Sabtu, 17 Juli 2010

BIROKRASI

1.1 Definisi Birokrasi.
Istilah birokrasi sering kali dikaitkan dengan organisasi pemerintah, padahal birokrasi ciptaan Max Weber itu biasa terjadi baik di organisasi pemerintah maupun organisasi nonpemerintah. Di suatu perusahaan birokrasi itu biasa terjadi. Demikian pula, di suatu organisasi yang besar birokrasi akan terjadi. Birokrasi merupakan sistem untuk mengatur organisasi yang besar agar diperoleh pengelolaan yang efesien , rasional, dan efektif. Di Indonesia jika ada bahasan tentang birokrasi, maka persepsi orang tidak lain adalah birokrasi pemerintah. Birokrasi dengan segala cacatnya menjadi milik pemerintah.
Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata “kratia” (cratein) yang berarti pemerintah. Jadi pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi (Ernawan, 1988).
Definisi Birokrasi yaitu sebagai suatu sistem kontrol dalam organisasi yang dirancang berdasarkan aturan-aturan yang rasional dan sistematis, yang bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan aktivitasaktivitas kerja individu dalam rangka penyelesaian tugas-tugas administrasi berskala besar. Birokrasi memiliki beberapa karakteristik, yaitu pembagian kerja dan spesialisasi kerja, prinsip hirarki, peraturan-peraturan, impersonality, kualifikasi teknis, dokumen-dokumen tertulis, dan kelangsungan kerja dalam organisasi.
Birokrasi berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah suatu sistem kontrol dalam organisasi yang dirancang berdasarkan aturan-aturan yang rasional dan sistematis, dan bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja individu dalam rangka penyelesaian tugas-tugas administrasi berskala besar (disarikan dari Blau & Meyer, 1971; Coser & Rosenberg, 1976; Mouzelis, dalam Setiwan,1998).
Birokrasi merupakan keseluruhan pejabat negara di bawah pejabat politik. Birokrasi juga bisa diartikan sebagai setiap organisasi berskala besar. Ini merupakan definisi birokrasi yang bebas dari value (nilai), yakni birokrasi tidak dilihat dari penilaian baik atau buruk.
Menurut Peter M. Blau (2000:4), birokrasi adalah “tipe organisasi yang dirancang untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif dalam skala besar dengan cara mengkoordinasi pekerjaan banyak orang secara sistematis”. Hegel berpendapat birokrasi adalah medium yang dapat dipergunakan untuk menghubungkan kepentingan partikular dengan kepentingan general (umum). Sementara itu teman seperjuangannya Karl Marx berpendapat bahwa birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya, dengan kata lain birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan bahwa birokrasi adalah suatu prosedur yang efektif dan efesien yang didasari oleh teori dan aturan yang berlaku dan memiliki spesialisasi menurut tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi ataupun institusi.
Birokrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan. Atau dalam definisinya yang lain birokrasi adalah cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan yang banyak liku-likunya.

UPAYA PELEMAHAN KPK

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemilu langsung untuk presiden dan wakil presiden (untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia) pada 2004 menghasilkan kepemimpinan nasional baru, duet Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Harapan rakyat pada presiden hasil pilihan langsung itu cukup besar. Diharapkan masalah kembar kemiskinan dan pengangguran mulai teratasi secara siginifikan, korupsi sebagai musuh bersama ditanggulangi secara sungguh-sungguh tanpa basa-basi dan tidak kalah penting adalah mengembalikan kemandirian dan rasa percaya diri yang sudah mengalami erosi serta memulihkan kedaulatan ekonomi, politik, diplomatik, hukum dan pertahanan keamanan di tengah pusaran globalisasi.

Namun upaya pemberantasan korupsi, dihadang berbagai rintangan. Gempuran demi gempuran terhadap eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertubi-tubi datang. Terlihat dengan adanya beberapa rencana perundang-undangan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah. Konsistensi pemerintah dalam hal pemberantasan korupsi sudah mulai goyah, apalagi mengingat bahwa keberhasilan KPK dalam mengungkap praktek korupsi di kalangan pejabat Negara di acungi jempol oleh beberapa pihak terutama dari kalangan masyarakat. Salah satu bentuk inkonsistensi pemerintah adalah ketika pak SBY mengunjungi kantor Redaksi Kompas, SBY mengingatkan, kekuasaan yang terlalu besar, apalagi tanpa kontrol memadai, sangatlah berbahaya. Peringatan itu disampaikan terutama terkait dengan kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjadi seperti superbody. "Terkait KPK, saya wanti-wanti benar. Power must not go uncheck. KPK ini sudah powerholder yang luar biasa. Pertanggungjawabannya hanya kepada Allah. Hati-hati," kata Presiden saat berkunjung ke harian Kompas, Jakarta, Rabu (24/6/09).

Pada saat kampanye Pileg Pak SBY dan Partai Demokratnya sangat getol melakukan kampanye pemberantasan korupsi, keberhasilan KPK selama ini di dalam menyeret para koruptor diklaim sebagai keberhasilan pemerintahan pak SBY. Namun apa kata pak SBY menjelang kampanye pilpres malah menuding KPK berlebihan, KPK lembaga superbody, KPK bagi pak SBY di kesankan sebagai lembaga yang kebal hukum.

Pembalikan sikap pak SBY ini cukup mengejutkan, karena dilakukan pada saat menjelang Pilpres, menurut pengamat politik ini adalah blunder pertama yang dilakukan pak SBY di tengah hangatnya pelaksanaan pemilu.

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagi berikut:
a. Bagaimana sejarah singkat delegitimasi lembaga anti korupsi di Indonesia.
b. Bagaimana cara koruptor dan para koleganya melemahkan KPK.
c. Bagaimana upaya pelemahan KPK melalui RUU Tipikor serta RPP Penyadapan.




C. Kerangka Konsep

Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketua KPK adalah Antasari Azhar (Non Aktif), Saat ini KPK dipimpin secara kolektif.

KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Berdasarkan Pasal 6 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002, maka tugas dari KPK ini meliputi: melakukan koordinasi dan supervisi terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang berwenang, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.

Menurut Transparansi Internasional, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Korupsi mengandung unsur-unsur : melawan hukum, melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan/kesempatan/sarana yang ada pada pelaku korupsi karena jabatan atau kedudukannya, kerugian keuangan/ kekayaan/ perekonomian Negara, dan memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi.

Secara hukum, definisi korupsi telah dijelaskan dalan 13 buah pasal dalan UU No. 31 tahun 1999 juncto UU No. 20 tahun 2001. Berdasarkan itu, korupsi dirumuskan dalam 30 bentuk yang dikelompokkan ke dalam kerugian Negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi.




BAB II
PEMBAHASAN

Sejarah Delegitimasi lembaga antikorupsi, seperti KPK, merupakan pola berulang. Menurut catatan ICW, sudah tujuh institusi pemberantasan korupsi patah tumbuh hilang berganti. Empat diantaranya sengaja dimatikan setelah mencoba agak keras menyeret penguasa dengan delik korupsi.

Pertama, Keppres No 228/1967 membentuk Tim Pemberantas Korupsi. Kedua, 31 januari 1970 lewat Keppres 12/1970 dibentuk Tim Komisi Empat. Ketiga, pada tahun yang sama diusung nama baru Komite Anti-Korupsi (KAK). Keempat, tahun 1977 muncul Inpres 9/1977 Tim OPSTIB. Kelima, tahun 1982 Tim Pemberantas Korupsi diaktifkan kembali meski keppres yang mengatur tugas dan kewenangan tim ini tidak pernah diterbitkan. Keenam, melalui Keppres No 127/1999 dibentuk Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Ketujuh, berdasarkan PP No 19/2000 dikukuhkan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK).

Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia penuh dengan ironi. Lembaga negara yang seharusnya terlibat aktif dan memberikan dukungan penuh pada upaya melawan korupsi justru berbuat sebaliknya. Tak heran jika pukulan demi pukulan dihadapi oleh KPK, baik sejak lembaga ini memulai menangani kasus korupsi untuk pertama kalinya, hingga sekarang setelah Ketua KPK, Antasari Azhar dinonaktifkan karena kasus pembunuhan terhadap Nasrudin, Direktur PT Banjaran Putra Rajawali, anak perusahaan PT Rajawali Nusantara Indonesia.

Kita tentu masih ingat bagaimana para pengacara terdakwa korupsi menggugat landasan hukum KPK dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Semua pasal yang digugat adalah pasal mengenai wewenang KPK dalam menangani kasus korupsi, bukan pasal yang berkaitan dengan otoritas pencegahan. Dalam catatan ICW, UU KPK No 30 Tahun 2002 adalah UU yang paling sering digugat, yakni mencapai depalan (8) kali.

Upaya Koruptor dan Koleganya Melemahkan KPK
Tidak bisa dipungkiri bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Meski dengan sejumlah catatan, kinerja KPK setidaknya telah membangun kepercayaan publik tentang adanya lembaga penegak hukum yang secara serius memberantas korupsi. Selama lima tahun terakhir, KPK berupaya menjawab keraguan banyak kalangan dengan menangani sejumlah kasus korupsi yang sebelumnya dinilai tidak tersentuh. Sudah puluhan kepala daerah yang diproses. Sejumlah kasus kelas kakap yang melibatkan sejumlah mantan menteri, pejabat bank sentral, kalangan bisnis, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga diusut. Selain itu, KPK mulai memfokuskan pada kasus korupsi di lembaga peradilan seperti kejaksaan dan kepolisian. Sayang, upaya KPK yang lebih aktif telah membuat sejumlah kalangan, tak cuma koruptor namun juga kalangan pemerintah, parlemen, dan partai politik, gerah. Terlebih, KPK menangkapi para anggota DPR dan para pejabat pemerintah yang terlibat dalam kasus korupsi. Kinerja KPK yang progresif tersebut justru mendapatkan perlawanan dari koruptor dan pihak-pihak yang merasa terganggu oleh lembaga antikorupsi itu.

Sejak berdiri pada tahun 2003, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya terdapat 13 cara koruptor dan para pendukungnya melemahkan KPK.
1. Judicial Review UU KPK ke Mahkamah Konstitusi
Pengajuan JR ini tergolong sangat sering, setidaknya MK telah menerima 8 kali UU KPK diuji. Dan, salah satu putusannya adalah terkait dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
2. Proses Seleksi Pimpinan KPK
Track record dan tidak menjadi pertimbangan serius bagi panitia seleksi yang dibentuk Presiden untuk memilih calon pimpinan KPK; Komisi III DPR pun tetap memilih Antasari Azhar yang ditolak oleh masyarakat luas karena rekam jejaknya sebagai jaksa bermasalah di beberapa daerah.
3. Ancaman Bom
Beberapa kali gedung KPK diancam Bom; februari 2008 dan Juli 2009.
4. Ide Pembubaran KPK
Salah seorang Anggota Komisi III DPR RI periode 2004-2009 dari Partai Demokrat pasca KPK melakukan penggeledahan gedung DPR.
5. Penolakan Pengajuan Anggaran KPK
Permohonan dana untuk pemberantasan korupsi dan pembangunan gedung KPK di rekening 069 RAPBN 2009 ditolak oleh DPR (Nov. 2008). Saat itu, KPK sedang gencar membongkar praktek suap anggota DPR.
6. Serangan Legislasi (legislation attack)
a. RUU KPK (revisi UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK).
b. RUU Tindak Pidana Korupsi (revisi UU No. 31 tahun 1999 jo UU 20 th 2001).
c. Perppu No. 4 tahun 2009 yang menjadi dasar hukum kewenangan Presiden menunjuk langsung pimpinan KPK sementara.

7. Pengkerdilan kewenangan Penyadapan
Percobaan pelemahan penyadapan KPK dilakukan berulang kali. Pertama, pernyataan komisi III bahwa penyadapan KPK melanggar hak asasi manusia (HAM) saat beberapa anggota DPR tertangkap tangan menerima suap; pembahasan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), tiba-tiba pasal penyadapan harus dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan menyusup dalam draft RUU (Sept. 2009); dan terakhir melalui RPP Penyadapan yang diinisiasi oleh Depkominfo.
8. Menghilangkan/mengaburkan kewenangan Penuntutan KPK
Sempat disusupkan dalam RUU Pengadilan Tipikor, bahwa penuntutan akan dikembalikan pada koordinasi Jaksa Agung.
9. Penarikan personal Penyidik dan Auditor
Nov. 2008, Mabes POLRI menarik 3 perwira polisi yang diperbantukan di KPK; kemudian Kabareskrim Mabes Polri, Susno Duadji berulang kali mengatakan "kami bisa saja tarik semua personal polisi di KPK"; BPKP berupaya menarik 25 auditor yang sangat membantu pembongkaran kasus korupsi di KPK (Mei 2009), namun urung dilakukan karena tekanan publik.
10. Membekukan fungsi penyidikan dan penuntutan KPK
Sebagain besar anggota Komisi III DPR-RI periode 2004-2009 sempat meminta KPK cuti, karena jumlah pimpinan tidak cukup 5 orang. Sehingga, penyidikan dan penuntutan tidak sah atau illegal.
11. Rencana Audit BPKP terhadap KPK
BPKP mengatasnamakan perintah Presiden SBY untuk mengaudit KPK, padahal lembaga yang berwenang adalah BPK. Presiden membantah, namun publik tidak pernah tahu tentang ketegasan sanksi terhadap Kepala BPKP.
12. Ancaman terhadap investigasi kasus Century
Sempat beredar pesan pendek (sms) tentang ancaman yang diduga berasal dari salah seorang petinggi Kepolisian RI terhadap dua penyidik KPK yang berada di Surabaya.
13. Kriminalisasi dan rekayasa hukum terhadap dua pimpinan KPK
Dari pemeriksaan Tim 8 jelas terlihat, tidak cukup bukti, bahkan proses hukum terkesan dipaksakan untuk menjerat Bibit dan Chandra; persidangan di Mahkamah Konstitusi membuat publik semakin yakin dengan dugaan rekayasa terhadap dua pimpinan KPK bahkan menambah fakta soal Mafia Peradilan di tubuh Kepolisian dan Kejaksaan.




Pelemahan KPK Lewat RUU Tipikor
Penilaian banyak kalangan yang menilai ada upaya pihak-pihak tertentu untuk melemahkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tampaknya tidak mengada-ngada. Dalam Rancangan Undang-Undang pengadilan tindak pidana korupsi (RUU tipikor) yang saat ini dibahas di DPR, kewenangan KPK dibatasi hingga pada tingkat penyidikan saja.

Reaksi terhadap RUU tipikor disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW). Berdasarkan penyisiran ICW, terdapat sejumlah pasal krusial yang memberi peluang para koruptor bisa hidup nyaman. Koordinator Divisi Hukum ICW, Febri Diansyah, mencatat banyak poin di RUU tipikor yang berlawanan dengan semangat memberantas korupsi. Pertama, RUU tersebut tidak mencantumkan ancaman pidana minimal. Ketentuan ini, kata Febri, berpotensial munculnya vonis hukuman percobaan bagi terdakwa koruptor. Kedua, masa daluwarsa suatu kasus yang bisa dituntut 18 tahun. Ketiga, bagi terdakwa korupsi di bawah Rp25 juta diberi peluang pengampunan asalkan mau mengembalikan uang yang dikorup itu. Keempat, RUU tidak secara tegas menggunakan istilah pengadilan tipikor. Kelima, kewenangan KPK hanya sampai tingkat penyidikan dan tidak jelas bagaimana untuk tingkat penuntutan. Keenam, ada pasal yang mengatur bahwa pelapor palsu bisa dipidana. Ketujuh, korupsi oleh advokat hanya dijerat dengan kode etik oleh lembaga advokat. Kedelapan, tidak diatur mengenai pembekuan rekening, sehingga berpotensi tersangka atau terdakwa kasus korupsi mengalihkan uangnya ke rekening orang lain. Kesembilan, tidak mengatur pengelolaan aset hasil korupsi. Kesepuluh, tidak mengatur pembatalan kontrak yang prosesnya sarat korupsi. Juga tidak diatur mengenai permufakatan korupsi, penyadapan, peran masyarakat, kewajiban melaporkan harta kekayaan, dan tidak diatur secara jelas mengenai penahanan.

RPP Penyadapan : Babak baru upaya pelemahan KPK

Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informasi saat ini tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai tata cara penyadapan bagi penegak hukum (atau disebut RPP tentang Tata Cara Intersepsi). Pemerintah beralasan bahwa Rancangan ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan menertibkan kewenangan penyadapan karena sekarang patut dicurigai antar instansi saling melakukan penyadapan.

Gagasan atau ide pengaturan penyadapan ini muncul ketika KPK sedang dilemahkan dan dikriminalisasi. Padahal KPK dinilai relatif lebih berhasil menuntaskan kasus korupsi yang melibatkan banyak aktor yang berasal dari kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif dan swasta. Prestasi ini tentu tidak bisa dilepaskan dari kewenangan luar biasa yang dimililikinya, khususnya melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan mulai dari tahapan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan (Pasal 12 ayat (1) huruf a). Dengan kewenangan penyadapan tersebut, terbukti sejumlah koruptor berhasil dijerat dan tertangkap tangan oleh KPK. Sebut saja kasus korupsi yang melibatkan Mulyana W Kusumah, Artalyta Suryani, Al Amin Nasution, dan masih banyak lainnnya. Bahkan dugaan adanya Mafia Peradilan dan rekayasa hukum pada kasus Bibit dan Candra juga terungkap dalam persidangan MK. Bayangkan jika kewenangan penyadapan ini dipangkas dan dikontrol oleh penguasa yang diragukan komitmen pemberantasan korupsinya.
Selain mengancam pemberantasan korupsi, substansi RPP tersebut juga dinilai menyalahi konsep hukum dan tata negara Indonesi. Bahkan, MK melalui salah satu putusannya menyatakan bahwa kewenangan penyadapan KPK sudah konstitusional. Atau kalaupun perlu diatur, harus dilakukan secara hati-hati, tidak berakibat melemahkan KPK dan diatur setingkat undang-undang. Sehingga, jika RPP ini dipaksakan, kita bisa katakan, ada upaya sadar melawan putusan Mahkamah Konstitusi. Ide RPP ini juga tidak populis, ketika publik menginginkan KPK diperkuat dan bukan justru membatasi. Pada sisi lain kami mempertanyakan komitmen Menkominfo Republik Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi dan dukungan terhadap KPK. Penyusunan regulasi ini juga harus dimaknai sebagai babak baru pelemahan KPK, setelah upaya melemahkan KPK melalui permohonan uji materiil (judicial review) di MK dan kriminalisasi pimpinan KPK mengalami kegagalan. Hanya koruptor dan pendukungnya yang terganggu dengan upaya penyadapan KPK dan tidak menginginkan KPK menjadi lebih kuat. Pemerintah juga tidak perlu menerbitkan PP tentang Penyadapan. UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengatur secara tegas larangan penyadapan yang dilakukan selain untuk kepentingan penegakan hukum. Dalam Pasal 31 ayat (1) UU 11 tahun 2008, lanjutnya, yang mengatur BAB VII tentang Perbuatan Yang Dilarang adalah termasuk setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain. Dan dalam ayat (2) menyebutkan, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik. Dalam UU tersebut, juga Pasal 47 juga mengatur mengenai sanksi dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Dengan demikian tata cara penyadapan diserahkan kembali pada UU yang berlaku.Ketentuan Penyadapan KPK diatur dalm UU KPK dan aturan turunan di internal KPK. Selain itu jika dicermati kembali secara subtansi RPP Penyadapan (intersepsi) yang disusun oleh Depkominfo memiliki sejumlah kelemahan atau persoalan. Beberapa diantaranya adalah adanya keharusan izin atau penetapan Ketua Pengadilan ketika melakukan penyadapan. Proses izin atau penetapan Ketua Pengadilan sebagai syarat dalam melakukan penyadapan menjadikan proses menjadi sangat birokratis dan berlarut-larut. Keberhasilan KPK (dibandingkan dengan Kejaksaan dan Kepolisian) selama ini karena tidak mengalami hambatan terkait dengan proses perizinan mulai dari pemeriksaan anggota dewan atau kepala daerah hingga membuka rekening perbankan seorang tersangka.

Untuk kondisi praktek mafia peradilan yang masih marak di pengadilan maka proses izin atau penetapan ini berpotensi menjadi dagangan oknum Ketua Pengadilan. Pertanyaan mendasar lainnya adalah ketika KPK ingin menyadap Hakim atau Ketua Pengadilan atau pejabat pengadilan bahkan pimpinan MA apakah izinnya akan keluar? Pada intinya RPP yang ada justru mempersempit ruang KPK, memperpanjang birokrasi sehingga proses menjadi berlarut-larut, potensial terjadi kebocoran mulai dari tahap permintaan hingga hasil penyadapan, membuka peluang praktek korupsi diperadilan, pembentukan Pusat Intersepsi Nasional dan Dewan Intersepsi Nasional memberikan peluang adanya intervensi dan membuat proses penegakan hukum menjadi tidak efektif dan cenderung gagal. KPK adalah institusi yang paling dirugikan dari terbitnya regulasi ini dan berdampak pada upaya pemberantasan korupsi akan mengalami kemunduran.