjadinya konflik antara umat beragama sumbernya bukan berasal dari doktrin normatif suatu agama, melainkan dari sikap keberagamaan yang kurang dewasa, sehingga mereka tidak sanggup merespon kondisi zaman yang multikultural. Tidak satupun agama yang membenarkan terjadinya kekerasan antar sesama umat beragama. Semua agama mengajarkan manusia untuk bersedia menolong sesama sebagai salah satu tugas umat beragama.
Masalahnya, bahwa kerukunan hidup antar umat beragama masih berupa wacana atau bahkan retorika pejabat birokrasi dan tokoh-tokoh agama, sehingga umat beragama masih jauh dari hubungan-hubungan kemanusian yang didasari oleh rasa cinta kasih dan saling menghargai. Akibatnya, masih saja terdapat sekat-sekat pemisah antar umat beragama. Sumartono (2001) bahkan menyatakan, para pemimpin agama, pemikiran teologi dan perangkat-perangkat institusinya hanya menjadi aksesoris ritualistik dan upacara-upacara agama serta kepentingan politik.
Akibat dari ketidaksungguhan memecahkan masalah kerukunan antar umat beragama, muncullah kemudian sikap-sikap eksklusifisme, partikularistis, etnosentrisme, prejudis dan solidaritas berlebihan yang tidak rasional sebagai pemicu timbulnya konflik. Sikap ini kemudian diperparah oleh adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai diskriminatif dan rendahnya penegakan hukum.
Konflik bernuansa agama yang terjadi di Perumnas BTP tahun 1999 mengakibatkan hancurnya belasan rumah, pembakaran gereja dan sarana pendidikan Kristen Toraja, jelas penyebab awalnya sama sekali bukan karena doktrin agama. Di Perumnas BTP, umat beragama bebas menjalankan agamanya masing-masing, termasuk dalam merayakan hari-hari besar keagamaan. Tetapi penyebabnya karena masalah-masalah sosial, ekonomi dan budaya (different value) sebagaimana telah diungkapkan terdahulu.
Penyebab lain karena kebijakan pemerintah kota yang dinilai diskriminatif, ditandai dengan munculnya izin pembangunan gereja pada lahan yang sedianya diperuntukkan sebagai taman dan sarana olahraga. Itulah sebabnya, ketika pemuka-pemuka masyarakat Islam yang sebelumnya meminta kepada otoritas Perumnas untuk membangun mesjid ditolak, mereka dapat memakluminya.
Penegakan hukum pun tidak menajdi optimal. Biang kerusuhan yang muncul dari pesta minum minuman keras (tuak), perkelahian antar kelompok, tidak diberi hukuman setimpal. Bahkan mereka segera dilepaskan tanpa dikenai sanksi, sehingga menimbulkan tanda tanya bagi masyarakat luas.
E. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
1. Kesimpulan
Konflik kekerasan bernuansa agama di Perumnas BTP terjadi sebagai akibat ketimpangan dalam hubungan-hubungan antar manusia yang berbeda etnis, yaitu etnis Bugis-Makassar dengan etnis Toraja. Ketimpangan itu sendiri terjasi karena perbedaan nilai budaya (different value), karena ketidaksepahaman (incompatible objective) dan karena faktor lain termasuk faktor perbedaan agama yang menyebabkan terganggunya daya dukung sosial.
Masalahnya, bahwa setelah konflik diselesaikan melalui jalan mediasi dan arbitrasi yang memungkinkan konflik kekerasan dapat diredam, tidak ada lagi upaya-upaya sebagai tindak lanjut yang bertujuan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik baru.
2. Implikasi Kebijakan
a. Birokrasi lokal harus memiliki komitmen yang sungguh-sungguh dalam penyelesaian konflik kekerasan yang dialami oleh anak bangsa dengan mendirikan sebuah lembaga yang berugas untuk :
- Mempersiapkan sistem peringatan dini (early warning system), sehingga memungkinkan lebih mudah untuk mencegah terjadinya konflik.
- Membangun model pendidikan multikultural.
- Meningkatkan kinerja dan kepedulian instansi terkait, seperti Dinas Sosial, Dinas Pendidikan Nasional, Badan Kesatuan Bangsa, Kanwil Departemen Agama untuk secara bersama-sama dengan aparat keamanan mendorong transisi dan transparansi konflik ke arah kerjasama membangun perdamaian (peace building) dan pembangunan komunitas.
b. Mendirikan lembaga-lembaga informal, terdiri dari unsur-unsur birokrasi lokal, satgas parpol, petugas keamanan (Polri/TNI-ABRI) dengan melibatkan pemimpin-pemimpin akar rumput dari berbagai golongan masyarakat dan golongan agama untuk melakukan tindakan-tindakan preventif atau dalam upaya mengusahakan rekonsoliasi.
c. Meningkatkan kinerja forum komunikasi antar umat beragama dalam aksi nyata :
- Bakti sosial bersama secara berkala.
- Melaksanakan dakwah multikultural di daerah-daerah rawan konflik.
- Membangun dialog yang inovatif konstruktif berdimensi humanis.
d. Memberdayakan ekonomi kerakyatan dalam upaya membuka kesempatan kerja selua-luasnya bagi masyarakat.
e. Meningkatkan kinerja aparat keamanan dan melakukan upaya penegakan hukum (law emporcement) yang lebih optimal.
f. Melakukan revitalisasi nilai budaya lokal serta merenovasi pranata lokal yang memungkinkan terjadinya kerjasama yang setara dan adil antar suku bangsa dan kelompok agama yang berbeda.
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
Administrasi pemerintah sangat dibutuhkan dalam penyelenggaraan bernegara mengingat bahwa peranan pemerintah sangat besar dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Kegiatan pemerintah tersebut mencakup berbagai aspek kehidupan dan penghidupan warga negara dan masyarakatnya. Tugas pemerintahan yang paling dominan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat adalah menyediakan barang-barang publik (public utility) dan memberikan pelayanan (public service) misalnya dalam bidang-bidang pendidikan, kesejahteraan sosial, kesehatan, perhubungan (transportasi), perlindungan tenaga kerja, pertanian, keamanan/ketertiban dan sebagainya.
Untuk memberikan pelayanan masyarakat, pemerintah menyelenggarakan kegiatannya meliputi kegiatan operasional seperti pemungutan pajak, ketertiban dan keamanan, pemeliharaan sarana dan prasarana pelayanan umum, perijinan, pengawasan dan lain-lain tugas pemerintahan umum. Tugas-tugas ini diselenggarakan secara terus menerus (bersifat rutin) dengan penekanan pada kelancaran penyelenggaraan bernegara secara tertib, efektif dan efisien.
Penyelenggaraan berbagai kegiatan tersebut di atas pada dasarnya termasuk dalam kegiatan administrasi pemerintahan yang diselenggarakan oleh negara sebagai perwujudan aspirasi dan kehendak rakyatnya. Tugas-tugas pemberian pelayanan yang bersifat rutin tersebut dengan sasaran tercapainya tujuan pemerintahan secara efisien, efektif dan tertib pada prinsipnya termasuk dalam tugas-tugas administrasi negara dalam arti sempit diselenggarakan oleh badan-badan eksekutif/pemerintah.
Dalam konteks tersebut secara praktis, tugas-tugas admnistrasi pemerintahan merupakan sebagian saja dari administrasi negara, karena lebih banyak bersifat pelaksanaan (execution/implementation) atas kebijaksanaan yang telah ditetapkan/digariskan oleh wakil-wakil rakyat di badan-badan perwakilan rakyat melalui proses politik.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukanan oleh John M. Pfiffner dan Robert V Presthus yang menyatakan bahwa “Public administration involves the implementation of public policy which has been determined by representative political bodies”. Sedangkan E.H. Lithfield yang meninjau dari segi keilmuan mengemukakan pendapatnya bahwa “administrasi negara adalah suatu studi mengenai bagaimana bermacam-macam badan pemerintahan diorganisir, diperlengkapi tenaga-tenaganya, dibiayai, digerakkan dan dipimpin”. Hal ini berarti memerlukan kemampuan untuk melaksanakan pengelolaan dan pengorganisasian sumber daya yang dimiliki pemerintah (negara).
Konsep tersebut sejalan dengan pendapan Dwight Waldo yang mengemukakan bahwa “administrasi negara adalah manajemen dan organisasi dari manusia-manusia dan peralatannya guna mencapai tujuan-tujuan pemerintah”.
Dari pendapat para ahli tersebut di atas jelas terlihat bahwa pencapaian tujuan pemerintahan memerlukan adanya “administration” yang diselenggarakan oleh “pemerintah”. Hal ini disebut “administrasi pemerintah”, yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan negara sebagai keseluruhan.
Oleh sebab itu “administrasi pemerintah” sering disebut juga “administrasi pemerintahan negara” karena diselenggarakan oleh pemerintah demi tercapainya tujuan-tujuan negara secara efisien dan efektif. Dalam cakupan rumusan ini, maka “administrasi pemerintahan merupakan bagian dari administrasi negara”, dimana badan-badan eksekutif (pemerintah) lebih banyak memainkan peranannya sebagai pelaksana tugas-tugas negara.
Dalam perkembangan selanjutnya administrasi negara bukan sekedar melaksanakan kebijaksanaan negara (public policy) melainkan juga terlibat dalam proses perumusan kebijaksanaan negara dan penentuan tujuan serta cara-cara pencapaian tujuan negara tersebut. Dalam konteks ini maka administrasi negara tidak hanya berkaitan dengan badan-badan eksekutif melainkan meliputi seluruh lembaga-lembaga negara dan hubungan antar lembaga negara tersebut satu sama lainnya. Dengan demikian rumusan kebijaksanaan negara (public policy) yang semula merupakan fungsi politik telah menjadi fungsi administrasi negara.
Hal tersebut menunjukkan bahwa administrasi negara memiliki peranan yang lebih besar, karena banyak terlibat dalam perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijaksanaan negara (public policy).
Peranan tersebut telah memperluas ruang lingkup administrasi negara yang mulai mencakup analisis dan perumusan kebijaksanaan negara (public policy analysis and formulation), pelaksanaan/implementasi kebijaksanaan negara (public policy implementation) dan evaluasi kebijaksanaan begara (public policy evaluation). Kebijaksanaan negara (public policy) ini adalah kebijaksanaan yang bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat yang cenderung terus meningkat baik baik jumlah maupun macamnya.
Administrasi negara sebagai ilmu mempunyai sifat universal artinya mempunyai unsur-unsur yang sama dan dimanapun serta kapanpun dapat diterapkan. Namun dalam kenyataannya, administrasi negara yang dikembangkan di Amerika Serikat dan negara-negara maju (developed countries) lainnya, dalam penerapannya di negara-negara lain masih mengalami hambatan terutama pada negara-negara yang sedang berkembang (developing countries).
Hal ini disebabkan adanya hubungan pengaruh antara administrasi negara dan lingkungan sekitarnya (ekologi). Oleh karena itu kemudian sekelompok ilmuan politik dan administrasi negara menyatakan bahwa mengadopsi suatu sistem administrasi negara dari suatu lingkungan masyarakata, bangsa dan negara yang lain adalah kurang tepat. Oleh para ahli tersebut kemudian dikembangkan studi perbandingan administrasi negara dan mereka menamakan disri sebagai kelompok studi komparatif (CAG-Comparative Administration Group).
Dalam studi perbandingan ini digunakan pendekatan ekologi (ecological approach), yang berusaha memahami latar belakang berbagai macam sistem administrasi negara yang ada di dunia. Sejauh itu mulai dikembangkan cabang baru dari ilmu administrasi negara yaitu ekologi administrasi negara yang mengkaji pengaruh lingkungan terhadap administrasi negara.
Aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain sebagai faktor ekologi mendapat perhatian dan dikaji pengaruhnya pada administrasi negara. Studi ini terutama memusatkan perhatian pada amasala-masalah ekologi administrasi negara di negara-negara berkembang.
Kelompok studi komparatif ini kemudian mengembangkan diri menjadi kelompok administrasi pembangunan (DAG-Development Administration Group), yang mengembangkan pemikiran-pemikiran dalam rangka pembentukan peralatan analisis administrasi untuk pembanguan berdasarkan pengalaman-pengalaman empiris negara-negara yang baru berkembang. Setudi ini merupakan cikal bakal berkembangnya apa yang sekarang dinamakan administrasi pembangunan.
Untuk memberikan pelayanan masyarakat, pemerintah menyelenggarakan kegiatannya meliputi kegiatan operasional seperti pemungutan pajak, ketertiban dan keamanan, pemeliharaan sarana dan prasarana pelayanan umum, perijinan, pengawasan dan lain-lain tugas pemerintahan umum. Tugas-tugas ini diselenggarakan secara terus menerus (bersifat rutin) dengan penekanan pada kelancaran penyelenggaraan bernegara secara tertib, efektif dan efisien.
Penyelenggaraan berbagai kegiatan tersebut di atas pada dasarnya termasuk dalam kegiatan administrasi pemerintahan yang diselenggarakan oleh negara sebagai perwujudan aspirasi dan kehendak rakyatnya. Tugas-tugas pemberian pelayanan yang bersifat rutin tersebut dengan sasaran tercapainya tujuan pemerintahan secara efisien, efektif dan tertib pada prinsipnya termasuk dalam tugas-tugas administrasi negara dalam arti sempit diselenggarakan oleh badan-badan eksekutif/pemerintah.
Dalam konteks tersebut secara praktis, tugas-tugas admnistrasi pemerintahan merupakan sebagian saja dari administrasi negara, karena lebih banyak bersifat pelaksanaan (execution/implementation) atas kebijaksanaan yang telah ditetapkan/digariskan oleh wakil-wakil rakyat di badan-badan perwakilan rakyat melalui proses politik.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukanan oleh John M. Pfiffner dan Robert V Presthus yang menyatakan bahwa “Public administration involves the implementation of public policy which has been determined by representative political bodies”. Sedangkan E.H. Lithfield yang meninjau dari segi keilmuan mengemukakan pendapatnya bahwa “administrasi negara adalah suatu studi mengenai bagaimana bermacam-macam badan pemerintahan diorganisir, diperlengkapi tenaga-tenaganya, dibiayai, digerakkan dan dipimpin”. Hal ini berarti memerlukan kemampuan untuk melaksanakan pengelolaan dan pengorganisasian sumber daya yang dimiliki pemerintah (negara).
Konsep tersebut sejalan dengan pendapan Dwight Waldo yang mengemukakan bahwa “administrasi negara adalah manajemen dan organisasi dari manusia-manusia dan peralatannya guna mencapai tujuan-tujuan pemerintah”.
Dari pendapat para ahli tersebut di atas jelas terlihat bahwa pencapaian tujuan pemerintahan memerlukan adanya “administration” yang diselenggarakan oleh “pemerintah”. Hal ini disebut “administrasi pemerintah”, yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan negara sebagai keseluruhan.
Oleh sebab itu “administrasi pemerintah” sering disebut juga “administrasi pemerintahan negara” karena diselenggarakan oleh pemerintah demi tercapainya tujuan-tujuan negara secara efisien dan efektif. Dalam cakupan rumusan ini, maka “administrasi pemerintahan merupakan bagian dari administrasi negara”, dimana badan-badan eksekutif (pemerintah) lebih banyak memainkan peranannya sebagai pelaksana tugas-tugas negara.
Dalam perkembangan selanjutnya administrasi negara bukan sekedar melaksanakan kebijaksanaan negara (public policy) melainkan juga terlibat dalam proses perumusan kebijaksanaan negara dan penentuan tujuan serta cara-cara pencapaian tujuan negara tersebut. Dalam konteks ini maka administrasi negara tidak hanya berkaitan dengan badan-badan eksekutif melainkan meliputi seluruh lembaga-lembaga negara dan hubungan antar lembaga negara tersebut satu sama lainnya. Dengan demikian rumusan kebijaksanaan negara (public policy) yang semula merupakan fungsi politik telah menjadi fungsi administrasi negara.
Hal tersebut menunjukkan bahwa administrasi negara memiliki peranan yang lebih besar, karena banyak terlibat dalam perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijaksanaan negara (public policy).
Peranan tersebut telah memperluas ruang lingkup administrasi negara yang mulai mencakup analisis dan perumusan kebijaksanaan negara (public policy analysis and formulation), pelaksanaan/implementasi kebijaksanaan negara (public policy implementation) dan evaluasi kebijaksanaan begara (public policy evaluation). Kebijaksanaan negara (public policy) ini adalah kebijaksanaan yang bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat yang cenderung terus meningkat baik baik jumlah maupun macamnya.
Administrasi negara sebagai ilmu mempunyai sifat universal artinya mempunyai unsur-unsur yang sama dan dimanapun serta kapanpun dapat diterapkan. Namun dalam kenyataannya, administrasi negara yang dikembangkan di Amerika Serikat dan negara-negara maju (developed countries) lainnya, dalam penerapannya di negara-negara lain masih mengalami hambatan terutama pada negara-negara yang sedang berkembang (developing countries).
Hal ini disebabkan adanya hubungan pengaruh antara administrasi negara dan lingkungan sekitarnya (ekologi). Oleh karena itu kemudian sekelompok ilmuan politik dan administrasi negara menyatakan bahwa mengadopsi suatu sistem administrasi negara dari suatu lingkungan masyarakata, bangsa dan negara yang lain adalah kurang tepat. Oleh para ahli tersebut kemudian dikembangkan studi perbandingan administrasi negara dan mereka menamakan disri sebagai kelompok studi komparatif (CAG-Comparative Administration Group).
Dalam studi perbandingan ini digunakan pendekatan ekologi (ecological approach), yang berusaha memahami latar belakang berbagai macam sistem administrasi negara yang ada di dunia. Sejauh itu mulai dikembangkan cabang baru dari ilmu administrasi negara yaitu ekologi administrasi negara yang mengkaji pengaruh lingkungan terhadap administrasi negara.
Aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain sebagai faktor ekologi mendapat perhatian dan dikaji pengaruhnya pada administrasi negara. Studi ini terutama memusatkan perhatian pada amasala-masalah ekologi administrasi negara di negara-negara berkembang.
Kelompok studi komparatif ini kemudian mengembangkan diri menjadi kelompok administrasi pembangunan (DAG-Development Administration Group), yang mengembangkan pemikiran-pemikiran dalam rangka pembentukan peralatan analisis administrasi untuk pembanguan berdasarkan pengalaman-pengalaman empiris negara-negara yang baru berkembang. Setudi ini merupakan cikal bakal berkembangnya apa yang sekarang dinamakan administrasi pembangunan.
ADMINISTRASI PEMBANGUNAN
Administrasi pembangunan pada dasarnya bersumber dari administrasi negara. Dengan demikian, kaidah umum administrasi negara berlaku pula pada administrasi pembangunan. Jadi, adanya sistem administrasi negara yang mampu menyelenggarakan pembangunan menjadi prasyarat bagi berhasilnya pembangunan. Di lain pihak, sistem pemerintahan di negara berkembang pada awal kemerdekaannya, umumnya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
Pertama, kelembagaannya mewarisi sistem administrasi kolonial yang sangat terbatas cakupannya, karena tujuan pemerintahan kolonial bukan memajukan bangsa jajahan, tetapi mengeksploitasinya. Kedua, sumber daya manusianya terbatas dalam kualitas. Jabatan banyak diisi oleh orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk jabatan itu. Ketiga, kegiatan sistem pemerintahan terutama untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat umum atau rutin yang tidak berorientasi pada pembangunan.
Pada dasarnya, administrasi pembangunan adalah bidang studi yang mempelajari sistem administrasi negara di negara yang sedang membangun serta upaya untuk meningkatkan kemampuannya. Ini berarti dalam studi dan praktek administrasi pembangunan diperlukan adanya perhatian dan komitmen terhadap nilai-nilai yang mendasari dan perlu diwujudkan menjadi dasar etika birokrasi.
Dengan demikian ada dua sisi dalam batasan pengertian administrasi pembangunan tersebut. Pada sisi pertama tercakup upaya untuk mengenali peranan administrasi negara dan pembangunan, atau dengan kata lain administrasi dari proses pembangunan yang membedakannya dengan administrasi negara dalam pengertian umum. Pada sisi kedua tercakup kehendak untuk mempelajari dengan cara bagaimana membangun administrasi negara sehingga dapat menyelenggarakan tugas atau fungsinya secara baik.
1. Dimensi Spasial dalam Administrasi Pembangunan
Pertimbangan dimensi ruang dan daerah dalam administrasi pembangunan memiliki berbagai cara pandang atau pendekatan (Heaphy, 1971). Pertama, menyebutkan bahwa dimensi ruang dan daerah dalam perencanaan pembangunan adalah perencanaan pembangunan bagi suatu kota, daerah, ataupun wilayah. Pendekatan ini memandang kota, daerah, ataupun wilayah sebagai suatu wujud bebas yang pengembangannya tidak terikat dengan kota, daerah, ataupun wilayah yang lain sehingga penekanan perencanaannya mengikuti pola yang lepas dan mandiri. Kedua, bahwa pembangunan didaerah merupakan bagian dari pembangunan nasional. Perencanaan pembangunan daerah dalam pendekatan ini merupakan pola perencanaan pada suatu jurisdiksi ruang atau wilayah tertentu yang dapat digunakan sebagai bagian pola pembangunan nasional. Ketiga, cara pandang yang melihat bahwa perencanaan pembangunan daerah adalah instrument bagi penentuan alokasi sumber daya pembangunan dan lokasi kegiatan di daerah yang telah direncanakan secara terpusat yang berguna untuk mencegah terjadinya kesenjangan ekonomi antar daerah.
Kebijakan yang menyangkut dimensi ruang dalam administrasi pembangunan dipengaruhi oleh banyak faktor, disamping sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi. Untuk itu, administrasi pembangunan dalam kaitannya dengan dimensi ruang dan daerah, harus dapat mencari jawaban tentang bagaimana pembangunan dapat tetap menajaga persatuan dan kesatuan, tetapi dengan memberikan kewenangan dan tanggung jawab yang cukup pada daerah dan masyarakatnya. Ada beberapa aspek dari dimensi ruang dan daerah yang berkaitan dengan administrasi pembangunan daerah.
Pertama, regionalisasi atau perwilayahan. Artinya sebagai bagian dari upaya mengatasi aspek ruang dalam pembangunan, memberikan keuntungan dalam mempertajam fokus dalam lingkup ruang yang jauh lebih kecil dalam suatu negara.
Kedua, yaitu ruang, akan tercermin dalam penataan ruang. Hal ini pada intinya merupakan lingkungan fisik yang mempunyai hubungan organisators/fungsional antara berbagai macam obyek dan manusia yang terpisah dalam ruang-ruang.
Ketiga, otonomi daerah. Masyarakat pada suatu negara tidak hanya tinggal dan berada dalam pusat pemerintahan, tetapi juga ditempat-tempat yang jauh dan terpencil dari pusat pemerintahan. Jika kewenangan dan penguasaan pusat atas sumber daya menjadi terlalu besar maka akan timbul konflik atas penguasaan sumber daya tersebut. Untuk menjaga agar konflik tersebut tidak terjadi dan untuk meletakkan kewenangan pada masyarakat dalam menentukan nasib sendiri sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat maka diterapkan prinsip otonomi. Melalui otonomi diharapkan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah menjadi lebih efektif.
Keempat, yaitu partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Salah satu karakteristik atau ciri sistem administrasi modern adalah bahwa pengambilan keputusan dilakukan sedapat-dapatnya pada tingkat yang paling bawah. Dalam hal ini masyarakat bersama-sama aparatur pemerintah menjadi stake holder dalam perumusan, implementasi dan evaluasi dari setiap upaya pembangunan.
Kelima, sebagai implikasi dari dimensi administrasi dalam pembangunan daerah yang dikaitkan dengan kemajemukan adalah dimungkinkannya keragaman dalam kebijaksanaan. Dari segi perencanaan pembangunan harus dipahami bahwa satu daerah berbeda dengan daerah lainnya. Untuk itu, kebijaksanaan nasional harus memahami karakteristik daerah dalam mempertimbangkan potensi pembangunan didaerah terutama dalam kebijaksanaan investasi sarana dan prasarana guna merangsang berkembangnya kegiatan ekonomi daerah.
2. Kebijaksanaan Publik dalam Administrasi Pembangunan
Kebijaksanaan (policy) berkembang sebagai bidang studi julti disiplin, sehingga sering disebut policy sciences. Sebagai suatu bidang studi, kebijaksanaan publik relatif masih baru, tetapi telah menarik banyak perhatian dan menjadi kajian adalm berbagai disiplin ilmu sosial.
Berbagai metode pendekatan dalam analisis kebijaksanaan publik telah dikembangkan. Ada pendekatan deskriptif vs preskriptif; pendekatan deterministic vs probabilistic dilihat dari derajat kepastiannya (Stokey dan Zeckhauser, 1978). Atau dengan pendekatan lain, ada yang bersifat empirik, evaluatif dan normatif (Dunn, 1981).
Untuk memahami dan menjelaskan kebijaksanaan publik, Dye menunjukkan adanya sembilan model, yaitu model institusional, proses, kelompok, elite, rasional, inkremental, teori permainan (game theory), pilihan publik (public choice) dan teori sistem. Sementara Henry membagi modelnya menjadi dua kelompok yakni sebagai proses dan sebagai keluaran. Sebagai proses ia menggolongkan enam model, yakni model elite, kelompok, sistem, institusional, dan anarki yang diatur. Dari segi keluaran (output), ia mengenalkan tiga model, yakni inkremental, rasional, dan perencanaan strategis. Pendekatan proses lebih bersifat deskriptif, sedangkan pendekatan output lebih bersifat preskriptif. Artinya bahwa dengan pendekatan yang baik maka hasil atau isi dari kebijaksanaan publik akan menjadi lebih baik pula.
Di negara berkembang kebijaksanaan pembangunan menjadi pokok subtansi kebijaksanaan publik. Setiap hari pemerintah di semua negara mengambil keputusan atas dasar kewenangannya mengatur alokasi sumber daya publik, mengarahkan kegiatan masyarakat, memberikan pelayanan publik, menjamin keamanan dan ketentraman, dan sebagainya. Kegiatan itu tidak ada bedanya di negara manapun, baik negara maju maupun negara berkembang. Namun, tetap ada perbedaan diantara keduanya. Pertama-tama disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi yang berbeda dan juga karena adanya kegiatan pembangunan dinegara berkembang, yang merupakan kegiatan diatas dari yang biasa dilakukan oleh pemerintah dinegara maju. Adanya sistem administrasi negara yang mampu menyelenggarakan pembangunan menjadi prasyarat bagi berhasilnya pembangunan. Berarti pula administrasi negara yang mampu menghasilkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang “baik” yang dapat menghindari kebijaksanaan yang “buruk” dan mendorong “kepentingan umum”, merupakan tantangan yang lebih besar bagi negara yang sedang membangun (Grindle dan Thomas 1991).
Pertama, kelembagaannya mewarisi sistem administrasi kolonial yang sangat terbatas cakupannya, karena tujuan pemerintahan kolonial bukan memajukan bangsa jajahan, tetapi mengeksploitasinya. Kedua, sumber daya manusianya terbatas dalam kualitas. Jabatan banyak diisi oleh orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk jabatan itu. Ketiga, kegiatan sistem pemerintahan terutama untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat umum atau rutin yang tidak berorientasi pada pembangunan.
Pada dasarnya, administrasi pembangunan adalah bidang studi yang mempelajari sistem administrasi negara di negara yang sedang membangun serta upaya untuk meningkatkan kemampuannya. Ini berarti dalam studi dan praktek administrasi pembangunan diperlukan adanya perhatian dan komitmen terhadap nilai-nilai yang mendasari dan perlu diwujudkan menjadi dasar etika birokrasi.
Dengan demikian ada dua sisi dalam batasan pengertian administrasi pembangunan tersebut. Pada sisi pertama tercakup upaya untuk mengenali peranan administrasi negara dan pembangunan, atau dengan kata lain administrasi dari proses pembangunan yang membedakannya dengan administrasi negara dalam pengertian umum. Pada sisi kedua tercakup kehendak untuk mempelajari dengan cara bagaimana membangun administrasi negara sehingga dapat menyelenggarakan tugas atau fungsinya secara baik.
1. Dimensi Spasial dalam Administrasi Pembangunan
Pertimbangan dimensi ruang dan daerah dalam administrasi pembangunan memiliki berbagai cara pandang atau pendekatan (Heaphy, 1971). Pertama, menyebutkan bahwa dimensi ruang dan daerah dalam perencanaan pembangunan adalah perencanaan pembangunan bagi suatu kota, daerah, ataupun wilayah. Pendekatan ini memandang kota, daerah, ataupun wilayah sebagai suatu wujud bebas yang pengembangannya tidak terikat dengan kota, daerah, ataupun wilayah yang lain sehingga penekanan perencanaannya mengikuti pola yang lepas dan mandiri. Kedua, bahwa pembangunan didaerah merupakan bagian dari pembangunan nasional. Perencanaan pembangunan daerah dalam pendekatan ini merupakan pola perencanaan pada suatu jurisdiksi ruang atau wilayah tertentu yang dapat digunakan sebagai bagian pola pembangunan nasional. Ketiga, cara pandang yang melihat bahwa perencanaan pembangunan daerah adalah instrument bagi penentuan alokasi sumber daya pembangunan dan lokasi kegiatan di daerah yang telah direncanakan secara terpusat yang berguna untuk mencegah terjadinya kesenjangan ekonomi antar daerah.
Kebijakan yang menyangkut dimensi ruang dalam administrasi pembangunan dipengaruhi oleh banyak faktor, disamping sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi. Untuk itu, administrasi pembangunan dalam kaitannya dengan dimensi ruang dan daerah, harus dapat mencari jawaban tentang bagaimana pembangunan dapat tetap menajaga persatuan dan kesatuan, tetapi dengan memberikan kewenangan dan tanggung jawab yang cukup pada daerah dan masyarakatnya. Ada beberapa aspek dari dimensi ruang dan daerah yang berkaitan dengan administrasi pembangunan daerah.
Pertama, regionalisasi atau perwilayahan. Artinya sebagai bagian dari upaya mengatasi aspek ruang dalam pembangunan, memberikan keuntungan dalam mempertajam fokus dalam lingkup ruang yang jauh lebih kecil dalam suatu negara.
Kedua, yaitu ruang, akan tercermin dalam penataan ruang. Hal ini pada intinya merupakan lingkungan fisik yang mempunyai hubungan organisators/fungsional antara berbagai macam obyek dan manusia yang terpisah dalam ruang-ruang.
Ketiga, otonomi daerah. Masyarakat pada suatu negara tidak hanya tinggal dan berada dalam pusat pemerintahan, tetapi juga ditempat-tempat yang jauh dan terpencil dari pusat pemerintahan. Jika kewenangan dan penguasaan pusat atas sumber daya menjadi terlalu besar maka akan timbul konflik atas penguasaan sumber daya tersebut. Untuk menjaga agar konflik tersebut tidak terjadi dan untuk meletakkan kewenangan pada masyarakat dalam menentukan nasib sendiri sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat maka diterapkan prinsip otonomi. Melalui otonomi diharapkan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah menjadi lebih efektif.
Keempat, yaitu partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Salah satu karakteristik atau ciri sistem administrasi modern adalah bahwa pengambilan keputusan dilakukan sedapat-dapatnya pada tingkat yang paling bawah. Dalam hal ini masyarakat bersama-sama aparatur pemerintah menjadi stake holder dalam perumusan, implementasi dan evaluasi dari setiap upaya pembangunan.
Kelima, sebagai implikasi dari dimensi administrasi dalam pembangunan daerah yang dikaitkan dengan kemajemukan adalah dimungkinkannya keragaman dalam kebijaksanaan. Dari segi perencanaan pembangunan harus dipahami bahwa satu daerah berbeda dengan daerah lainnya. Untuk itu, kebijaksanaan nasional harus memahami karakteristik daerah dalam mempertimbangkan potensi pembangunan didaerah terutama dalam kebijaksanaan investasi sarana dan prasarana guna merangsang berkembangnya kegiatan ekonomi daerah.
2. Kebijaksanaan Publik dalam Administrasi Pembangunan
Kebijaksanaan (policy) berkembang sebagai bidang studi julti disiplin, sehingga sering disebut policy sciences. Sebagai suatu bidang studi, kebijaksanaan publik relatif masih baru, tetapi telah menarik banyak perhatian dan menjadi kajian adalm berbagai disiplin ilmu sosial.
Berbagai metode pendekatan dalam analisis kebijaksanaan publik telah dikembangkan. Ada pendekatan deskriptif vs preskriptif; pendekatan deterministic vs probabilistic dilihat dari derajat kepastiannya (Stokey dan Zeckhauser, 1978). Atau dengan pendekatan lain, ada yang bersifat empirik, evaluatif dan normatif (Dunn, 1981).
Untuk memahami dan menjelaskan kebijaksanaan publik, Dye menunjukkan adanya sembilan model, yaitu model institusional, proses, kelompok, elite, rasional, inkremental, teori permainan (game theory), pilihan publik (public choice) dan teori sistem. Sementara Henry membagi modelnya menjadi dua kelompok yakni sebagai proses dan sebagai keluaran. Sebagai proses ia menggolongkan enam model, yakni model elite, kelompok, sistem, institusional, dan anarki yang diatur. Dari segi keluaran (output), ia mengenalkan tiga model, yakni inkremental, rasional, dan perencanaan strategis. Pendekatan proses lebih bersifat deskriptif, sedangkan pendekatan output lebih bersifat preskriptif. Artinya bahwa dengan pendekatan yang baik maka hasil atau isi dari kebijaksanaan publik akan menjadi lebih baik pula.
Di negara berkembang kebijaksanaan pembangunan menjadi pokok subtansi kebijaksanaan publik. Setiap hari pemerintah di semua negara mengambil keputusan atas dasar kewenangannya mengatur alokasi sumber daya publik, mengarahkan kegiatan masyarakat, memberikan pelayanan publik, menjamin keamanan dan ketentraman, dan sebagainya. Kegiatan itu tidak ada bedanya di negara manapun, baik negara maju maupun negara berkembang. Namun, tetap ada perbedaan diantara keduanya. Pertama-tama disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi yang berbeda dan juga karena adanya kegiatan pembangunan dinegara berkembang, yang merupakan kegiatan diatas dari yang biasa dilakukan oleh pemerintah dinegara maju. Adanya sistem administrasi negara yang mampu menyelenggarakan pembangunan menjadi prasyarat bagi berhasilnya pembangunan. Berarti pula administrasi negara yang mampu menghasilkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang “baik” yang dapat menghindari kebijaksanaan yang “buruk” dan mendorong “kepentingan umum”, merupakan tantangan yang lebih besar bagi negara yang sedang membangun (Grindle dan Thomas 1991).
Langganan:
Postingan (Atom)