Genderang reformasi yang ditabuh sejak 1998 menjadi akhir dari perjalanan rezim Soeharto dalam kancah kekuasaan Republik Indonesia. Inilah akhir dari sebuah kekuasaan yang telah menjadi cermin kekuasaan paling kelam dalam sejarah Indonesia. Soeharto tidak hanya menjalankan kekuasaannya dengan otoriter, tetapi juga membumikan tradisi KKN dengan subur. Orde baru bangkit dengan pola politik yang menindas dan sistem politik yang ketat, terutama terhadap islam.
Hal ini terlihat dari kebijakan Orde Baru menata sistem politik multipartai menjadi beberapa partai, yang pada gilirannya berakhir dengan restrukturisasi dengan melakukan fusi partai, yaitu menyederhanakan partai politik menjadi tiga partai yang ditentukan melalui Undang-Undang Kepartaian dan Golkar No. 3 Tahun 1975.
Dengan kebijakan tersebut, Orde Baru telah mulai melakukan langkah yang ketat dalam masalah politik di Indonesia, dan pada gilirannya dilanjutkan dengan kebijakan-kebijakan baru yang notabene tidak memberikan peluang luas bagi berkembangnya politik Islam pada saat itu.
Pemasungan kebebasan paling lama oleh penguasa otoriter, yakni selama 32 tahun 22 hari terutama kebebasan berpolitik, telah mengakibatkan kontruksi pemikiran masyarakat tidak kreatif dan tidak peka terhadap persoalan yang muncul. Komitmen untuk mewujudkan demokratisasi di Indonesia secara perlahan terus diperjuangkan, walaupun harus membentur kekuasaan tangan besi Soeharto.
Suara kalangan muslim pada saat itu ialah teriakan reformasi secara menyeluruh, yang oleh Eep Saefullah Fatah, diklasifikasikan menjadi empat tingkat reformasi. Pertama, reformasi kepemimpinan nasional, yaitu proses pembentukan kepemimpinan nasional yang autentik, yaitu kepemimpinan yang tidak punya beban psikologis ketika mengagendakan anti KKN karena ia sendiri tida terlibat KKN.
Kedua, reformasi karakter kekuasaan politik. Kalangan muslim seharusnya menjadi penyokong reformasi karakter kekuasaan politik guna menghindari terulangnya karakter kekuasaan politik Orde Baru yang sangat bermasalah bercirikan sentralisasi, otonomisasi (menjadikan kekuasaan otonom masyarakat), personalisasi, dan sakralisasi.
Ketiga, reformasi perubahan sistemik. Kalangan Islam seharusnya menjadi penyokong yang sungguh-sungguh program perubahan sistemik, termasuk didalamnya program demiliterisasi, dan lain sebagainya.
Keempat, reformasi paradigm atau pergeseran paradigm. Kalangan Islam seyogianya menyokong dan ikut menjalani perubahan-perubahan paradigmatic yang sangat diperlukan setelah Orde Baru melakukan perusakan paradgma secara sistematis dan berhasil.
Dalam konteks itu, reformasi telah menjadi euphoria tersendiri bagi kiai untuk berpolitik dan ikut-ikutan mengejar kekuasaan, tanpa memperhatikan kualitas dan kapasitasnya sebagai bagian dari kekuasaan. Dengan latar belakang pesantren (lebih-lebih pesantren salaf), para kiai berlomba-lomba meraih kekuasaan politik, sementara keilmuan yang mereka miliki cenderung sangat pas-pasan untuk menopang kinerjanya sebagai bagian dari kekuasaan.
Padahal menjadi bagian dari kekuasaan tidak hanya cukup dengan bermodal pengetahuan agama tetapi juga dibutuhkan ilmu-ilmu penopang yang lain. Karena, menjadi bagian dari kekuasaan dituntut untuk memiliki kapasitas yang kredibel dan mumpuni. Menjadi penguasa (pejabat), tetapi tidak memilki kapasitas yang jelas untuk memenuhi tanggung jawabnya, sama halnya dengan mempercepat kehancuran umat.
Dalam konteks ini, meraih jabatan tidak hanya harus didasarkan pada kualitas keimanan seseorang, tetapi juga kualitas SDM yang bias membantu terhadap beban dan tugasnya dalam struktur kekuasaan, terutama tentang menajemen pemerintahan, kepemimpinan, dan pengelolaan anggaran yang relevan.
Disinilah kiai seharusnya dapat memahami secara jernih. Karena, masalah kualitas dan kemampuan dalam memimpin tidak hanya cukup dengan penguasaan pada ilmu-ilmu agama dan pengalaman dalam jabatan cultural, tetapi sejatinya harus ditopang berbagai kemampuan yang memiliki keterkaitan dengan jabatan yang dipegangnya. Seperti yang ditegaskan oleh Abdul A’la bahwa menangani pemerintahan di era reformasi memerlukan manajerial yang tinggi (modern dan efisien), yang tidak cukup hanya dengan modal kharismatik, dan birokrasi yang harus ditangani sebagai warisan Orde Baru menjadi gurita raksasa yang sulit diketahui ujung pangkalnya, dan tentu saja sangat menguras tenaga dan pikiran.
Oleh karena itu, menurut A’la kiai yang masuk ke dalam birokrasi, praktis waktu, pikiran, dan tenaganya dihabiskan untuk mengurusi masalah manajerial praktis dan ruwet sehingga lambat laun akan melupakan tugas utamanya sebagai seorang yang ahli agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar