Selasa, 08 September 2009

Aspek Budaya Dalam Kepemimpinan Aparatur Negara

Dilingkungan aparatur pemerintah sangat diharapkan dapat diciptakan dan dikembangkan sistem nilai berupa disiplin nasional agar menjadi kebiasaan hidup didalam dan diluar pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur pemerintah maupun sebagai anggota masyarakat. Didalam penggarisan GBHN disiplin nasional diartikan suatu sikap mental bangsa yang tercermin dalam pembuatan atau tingkah laku berupa kepatuhan dan ketaatan, baik secara sadar maupun melalui pembinaan terhadap norma-norma kehidupan yang berlaku dengan keyakinan bahwa dengan norma-norma tersebut tujuan nasional dapat dicapai.
Dengan kata lain esensi disiplin nasional adalah kepatuhan dan ketaatan terhadap aspirasi dan cita-cita nasional, ideologi negara dan UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan lainnya yang merupakan juga tanggung jawab sosial.

Didalam kepatuhan dan ketaatan itu secara kongkret berarti adanya kesediaan untuk mematuhi, menghormati dan adanya kemampuan melaksanakan suatu sistem nilai yang mengharuskan seseorang tunduk pada putusan, perintah atau peraturan yang berlaku dimasyarakat khususnya dilingkungan kerja masing-masing. Dengan kata lain bahwa disiplin nasional tidak mungkin terwujud tanpa disiplin pribadi berupa kebiasaan yang melekat pada diri seseorang, tidak terkecuali bagi para apartur pemerintah secara perseorangan.
Disiplin pribadi didalam lehidupan sosial budaya Indonesia tampak dipengaruhi oleh kepemimpinan, sehubungan dengan itu masalah keteladanan menjadi sangat penting artinya, karena keteladanan pimpinan itu berkenaan dengan dedikasi, disiplin, keterbukaan, sikap lugas dan keberanian bertindak dalam menyelesaikan masalah penyelewengan, penyimpangan, penyalahgunaan, wewenang, dan lain-lain tindakan tak terpuji.
Terdapat beberapa aspek budaya yang berpengaruh terhadap kelancaran pelaksanaan tugas bagi aparatur pemerintah sehingga kinerjanya tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien yaitu antara lain:
1. Budaya paternalisme yaitu sikap yang terlalu berorientasi keatas, akibatnya bawahan bekerja lebih menyenangi menunggu perintah dari atasan, sedangkan kreativitas, inisiatif berkurang bahkan cenderung dimatikan. Budaya ini perlu dikurangi agar tidak berkelebihan yaitu dengan cara sebagai berikut:
- Pemimpin perlu mengembangkan pola proses pengambilan keputusan bersama (group decision process) tanpa mengurangi wewenangnya dalam mengambil keputusan.

- Bila perlu pengarahan dikurangi dan diganti dengan pola pemecahan masalah (problem solving oriented) sehingga setiap petugas merasa ikut bertanggung jawab pada setiap masalah organisasi/unit kerjanya.
2. Budaya manajemen tertutup yang artinya bahwa pemimpin merasa sebagai penguasa yang tidak perlu mengikutsertakan bawahannya sehingga timbul sikap saling curiga mencurigai, tidak percaya, dan prasangka yang kurang menguntungkan dan lain-lain. Yang berakibat pekerjaan tidak berjalan secara efektif dan efisien.
3. Budaya kurang mampu membedakan jam kerja dan jam dinas, urusan pribadi dan urusan kedinasan. Untuk itu disiplin kerja dan disiplin waktu perlu dibina dan ditingkatkan, dengan mengurangi kebiasaan yang tidak tepat pada jam kerja.
4. Budaya atau kebiasaan memberikan terlalu banyak pekerjaan dan tanggung jawab kepada seseorang yang aktif dan berprestasi dan kurang percaya terhadap yang belum memperoleh kesempatan untuk aktif dan berprestasi.
5. Budaya sistem famili dan koneksi yang dilingkungan aparatur pemerintah mengakibatkan pengangkatan pegawai dan pembinaan karier kurang memperhatikan profesionalisme dan prestasi. Budaya ini ditunjang lagi oleh kebiasaan berupa kecenderungan pilih kasih (like and dislike) dalam pembinaan dan pengembangan karier dan penempatan seorang pegawai. Kondisi ini harus segera ditiadakan mengingat semakin pesatnya, perkembangan ilmu dan teknologi yang memerlukan personil yang berkualitas dilingkungan aparatur pemerintah.
6. Budaya asal bapak senang (ABS) yaitu budaya didalam memberikan informasi/laporan kepada pimpinan dengan penuh rekayasa hal demikian dilakukan buasanya untuk menutupi kekurangan/kelemahan atau kegagalan dalam bekerja, tetapi juga karena rasa takut pada pimpinan dan sifat senang dipuji atau rasa kurang senang dikoreksi oleh atasannya. Budaya ini akan berakibat mempersulit pelaksanaan pengawasan dan pembinaan dan bimbingan dalam upaya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja.
7. Budaya tidak senang diperiksa karena pengawasan cenderung bersifat mencari-cari kesalahan. Pengawasan hendaknya dikembangkan sebagai usaha membantu pihak yang diawasi untuk menyadari kekurangan dan kelemahannya disertai dorongan untuk memperbaiki melalui usaha sendiri. Setiap aparatur pemerintah hendaknya menyadari bahwa kegiatan pengawasan adalah pekerjaan yang rutin dan wajar yang tidak perlu ditakuti, perasaan takut dan tidak menyukai pengawasan itu hanya dapat dihindari jika setiap aparatur pemerintah mengembangkan kebiasaan bekerja sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, berani karena benar takut karena salah.
Masih banyak budaya yang tersirat dalam adat istiadat, kebiasaan, hubungan kemasyarakatan dan lain-lain yang ternyata sangat besar pengaruhnya terhadap pelaksanaan kegiatan setiap unsur manajemen. Oleh karena itu diperlukan adanya reformasi budaya dan kinerja aparatur pemerintah Indonesia untuk dapat lebih mengabdi pada bangsa dan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar