Mulai 1 Januari 2010, sesuai kesepakatan perdagangan bebas Cina – ASEAN, pemerintah akan memberlakukan tarif nol persen untuk produk Cina ke Indonesia. Beberapa sektor industri, antara lain elektronik dan baja, bakal mendapatkan pesaing produk dari Negeri Tirai Bambu tersebut. Dengan tarif nol persen tersebut, artinya produk-produk dari Cina bisa beredar dengan bebas dipasaran domestik. Ini tentu sangat meresahkan bagi para pengusaha-pengusaha lokal, terutama para pengusaha di bidang alat elektronik. Saat ini saja, berbagai macam produk elektronik dari Cina telah beredar dipasaran dengan tingkat harga yang sangat terjangkau. Kondisi yang seperti inilah yang memang sangat dinanti-nanti oleh masyarakat kita, dapat menikmati alat-alat elektronik yang canggih dengan harga yang murah. Masyarakat kita cenderung mencari barang-barang yang berkualias hight dengan harga murah, mengingat bahwa kondisi ekonomi masyarakat kita masih rendah, namun disisi lainnya terdapat kecenderungan masyarakat kita untuk tampil mewah. Kondisi ini telah menjadi budaya baru atau trend baru dikalangan masyarakat kita saat sekarang ini.
Ketidakmampuan produk lokal untuk bersaing dengan produk-produk dari Cina, sedikit banyak memberi pengaruh kepada masyarakat untuk lebih cenderung menggunakan produk dari Cina. Disamping kualitas yang memang kalah jauh, perbandingan hargapun sangat jauh ketimbang produk lokal. Kondisi ini harus segera diperhatikan dengan serius oleh pemerintah serta pelaku industri atau pengusaha. Kalau dibiarkan berlarut-larut tidak menutup kemungkinan akan banyak pengusaha-pengusaha beralih menjadi seorang pedagang. Industri kecil – menengah pun akan terkena imbasnya, mereka kemungkinan besar akan gulung tikar karena produk yang mereka hasilkan tidak mampu bersaing dengan produk dari Negeri Tirai Bambu.
Langkah nyata yang harus diambil oleh pemerintah yaitu dengan segera melakukan revitalisasi industri serta penerapan standardisasi produk yang layak untuk beredar dipasaran domestik, khususnya produk elektronik dari luar. Sejauh ini pemerintah baru memiliki 9 standar produk elektronik, sangat jauh sekali bila dibandingkan dengan Malaysia yang telah memiliki 139 standar produk elektronik. Pemberlakuan kebijakan pengamanan produk dalam negeri juga harus lebih dilakukan secara intensif serta menerapkan standar produk nasional.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia akan kesulitan dalam menghadapi produk-produk Cina yang akan masuk dipasaran domestik dikarenakan Cina telah mempersiapkan segala sesuatunya sejak 8 sampai 10 tahun yang lalu sedangkan kita masih dalam hitungan bulan. Seharusnya pemerintah meninjau kembali perjanjian perdagangan tersebut, mengingat tidak adanya kesiapan produk kita untuk bersaing dengan produk dari Cina. Saat ini produk dari Cina dengan bebas membanjiri pasar-pasar domestik kita, namun disisi lain produk-produk kita tidak mampu untuk menembus pasar di Cina. Jika kondisi ini terus menerus dibiarkan, bisa saja produk dalam negeri kita sendiri ditinggalkan oleh rakyatnya sendiri.
Blog ini aku terbitkan berawal dari sebuah gelisahan. sepertinya ada ketukan yg memanggil untuk membuka sebuah ruang pemikiran serta berbagi untuk semua.
Senin, 11 Januari 2010
MEMAKNAI DEMOKRASI DI INDONESIA
Demokrasi seyogianya berjalan seiring dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Ketika demokrasi tidak berjalan seiring, hal ini mengindikasikan adanya penyelewengan terhadap praktik demokrasi yang sudah dilaksanakan. Bisa jadi penyelewengan itu terjadi dalam ranah prosedural atau di wilayah lainya. Oleh karena itu, upaya pemaknaan ulang terhadap demokrasi dengan mengecek praktik demokrasi yang telah berlangsung merupakan hal yang penting. Hal ini dilakukan demi pelaksanaan demokrasi yang lebih baik ke depan.
Untuk menilai sejauh mana kesuksesan pelaksanaan demokrasi di suatu negara, bisa dilihat dari pelaksanaan pemilihan umum. Untuk menilai kesuksesan pelaksanaan pemilu, profesionalisme panitia penyelenggara (baca: Komisi Pemilihan Umum) menjadi indikator penting. Praktik demokrasi di Indonesia belum bisa memenuhi nilai-nilai demokrasi secara paripurna. Menurut dia, aroma kebebasan yang didapatkan setelah reformasi bergulir belum diiringi pencapaian nilai-nilai kesetaraan. Hal ini bisa dilihat dari angka masyarakat miskin dan kaya yang semakin timpang. Untuk pelaksanaan demokrasi yang lebih baik, seluruh elemen masyarakat, termasuk mahasiswa harus selalu mengawal dan memberikan kritik terhadap pelaksanaan demokrasi baik yang akan, sedang, dan telah dilakukan. Dengan begitu, setidaknya kalaupun ada pembiasan dalam demokrasi, kita tidak membiarkan pembiasan itu berjalan dengan sendirinya.
Untuk menilai sejauh mana kesuksesan pelaksanaan demokrasi di suatu negara, bisa dilihat dari pelaksanaan pemilihan umum. Untuk menilai kesuksesan pelaksanaan pemilu, profesionalisme panitia penyelenggara (baca: Komisi Pemilihan Umum) menjadi indikator penting. Praktik demokrasi di Indonesia belum bisa memenuhi nilai-nilai demokrasi secara paripurna. Menurut dia, aroma kebebasan yang didapatkan setelah reformasi bergulir belum diiringi pencapaian nilai-nilai kesetaraan. Hal ini bisa dilihat dari angka masyarakat miskin dan kaya yang semakin timpang. Untuk pelaksanaan demokrasi yang lebih baik, seluruh elemen masyarakat, termasuk mahasiswa harus selalu mengawal dan memberikan kritik terhadap pelaksanaan demokrasi baik yang akan, sedang, dan telah dilakukan. Dengan begitu, setidaknya kalaupun ada pembiasan dalam demokrasi, kita tidak membiarkan pembiasan itu berjalan dengan sendirinya.
PROSPEK DEMOKRASI DI INDONESIA
Indonesia sebagai salah satu warga dunia tampaknya juga tidak lepas dari gelombang perubahan besar tersebut. Proses demokratisasi, yang di sini dikenal dengan proses Reformasi, juga terjadi di Indonesia.. Ini ditunjukkan dengan mundurnya presiden Soeharto sebagai ikon politik otoritarian Orde Baru akibat desakan gerakan reformasi yang dimotori gerakan mahasiswa. Dan kemudian diikuti dengan pelaksanaan pemilu yang demokratis, kebebasan mendirikan partai politik, kebebasan pers dan sebagainya.
Indonesia saat ini, khususnya setelah 10 tahun Reformasi sudah banyak terjadi perubahan. Masalahnya apakah kita juga menjadi bagian dari proses demokrasi dunia yang mengalami “kemunduran” dalam arti demokrasi dan kesejahteraan sosial menjadi dua entitas yang saling menjauh, atau memang tidak berhubungan sama sekali? Atau sebaliknya, kita masih tetap on the right track dalam proses tersebut, dan hanya masalah waktu saja dan perlunya penguatan instrumen-instrumen atau lembaga-lembaga demokrasi. Artinya, pada akhirnya demokrasi akan bergandengan tangan dan saling menguatkan dengan kesejahteraan sosial.
Secara umum, meski banyak variasi dari definisi, kita mengartikan demokrasi sebagai “kontrol masyarakat atas masalah-masalah publik dengan basis kesetaraan politik“ . Pertanyaannya apakah definisi umum ini sedikit banyak bisa mengejawantah di Indonesia saat ini. Sedikitnya ada dua jawaban yang bisa diangkat untuk merepson demokrasi kita secara umum. Pertama, mereka yang menganggap bahwa pelembagaan instrumen demokrasi di Indonesia sudah berjalan dengan baik. Sebut saja misalnya, hak sipil dan politik, pemilu, good governance, dan karenanya demokrasi kita sudah “on the right tracks”. Yang dibutuhkan memang kesabaran untuk memberi waktu yang lebih lama lagi, dan aktor-aktor politik yang terus mendorong pelembagaan instrumen demokrasi lebih jauh lagi. Sebaliknya yang kedua, mereka yang menganggap bahwa kondisi struktural yang ada sangat tidak memadai untuk pendalaman demokrasi di Indonesia. Faktanya kalangan oligarki, baik politik maupun ekonomi, masih tetap berkuasa, baik di tingkat lokal maupun nasional. Sementara itu, masyarakat tetap saja lemah peran dan posisinya. Kebebasan sispil dan politik yang ada, dan juga pemilu yang dijalankan, baik di tingkat nasional maupun lokal, dalam banyak kasus malah semakin memperkuat politik identitas, konflik, politik uang, dan korupsi, tanpa perbaikan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang berarti bagi masyarakat banyak.
Apa yang harus dilakukan? Bukan dengan meninggalkan demokrasi, tapi justru politisasi demokrasi yang lebih luas yang tidak hanya sekedar prosedural seperti pelaksanaan pemilu dan pilkada, penguatan partai politil dan parlemen. Tapi, perbaikan representasi yang merupakan elemen kunci dalam memperluas proses demokratisasi yang melibatkan masyarakat pada umumnya. Di satu sisi, koridor-koridor ruang pengambilan keputusan semakin diperluas sehingga melibatkan banyak orang di luar para elit yang memang sudah bercokol di sana, dan di sisi yang lain, terus memperdayakan dan membangun basis sosial representasi baik melalui lembaga-lembaga representasi politik, formal dan informal, maupun partisipasi langsung.
Indonesia saat ini, khususnya setelah 10 tahun Reformasi sudah banyak terjadi perubahan. Masalahnya apakah kita juga menjadi bagian dari proses demokrasi dunia yang mengalami “kemunduran” dalam arti demokrasi dan kesejahteraan sosial menjadi dua entitas yang saling menjauh, atau memang tidak berhubungan sama sekali? Atau sebaliknya, kita masih tetap on the right track dalam proses tersebut, dan hanya masalah waktu saja dan perlunya penguatan instrumen-instrumen atau lembaga-lembaga demokrasi. Artinya, pada akhirnya demokrasi akan bergandengan tangan dan saling menguatkan dengan kesejahteraan sosial.
Secara umum, meski banyak variasi dari definisi, kita mengartikan demokrasi sebagai “kontrol masyarakat atas masalah-masalah publik dengan basis kesetaraan politik“ . Pertanyaannya apakah definisi umum ini sedikit banyak bisa mengejawantah di Indonesia saat ini. Sedikitnya ada dua jawaban yang bisa diangkat untuk merepson demokrasi kita secara umum. Pertama, mereka yang menganggap bahwa pelembagaan instrumen demokrasi di Indonesia sudah berjalan dengan baik. Sebut saja misalnya, hak sipil dan politik, pemilu, good governance, dan karenanya demokrasi kita sudah “on the right tracks”. Yang dibutuhkan memang kesabaran untuk memberi waktu yang lebih lama lagi, dan aktor-aktor politik yang terus mendorong pelembagaan instrumen demokrasi lebih jauh lagi. Sebaliknya yang kedua, mereka yang menganggap bahwa kondisi struktural yang ada sangat tidak memadai untuk pendalaman demokrasi di Indonesia. Faktanya kalangan oligarki, baik politik maupun ekonomi, masih tetap berkuasa, baik di tingkat lokal maupun nasional. Sementara itu, masyarakat tetap saja lemah peran dan posisinya. Kebebasan sispil dan politik yang ada, dan juga pemilu yang dijalankan, baik di tingkat nasional maupun lokal, dalam banyak kasus malah semakin memperkuat politik identitas, konflik, politik uang, dan korupsi, tanpa perbaikan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang berarti bagi masyarakat banyak.
Apa yang harus dilakukan? Bukan dengan meninggalkan demokrasi, tapi justru politisasi demokrasi yang lebih luas yang tidak hanya sekedar prosedural seperti pelaksanaan pemilu dan pilkada, penguatan partai politil dan parlemen. Tapi, perbaikan representasi yang merupakan elemen kunci dalam memperluas proses demokratisasi yang melibatkan masyarakat pada umumnya. Di satu sisi, koridor-koridor ruang pengambilan keputusan semakin diperluas sehingga melibatkan banyak orang di luar para elit yang memang sudah bercokol di sana, dan di sisi yang lain, terus memperdayakan dan membangun basis sosial representasi baik melalui lembaga-lembaga representasi politik, formal dan informal, maupun partisipasi langsung.
KEMISKINAN DAN KEBIJAKAN BLT
Kemiskinan adalah penyakit sosial ekonomi yang tidak hanya dialami oleh Negara-negara berkembang melainkan negara maju sepeti Inggris dan Amerika Serikat. Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yaitu kemiskinan alami dan kemiskinan buatan. Kemiskinan alami terjadi akibat sumber daya alam (SDA) yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan Buatan diakibatkan oleh imbas dari para birokrat kurang berkompeten dalam penguasaan ekonomi dan berbagai fasilitas yang tersedia, sehingga mengakibatkan susahnya untuk keluar dari kemelut kemiskinan tersebut. Dari indikator ekonomi secara teoritis dapat dihitung dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendapatan, dan pengeluaran. Sementara saat ini langkah yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) untuk menarik garis kemiskinan adalah pendekatan pengeluaran.
Kondisi kemiskinan kian hari menjadi sangat fenomenal di Indonesia, karena kemiskinan ini sangatlah berpengaruh besar dalam pertumbuhan serta perkembangan Negara. Kemiskinan tidak hanya terjadi di Negara yang sedang berkembang, namun kemiskinan juga dapat terjadi di Negara yang sudah maju.
Beberapa faktor penyebab timbulnya kemiskinan adalah:
a. Faktor Individual, yaitu disebabkan oleh individu itu sendiri, seperti kemalasan, kebodohan, dll.
b. Faktor struktural, faktor stuktural ini begitu besar mengambil peran
dalam penciptaan kemiskinan, karena meliputi semua orang yang ada di dalamnya. Faktor ini berada di luar diri individu sehingga dalam banyak hal tidak bisa dikendalikan oleh individu tersebut, tetapi sangat mempengaruhi individu tersebut.
Selain itu juga terdapat beberapa penyebab utama dari timbulnya kemiskinan. Penyebab utama dari timbulnya kemiskinan ini adalah:
1. Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan.
2. Terbatasnya akses serta rendahnya mutu pelayanan kesehatan, pendidikan dan sempitnya lapangan pekerjaan.
3. Kurangnya pengawasan dan perlindungan terhadap asset usaha.
4. Kurangnya penyesuaian terhadap gaji/upah dengan pekerjaan yang dilakukan seseorang.
5. Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam.
6. Besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga.
7. Tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.
Masalah dan Dampak Kebijakan BLT
Di Indonesia, upaya kepedulian terhadap persoalan kemiskinan, bahkan sudah berlangsung sejak lama, baik pada jaman pemerintahan masa Orde Lama, masa Orde Baru, maupun pada masa pemerintahan di era Reformasi ini. Untuk menunjukkan kepeduliannya terhadap persoalan kemiskinan ini, pemerintahan SBY-JK juga tidak mau ketinggalan. Bukti nyata dari kepedulian pemerintahan SBY-JK adalah terlihat pada program “Bantuan Langsung Tunai” yang selanjutnya ditulis BLT. Hal mana mulai terlaksana melalui ‘Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 12 Tahun 2005’, tentang “Bantuan Langsung Tunai kepada rumah tangga-rumah tangga miskin di Indonesia”. Tujuan yang diharapkan melalui kebijakan program ini adalah dapat menjawab persoalan kemiskinan di Indonesia, sebagai akibat dari segenap perubahan yang telah terjadi, baik secara nasional maupun global serta bertujuan agar daya beli masyarakat tetap terjaga. BLT ini diberikan sebesar Rp. 300.000 / kepala keluarga miskin atau tak mampu. Yang menjadi persoalan adalah siapa yang tergolong keluarga miskin atau tak mampu itu. Untuk menjembatani hal ini, BPS melakukan survei data dan lapangan. Dan akhirnya pengucuran tahap satu BLT dapat dilakukan relatif sesuai dengan jadwalnya.
Ketika pengucuran dana BLT tersebut, muncul permasalahan-permasalahan. Di beberapa daerah terjadi aksi pengrusakan lantaran satu KK mendapat dan KK yang lain tidak. Konflik yang dipicu dari rasa saling iri menghasilkan amukan massa yang cukup dahsyat. Amukan yang dilakukan massa maupun individu membawa korban jiwa dan fisik desa. Sedangkan di sisi lain, pemerintah menggarisbawahi bahwa anomali sosial yang terjadi lebih disebabkan oleh tindakan pihak-pihak yang ingin memanfaatkan suasana demi meraih keuntungan tertentu.
Pengucuran tahap dua BLT mengambil nama lain, Sumbangan Langsung Tunai (SLT). Perbaikan yang kentara yakni pada mekanisme pengambilannya. Jika BLT dilakukan dan diselenggarakan oleh perangkat desa dan/atau petugas BPS. Maka pada SLT, pemerintah menunjuk Departemen Pos dan Giro untuk memanfaatkan seluruh kantor pos yang tersedia di daerah-daerah sebagai tempat pengambilan. Selain perpindahan tempat, dulunya di balai desa atau kantor kelurahan, pengambil SLT harus juga memiliki surat keterangan khusus tentang status keluarganya. Dan hasilnya cukup menggembirakan, anomali sosial yang terjadi pada BLT tahap satu relatif berkurang pada pengucuran keduanya. Tapi, apakah masalah sudah selesai ketika BLT/SLT tidak bermasalah di masyarakat?
Berkaca pada kebijakan BLT tahun 2005 banyak kelemahan-kelemahan dan masalah-masalah yang akan ditimbulkan oleh kebijakan BLT ini, antara lain :
1. Dengan memberikan bantuan secara tunai dan langsung, sesunggunya pemerintah sedang melatih masyarakatnya untuk bergantung pada pihak yang kuat. Sedangkan proses penggantungan keadaan ini bukanlah hal yang produktif bagi keberdayaan masyarakat.
2. Timbulnya sikap mental masyarakat yang belum mau jujur mengakui tentang keadaan dirinya yang sebenarnya. Dengan kebijakan pengucuran sumbangan uang dalam bentuk tunai, banyak masyarakat yang tadinya mampu beralih ‘profesi’ menjadi orang miskin. Bisa jadi karena ternyata menjadi orang miskin di negara kita cukup menguntungkan.
3. Kebijakan BLT memiliki kecenderungan menjadi pemicu konflik sosial di masyarakat.
4. Validitas data masyarakat miskin yang diragukan sehingga akan berdampak pada ketepatan pemberian dana BLT kepada masyarakat yang berhak.
5. Dari sisi keuangan negara, kebijakan BLT merupakan kebijakan yang bersifat menghambur-hamburkan uang negara karena kebijakan tersebut tidak mampu menyelesaiakan masalah kemiskinan secara berkelanjutan dan tidak mampu menstimulus produktifitas masyarakat miskin. Dalam ranah ini, proyek padat karya dapat dipilih, atau mengalihkannya kepada sektor pendidikan, pelayanan kesehatan, dan sebagainya.
6. Efektifitas dan efisiensi penggunaan dana BLT yang tidak dapat diukur dan diawasi karena lemahnya fungsi pengawasan pemerintahan terhadap kebijakan tersebut.
Disatu sisi, kebijakan BLT ini mungkin akan memberikan dampak positif bagi masyarakat miskin. Dengan BLT, kenaikan biaya hidup yang diakibatkan oleh kenaikan BBM secara langsung maupun dampak kenaikan harga kebutuhan pokok akibat kenaikan BBM, akan sedikit tertutupi dengan adanya dana “cuma-cuma” yang diberikan oleh pemerintah. Akan tetapi disisi yang lain kebijakan BLT ini memiliki dampak negatif yakni kebijakan ini akan berdampak negatif pada perilaku dan karakter masyarakat. Kebijakan ini sangat riskan menciptakan karakter masyarakat yang salalu dimanja dan menjadi bangsa “peminta-minta”. Selain itu, permasalahan efektifitas dan efisiensi kebijakan ini juga sangat diragukan, apalagi kalau kita melihat bahwa landasan kenaikan BBM adalah kondisi defisit keuangan negara yang semakin membengkak.
Kalau melihat pada dampak yang akan ditimbulkan oleh kebijakan BLT ini, kebijakan BLT tidak akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kondisi masyarakat miskin di Indonesia. Ini disebabkan nominal BLT yang diberikan tidak seimbang dengan kenaikan biaya hidup yang ditanggung oleh masyarakat akibat kenaikan harga BBM. Coba kita bayangkan, kenaikan BBM tersebut akan mendorong kenaikan biaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat miskin, mendorong kenaikan biaya input produksi masyarakat miskin yang kebanyakan berada pada sektor pertanian (baik petani maupun nelayan) yang berada di pedesaan. Apabila kita membandingkan total kenaikan biaya hidup (biaya pemenuhan kebutuhan dasar dan input produksi) masyarakat miskin dengan nominal dana BLT yang diberikan, kebijakan ini tidak akan berdampak siginifikan. Apalagi, pemerintah tidak bisa menjamin efesiensi dan efektifitas penggunaan dana BLT yang diberikan kepada masyarakat.
Selain itu, dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan BLT tersebut tidak mampu memberikan dampak positif pada peningkatan produktifitas masyarakat miskin, melainkan kecenderungannya memberikan dampak negatif pada penurunan produktifitas. Kebijakan BLT hanya merupakan kebijakan yang hanya meberikan “ikan” bukan “kail” kepada masyarakat miskin.
Dari sisi politis, kebijakan BLT bukanlah kebijakan pemerintah untuk membantu dan mengangkat masyarakat (meningkatkan derajat kesejahteraan) miskin melainkan hanya sebuah keputusan politik yang berorientasi untuk mepertahankan image pemerintahan di mata masyarakat. Kebijakan politis ini terpaksa diambil oleh pemerintah sehubungan semakin dekatnya jadwal pesta demokrasi pemilu 2009.
Kondisi kemiskinan kian hari menjadi sangat fenomenal di Indonesia, karena kemiskinan ini sangatlah berpengaruh besar dalam pertumbuhan serta perkembangan Negara. Kemiskinan tidak hanya terjadi di Negara yang sedang berkembang, namun kemiskinan juga dapat terjadi di Negara yang sudah maju.
Beberapa faktor penyebab timbulnya kemiskinan adalah:
a. Faktor Individual, yaitu disebabkan oleh individu itu sendiri, seperti kemalasan, kebodohan, dll.
b. Faktor struktural, faktor stuktural ini begitu besar mengambil peran
dalam penciptaan kemiskinan, karena meliputi semua orang yang ada di dalamnya. Faktor ini berada di luar diri individu sehingga dalam banyak hal tidak bisa dikendalikan oleh individu tersebut, tetapi sangat mempengaruhi individu tersebut.
Selain itu juga terdapat beberapa penyebab utama dari timbulnya kemiskinan. Penyebab utama dari timbulnya kemiskinan ini adalah:
1. Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan.
2. Terbatasnya akses serta rendahnya mutu pelayanan kesehatan, pendidikan dan sempitnya lapangan pekerjaan.
3. Kurangnya pengawasan dan perlindungan terhadap asset usaha.
4. Kurangnya penyesuaian terhadap gaji/upah dengan pekerjaan yang dilakukan seseorang.
5. Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam.
6. Besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga.
7. Tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.
Masalah dan Dampak Kebijakan BLT
Di Indonesia, upaya kepedulian terhadap persoalan kemiskinan, bahkan sudah berlangsung sejak lama, baik pada jaman pemerintahan masa Orde Lama, masa Orde Baru, maupun pada masa pemerintahan di era Reformasi ini. Untuk menunjukkan kepeduliannya terhadap persoalan kemiskinan ini, pemerintahan SBY-JK juga tidak mau ketinggalan. Bukti nyata dari kepedulian pemerintahan SBY-JK adalah terlihat pada program “Bantuan Langsung Tunai” yang selanjutnya ditulis BLT. Hal mana mulai terlaksana melalui ‘Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 12 Tahun 2005’, tentang “Bantuan Langsung Tunai kepada rumah tangga-rumah tangga miskin di Indonesia”. Tujuan yang diharapkan melalui kebijakan program ini adalah dapat menjawab persoalan kemiskinan di Indonesia, sebagai akibat dari segenap perubahan yang telah terjadi, baik secara nasional maupun global serta bertujuan agar daya beli masyarakat tetap terjaga. BLT ini diberikan sebesar Rp. 300.000 / kepala keluarga miskin atau tak mampu. Yang menjadi persoalan adalah siapa yang tergolong keluarga miskin atau tak mampu itu. Untuk menjembatani hal ini, BPS melakukan survei data dan lapangan. Dan akhirnya pengucuran tahap satu BLT dapat dilakukan relatif sesuai dengan jadwalnya.
Ketika pengucuran dana BLT tersebut, muncul permasalahan-permasalahan. Di beberapa daerah terjadi aksi pengrusakan lantaran satu KK mendapat dan KK yang lain tidak. Konflik yang dipicu dari rasa saling iri menghasilkan amukan massa yang cukup dahsyat. Amukan yang dilakukan massa maupun individu membawa korban jiwa dan fisik desa. Sedangkan di sisi lain, pemerintah menggarisbawahi bahwa anomali sosial yang terjadi lebih disebabkan oleh tindakan pihak-pihak yang ingin memanfaatkan suasana demi meraih keuntungan tertentu.
Pengucuran tahap dua BLT mengambil nama lain, Sumbangan Langsung Tunai (SLT). Perbaikan yang kentara yakni pada mekanisme pengambilannya. Jika BLT dilakukan dan diselenggarakan oleh perangkat desa dan/atau petugas BPS. Maka pada SLT, pemerintah menunjuk Departemen Pos dan Giro untuk memanfaatkan seluruh kantor pos yang tersedia di daerah-daerah sebagai tempat pengambilan. Selain perpindahan tempat, dulunya di balai desa atau kantor kelurahan, pengambil SLT harus juga memiliki surat keterangan khusus tentang status keluarganya. Dan hasilnya cukup menggembirakan, anomali sosial yang terjadi pada BLT tahap satu relatif berkurang pada pengucuran keduanya. Tapi, apakah masalah sudah selesai ketika BLT/SLT tidak bermasalah di masyarakat?
Berkaca pada kebijakan BLT tahun 2005 banyak kelemahan-kelemahan dan masalah-masalah yang akan ditimbulkan oleh kebijakan BLT ini, antara lain :
1. Dengan memberikan bantuan secara tunai dan langsung, sesunggunya pemerintah sedang melatih masyarakatnya untuk bergantung pada pihak yang kuat. Sedangkan proses penggantungan keadaan ini bukanlah hal yang produktif bagi keberdayaan masyarakat.
2. Timbulnya sikap mental masyarakat yang belum mau jujur mengakui tentang keadaan dirinya yang sebenarnya. Dengan kebijakan pengucuran sumbangan uang dalam bentuk tunai, banyak masyarakat yang tadinya mampu beralih ‘profesi’ menjadi orang miskin. Bisa jadi karena ternyata menjadi orang miskin di negara kita cukup menguntungkan.
3. Kebijakan BLT memiliki kecenderungan menjadi pemicu konflik sosial di masyarakat.
4. Validitas data masyarakat miskin yang diragukan sehingga akan berdampak pada ketepatan pemberian dana BLT kepada masyarakat yang berhak.
5. Dari sisi keuangan negara, kebijakan BLT merupakan kebijakan yang bersifat menghambur-hamburkan uang negara karena kebijakan tersebut tidak mampu menyelesaiakan masalah kemiskinan secara berkelanjutan dan tidak mampu menstimulus produktifitas masyarakat miskin. Dalam ranah ini, proyek padat karya dapat dipilih, atau mengalihkannya kepada sektor pendidikan, pelayanan kesehatan, dan sebagainya.
6. Efektifitas dan efisiensi penggunaan dana BLT yang tidak dapat diukur dan diawasi karena lemahnya fungsi pengawasan pemerintahan terhadap kebijakan tersebut.
Disatu sisi, kebijakan BLT ini mungkin akan memberikan dampak positif bagi masyarakat miskin. Dengan BLT, kenaikan biaya hidup yang diakibatkan oleh kenaikan BBM secara langsung maupun dampak kenaikan harga kebutuhan pokok akibat kenaikan BBM, akan sedikit tertutupi dengan adanya dana “cuma-cuma” yang diberikan oleh pemerintah. Akan tetapi disisi yang lain kebijakan BLT ini memiliki dampak negatif yakni kebijakan ini akan berdampak negatif pada perilaku dan karakter masyarakat. Kebijakan ini sangat riskan menciptakan karakter masyarakat yang salalu dimanja dan menjadi bangsa “peminta-minta”. Selain itu, permasalahan efektifitas dan efisiensi kebijakan ini juga sangat diragukan, apalagi kalau kita melihat bahwa landasan kenaikan BBM adalah kondisi defisit keuangan negara yang semakin membengkak.
Kalau melihat pada dampak yang akan ditimbulkan oleh kebijakan BLT ini, kebijakan BLT tidak akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kondisi masyarakat miskin di Indonesia. Ini disebabkan nominal BLT yang diberikan tidak seimbang dengan kenaikan biaya hidup yang ditanggung oleh masyarakat akibat kenaikan harga BBM. Coba kita bayangkan, kenaikan BBM tersebut akan mendorong kenaikan biaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat miskin, mendorong kenaikan biaya input produksi masyarakat miskin yang kebanyakan berada pada sektor pertanian (baik petani maupun nelayan) yang berada di pedesaan. Apabila kita membandingkan total kenaikan biaya hidup (biaya pemenuhan kebutuhan dasar dan input produksi) masyarakat miskin dengan nominal dana BLT yang diberikan, kebijakan ini tidak akan berdampak siginifikan. Apalagi, pemerintah tidak bisa menjamin efesiensi dan efektifitas penggunaan dana BLT yang diberikan kepada masyarakat.
Selain itu, dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan BLT tersebut tidak mampu memberikan dampak positif pada peningkatan produktifitas masyarakat miskin, melainkan kecenderungannya memberikan dampak negatif pada penurunan produktifitas. Kebijakan BLT hanya merupakan kebijakan yang hanya meberikan “ikan” bukan “kail” kepada masyarakat miskin.
Dari sisi politis, kebijakan BLT bukanlah kebijakan pemerintah untuk membantu dan mengangkat masyarakat (meningkatkan derajat kesejahteraan) miskin melainkan hanya sebuah keputusan politik yang berorientasi untuk mepertahankan image pemerintahan di mata masyarakat. Kebijakan politis ini terpaksa diambil oleh pemerintah sehubungan semakin dekatnya jadwal pesta demokrasi pemilu 2009.
Langganan:
Postingan (Atom)